- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ancaman di Balik Tradisi ‘Menyiksa’ Sunat Perempuan


TS
abdul.hakam
Ancaman di Balik Tradisi ‘Menyiksa’ Sunat Perempuan
Quote:

Sunat perempuan atau female genital mutilation masih mengakar di berbagai wilayah Indonesia, meski membawa risiko serius bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Tradisi ini terus bertahan, dilanggengkan oleh dalih agama, budaya, dan stigma sosial yang tak berlandaskan bukti medis.
Ingatan masa kecil tentang seorang ayah yang meminta maaf kepada putri tercintanya membuat Farha membongkar ulang, memikirkan takdir perempuan yang ternyata memiliki sebuah pilihan. Ayahnya menitikkan air mata di depan Farha ketika ia duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Ia meminta maaf karena sebuah keputusan keliru: menyunat Farha ketika baru saja lahir ke dunia.
“Saat itu beliau menangis. Ayah saya jarang menangis karena kan laki-laki ditradisikan gengsi untuk mengeluarkan air mata karena budaya ya. Dan perlukaan terhadap alat genital (saya) itu membuat trauma ayah saya. Karena kan keputusan ada di tangannya,” ungkap Farha kepada detikX.
Farha lahir dan tumbuh di kampung tua yang masih menjunjung tinggi tradisi setempat yang terletak di Ambon. Keluarga besarnya, juga lingkungan kampungnya, menganut mazhab Syafi'i, sehingga sunat perempuan dianggap sebagai wajib, seperti halnya sunat bagi laki-laki.
Hampir mustahil pada masa itu, tahun 1963, ayah Farha menolak menyunat putri tercintanya. Bahkan pada masa kini, keponakan Farha masih mengalaminya. Baginya, membicarakan sedikit saja sunat perempuan dalam keluarganya menjadi hal yang sangat sensitif.
Tonggak penyelaman pribadi Farha terhadap isu-isu perempuan, tentang apa yang ia alami dan banyak perempuan lainnya, terutama menyoal sunat perempuan, terbangun ketika dirinya memasuki dunia pendidikan tinggi.
“Dan ini juga membuat saya kaget gitu dan memikirkan, dalam proses tumbuh kembang, saya merasa ya kalau sunat laki-laki itu kan dianggap sesuatu yang mulia, yang wajar dengan motif yang positif. Sunat perempuan saya nggak menemukan jawabannya. Nah, setelah baca-baca dan terutama setelah saya mahasiswa, saya baru menemukan sumber-sumbernya,” tutur perempuan yang menjadi salah seorang penggagas organisasi isu hak-hak perempuan, Rahima, itu.
Meski kini mulai ada peraturan pelarangan sunat perempuan, jika ada pihak yang melakukannya hanya secara simbolis, Farha tetap menentangnya. Sebab, menurut Farha, melanggengkan praktik ini artinya melanggengkan anggapan sunat menyelamatkan perempuan dari nafsu seks liar perempuan.
“Kalau dilihat motifnya, itu memang semacam pensucian perempuan dari kotoran yang dianggap lahir dengan kekotoran itu yang ada di alat genitalnya. Jadi, menurut saya, ideologi inilah yang jahat, yang harus kita lawan. Perempuan sebagai makhluk seksual dengan segala stigma buruknya, justru proses-proses internalisasinya jadi semakin kuat kalau kita tetap mengiyakan sunat perempuan secara simbolis ini,” tandas Farha.
Bukan hanya Farha, dua perempuan yang namanya disamarkan juga mengalami hal serupa. Rieke lahir di Tangerang pada 2004. Syifa lahir di Jakarta Selatan 2002. Keduanya disunat ketika masih bayi merah, diputuskan orang tua mereka dengan alasan agama.
“Mamah bilang disunatnya itu dengan cara digunting pakai gunting yang biasa digunain untuk operasi. Mamah juga bilang untuk sunat ke aku itu karena ajaran dari guru agamanya, untuk kesehatan, dan juga ajaran dari orang tua dulu,” ujar Syifa.
Ibu Syifa khawatir, jikalau tak disunat, anak-anak perempuannya tidak sah secara agama. Meski hingga saat ini Syifa belum merasakan efek kesehatannya berdasarkan diagnosis dari dokter, ia sempat membaca beberapa di internet.
“Dari yang aku sempat baca, efek jangka panjang mengakibatkan beberapa masalah kayak keputihan atau menstruasi. Dari yang aku alami, aku memang cukup sering mengalami keputihan, mungkin seenggaknya satu kali dalam sehari,” katanya.
Syifa menentang praktik seperti ini dilanjutkan, sebagai perempuan, jika efek sunat perempuan itu memang berdampak jua pada kepuasan seksual. Ini semakin membuatnya khawatir. Baginya, perempuan juga berhak merasa puas dalam hubungan seksual sama halnya dengan laki-laki.
Sedangkan Rieke, keputusan sunat yang diambil oleh orang tuanya, selain lantaran pertimbangan agama, juga karena direkomendasikan oleh dokter tempatnya dilahirkan. Sama dengan Syifa, bagi Rieke, meski sampai saat ini tidak mengalami dampak kesehatan, menurutnya, sunat perempuan tak ada faedahnya.
WHO mencatat sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) berdampak buruk pada kesehatan tanpa adanya manfaat medis. FGM dapat menyebabkan pendarahan, infeksi, nyeri kronis, komplikasi melahirkan, dan gangguan seksual. Sering kali FGM diperburuk oleh pelaksanaan yang tidak memenuhi standar medis.
Secara psikologis, FGM juga dapat memicu trauma, depresi, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). WHO menggolongkan FGM sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan menyerukan penghapusan praktik ini untuk melindungi kesehatan serta hak perempuan di seluruh dunia.
https://news.detik.com/x/detail/spot...nat-Perempuan/
Klitoris di kelamin perempuan itu analog dgn penis di laki2.
Kehilangan klitoris bagi perempuan sama halnya ibarat laki2 kehilangan penisnya, tidak merasakan lagi kenikmatan seksual.
Heran, sudah bagus2 manusia diciptakan oleh Tuhan, eh suatu ajaran sesat bikinan manusia mengklaim kalau salah satu organnya itu merupakan kecacatan dan harus dimutilasi.





waloni dan 128.199.190.86 memberi reputasi
2
436
Kutip
34
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan