Kaskus

News

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
Hadapi Tantangan, 97% Penghayat Kepercayaan di Boyolali Belum Ubah Agama di KTP

Hadapi Tantangan, 97% Penghayat Kepercayaan di Boyolali Belum Ubah Agama di KTP

by Nimatul Faizah  - Espos.idSolopos   -  Senin, 13 Januari 2025 - 17:49 WIB

Hadapi Tantangan, 97% Penghayat Kepercayaan di Boyolali Belum Ubah Agama di KTP

ESPOS.ID - Anggota Penghayat Kepercayaan Kapribaden dan Majelis Eklasing Budi Murko beribadah di rumah Presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Boyolali, Sarno, di Getasari, Desa/Kecamatan Gladagsari, Boyolali, Senin (13/1/2025).

    

Esposin, BOYOLALI -- Seorang pria berpakaian serba hitam dengan blangkon duduk di sebuah ruang tamu di rumah berukuran 6 meter x 12 meter ruang. 

Ia terduduk di sofa warna cokelat sambil membaca sebuah buku tebal berwarna biru berjudul Ensiklopedia Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Pria tersebut adalah Presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Boyolali, Sarno. 

Ia sedang membaca di rumahnya pada Senin (13/1/2025). Melihat kedatangan Espos.id di rumahnya, Sarno kemudian meletakkan buku yang dibacanya.

“Rahayu,” kata pria yang tinggal di Dukuh Getasari, Desa Gladagsari, Kecamatan Gladagsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah tersebut.

Sarno kemudian menceritakan buku yang ia baca berisi ratusan jenis penghayat kepercayaan di Indonesia. 

Di Boyolali, lanjut dia, ada sekitar 14 paguyuban penghayat kepercayaan.

Total ada sekitar 4.000 anggotanya, akan tetapi pria 66 tahun tersebut menyatakan fakta bahwa baru sekitar ratusan orang yang berganti kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). 

Padahal, pengakuan terhadap penghayat kepercayaan telah diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.97/PUU-XIV/2016. 

Dalam aturan tersebut, penghayat kepercayaan dapat mencantumkan kepercayaan yang dianutnya dalam KK dan KTP.

“Memang ada yang belum memperlihatkan dirinya sebagai seorang penghayat kepercayaan,” ungkap dia.

Menurutnya, salah satu alasan penghayat kepercayaan belum mengubah kolom agama dalam KTP karena masih ada ketakutan dengan risiko sosial di masyarakat. 

Ia mengatakan masyarakat luas, tak hanya di Boyolali, masih banyak yang menganggap penghayat kepercayaan adalah aliran sesat dan lekat dengan praktik perdukunan atau klenik. 

Dampaknya, ada ketakutan bakal diejek hingga dimarginalkan dari masyarakat setempat.

“Walau tidak di Boyolali secara spesifik, tapi ada yang tidak langsung mengatakan ke kami, tapi digrenengi [bicara dari belakang]. Bilang kalau nanti mati mau bagaimana, siapa yang mengurus, dan sebagainya. Bahkan yang paling menohok itu kalau didoakan semoga segera mendapatkan hidayah,” kata dia.

Ia mengatakan hal tersebut karena masyarakat masih banyak yang belum tahu soal penghayat kepercayaan dan perkembangan situasi sosial-spiritual di Indonesia. 

Sarno mengatakan masyarakat tidak salah karena mereka tidak tahu. 

Penghayat kepercayaan, tutur Sarno, lebih membuktikan spiritualitas dengan tindakan nyata kepada alam. 

Ia mengatakan penghayat kepercayaan memiliki orientasi pokoknya tetap ketuhanan. Walau tidak seperti agama yang memiliki teologi tapi memiliki nilai teosofis yang tinggi.

Diberhentikan dari Pekerjaan

Selanjutnya, Sarno mengungkap penghayat kepercayaan muda khawatir mengganti kolom kepercayaan karena ditakutkan menghambat karier.

“Kebetulan anak saya, sempat menjadi satpam di salah satu sekolah di Boyolali. Waktu tahu dia seorang penghayat kepercayaan, akhirnya diberhentikan,” kata dia.

Sang putra yang telah diberhentikan pada akhir 2024 hingga saat ini belum mendapatkan pekerjaan. 

Padahal, Sarno mengatakan pekerjaan seperti polisi, TNI, hingga ASN dari penganut penghayat kepercayaan telah difasilitasi.

Berbeda dengan penghayat kepercayaan yang sudah berumur, biasanya lebih berani mengganti kolom KTP karena telah mantap secara spiritualnya. 

Sehingga, tidak terlalu memikirkan dampak yang ada. 

"Selain itu, penganut yang ingin menjadi pengurus MLKI disyaratkan harus ber-KTP penghayat kepercayaan," kata dia.

Sarno kemudian menunjukkan KTP-nya kepada Espos.id, kolom agama di KTP-nya telah bertuliskan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ia menilai toleransi di Boyolali sudah baik, tapi hal tersebut baru di tokoh-tokohnya. 

Namun, di akar rumput atau masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah.

“Biarkan kami hidup damai di dalam kehidupan masyarakat semua. Terimalah kami sebagai warga, dan kami pun saudara Anda. Sesama kita semua adalah umat Tuhan, kami juga percaya Tuhan karena Dia Sang Pencipta. Kami ada karena ada yang mengadakan,” kata dia.

Sementara itu, anak Sarno, Arya Bagus Yuda Lelana, 29, mengatakan saat ini bekerja serabutan di ladang setelah diberhentikan dari satpam di salah satu sekolah. 

Ia mengakui belum ada penghasilan tetap untuk menghidupi istrinya. Saat ini, ia tinggal bersama keluarga sang istri di Sidomulyo, Ampel, Boyolali.

Bagus menceritakan perusahaan outsourcing yang ia naungi menugaskan ia bekerja sebagai satpam di sebuah sekolah berbasis agama. 

Setelah dua bulan bekerja, pihak sekolah tahu bahwa Bagus merupakan penghayat kepercayaan karena ia tak pernah terlihat melaksanakan ibadah.

Saat ditanya alasan tak pernah melakukan ibadah di sekolah, Bagus mengaku bahwa dia seorang penghayat kepercayaan. 

Atasannya dari perusahaan outsourcing kemudian dihubungi dari pihak sekolah.

“Kepala bagian terkait [di sekolah] meminta untuk penggantian security, terkait dengan kepercayaan. Itu baru Juli 2024,” kata dia.

Bagus mengaku belum mengubah kolom agama di KTP. Penyebabnya karena mendapatkan saran dari salah satu temannya. Hal tersebut untuk mempermudah birokrasi dan administrasi hingga pekerjaan.

“Tapi itu dulu, kalau sekarang mungkin sudah berbeda lagi soalnya tokoh penghayat kepercayaan sudah muncul. Kemungkinan nanti KTP saya ubah [kolom agamanya] terlepas risikonya, saya sudah damai [dengan diri sendiri] sekarang,” kata dia.

Ia berharap masyarakat nantinya bisa inklusif dan toleran terhadap penghayat kepercayaan walaupun menurutnya hal tersebut membutuhkan tahapan yang panjang.

114 Penghayat Kepercayaan di Boyolali

Terpisah, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Boyolali, Susilo Hartono, menyampaikan pihaknya selalu aktif jemput bola ketika ada kelompok penghayat kepercayaan yang ingin mengganti kolom agama di KTP.

Ia mengatakan biasanya penghayat kepercayaan tinggal berdekatan dan berkumpul, sehingga layanan jemput bola dilaksanakan dalam satu tempat. 

Layanan jemput bola bertujuan untuk mempermudah pergantian kolom agama untuk penghayat kepercayaan.

"Teknisnya biasanya mereka [penghayat kepercayaan] mengumpulkan data dulu, ada surat keterangan kalau benar-benar penghayat kepercayaan, kalau sudah mengumpulkan begitu pasti kami fasilitasi," kata dia.

Susilo mengatakan berdasarkan data Dispendukcapil Boyolali ada 63 laki-laki dan 51 perempuan yang telah menuliskan administrasi kependudukan sebagai penghayat kepercayaan. Sehingga, total ada 114 penghayat kepercayaan yang telah mengubah kolom agama di KTP mereka.

Angka tersebut termasuk sangat kecil dibanding sekitar 4.000 penghayat kepercayaan di Boyolali. 

Sehingga, baru ada sekitar 2,85% penghayat kepercayaan yang mengganti kolom agama sedangkan 97,15% belum mengganti.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, mengatakan di Indonesia agama samawi atau besar sudah diidentifikasi sebagai agama tetap negara. 

Masyarakat yang tidak menganut agama samawi seolah-olah tidak beragama karena pengertian agama dimaknai sebagai suatu yang memiliki pengakuan dunia.

"Sementara kepercayaan yang sifatnya lokal, yang itu juga memiliki nilai spiritualitasme keagamaan, ada Tuhan yang dipercaya, itu dianggap tidak ada, dianggap tidak beragama. Nah ini yang kemudian berakibat pada identitasnya [penghayat kepercayaan] tidak diakui masyarakat secara sosial. Untuk menghindari itu, dia [penghayat kepercayaan] masih menggunakan agama [lain] bukan kepercayaan yang dia miliki walaupun sudah diakui negara," kata dia.

Ia mengatakan walau negara telah memfasilitasi pengubahan kolom agama menjadi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat luas masih belum terbiasa untuk menerima hal tersebut. 

Selain itu, Drajat mengatakan penghayat kepercayaan masih belum memiliki keyakinan seperti ketika mengaku sebagai penghayat maka akan banyak akses yang tidak bisa digunakan, KTP dicurigai keasliannya, dan sebagainya.

Ketika negara telah memfasilitasi penggantian kolom agama di KTP para penghayat kepercayaan, Drajat menyarankan pemerintah juga harus memberikan ruang dan akses dalam berbagai kepengurusan. 

Tidak hanya untuk mengurus KTP tapi juga layanan akte, kelahiran, rumah sakit, pernikahan, hingga kematian. 

Menurutnya, pemerintah harus tegas mengatur hal-hal tersebut untuk mempermudah penghayat kepercayaan mengakses layanan.

Drajat menyebut di Pulau Jawa ada agama Kapitayan yang bahkan lebih dahulu ada dari agama-agama samawi yang ada di Indonesia. 

Namun, karena kapitayan dianggap sebagai hal lokal dan hanya bagian dari kebudayaan hingga tidak dianggap sebagai agama. 

Hingga saat ini, Drajat mengatakan masih ada orang yang mengikuti kapitayan.

"Saat ini konsepsi toleransi yang ada itu adalah toleransi antara agama dengan agama yang lain. Namun, toleransi antara agama dengan kepercayaan atau agnostik atau atheis, sebenarnya tidak ada karena itu bukan dianggap sebagai bagian dari agama. Nah, itu yang berjalan di tempat kami itu, akibatnya di luar agama itu, dianggap kebudayaan," kata dia.

Hal tersebut terjadi karena dominan agama besar dan pengakuan pemerintah terhadap agama tersebut. 
Menurutnya, pemerintah memiliki peranan penting untuk membangun orientasi keberagamaan dan relasi antara agama dan kepercayaan.

Ia juga menekankan pentingnya peran pendidikan di sekolah untuk memperkenalkan penghayat kepercayaan. 
Selama ini, ia menilai hal tersebut masih kurang dan hanya memperkenalkan agama besar. 

Akibatnya, masyarakat kurang pengetahuan lalu membuat kesadaran masyarakat terhadap penghayat kepercayaan tidak timbul.

Ketika ada intoleransi terhadap penghayat kepercayaan dari, memiliki konteks karena pengetahuan atau kesadaran masyarakat yang kurang. 

Ketika orang tidak paham akan suatu hal dapat menimbulkan stigma kepada penghayat kepercayaan sehingga dianggap sebagai hal klenik, sesat, dan hanya berkutat di kebudayaan.

"Bukan seperti Islam dan Kristen [sama-sama agama besar], kan masing-masing saling tahu agama yang lain seperti apa. Nah yang ini [terhadap penghayat kepercayaan], satu pihak lebih karena tidak tahu. Jadi ini intoleransi yang disebabkan karena ketidakpahaman dan ketidaktahuan. Bukan intoleransi karena satu pihak tidak mau menerima, tapi karena enggak mengerti bahwa penghayat kepercayaan bagi penganutnya itu agama," kata dia.

Ia mengatakan masyarakat harus diberikan informasi soal adanya pluralisme atau berbagai agama agar mereka bersikap terbuka. 

Untuk membuat masyarakat bersikap terbuka, harus ada pihak yang menyediakan informasi baik dari pemerintah dan kelompok masyarakat yang peduli dengan penghayat kepercayaan. 

Ketika masyarakat bersikap terbuka, lanjut Drajat, maka penghayat kepercayaan juga bakal membuka diri dan akhirnya berani menggunakan identitasnya. 

"Teman-teman penggiat kepercayaan agar lebih aktif dan membuka diri. Di samping itu, masyarakat juga harus menyadari pentingnya pluralisme," kata dia. 

https://www.google.com/amp/s/solopos...tp-2048081/amp

Lebih baik , kolom agama di ktp, dihapus aja, nggak ada gunanya sama sekali

bingsunyataAvatar border
rizkync108Avatar border
rizkync108 dan bingsunyata memberi reputasi
-2
179
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan