- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ramai-Ramai Kritik PDIP Soal Kenaikan PPN 12%: Inkonsisten, Cuci Tangan, Mantap Kali


TS
the.commandos
Ramai-Ramai Kritik PDIP Soal Kenaikan PPN 12%: Inkonsisten, Cuci Tangan, Mantap Kali
Ramai-Ramai Kritik PDIP Soal Kenaikan PPN 12%: Inkonsisten, Cuci Tangan, dan Mantap Kali Bikin

Interupsi PDI Perjuangan di sidang paripurna soal kenaikan PPN 12% dikritik sebagai sikap inkonsisten.
Sejumlah fraksi di DPR-RI mengkritik langkah fraksi PDI Perjuangan yang menolak pemberlakuan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Mereka menilai penolakan PDI Perjuangan menggambarkan sikap politik yang inkosisten.
Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun misalnya, menyebut PDI Perjuangan bersikap mencla-mencle lantaran saat masih berkuasa mereka mendukung kenaikan pajak tersebut.
"Sikap politik mencla-mencle PDI Perjuangan seperti ini harus diketahui oleh semua rakyat Indonesia banyak. Ketika berkuasa berkata apa, ketika tidak menjadi bagian dari kekuasaan seakan-akan paling depan menyuarakan kepentingan rakyat. Berpolitiklah secara elegan," kata Misbakhun dikutip Antara di Jakarta, Senin (23/12/2024).
Misbakhun mengungkapkan PDI Perjuangan berperan dalam kenaikan PPN karena mereka merupakan Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang bergulir pada periode kepemimpinan DPR RI sebelumnya.
"Mereka terlibat dalam proses politik pembuatan undang-undang itu, bahkan kader PDI Perjuangan Dolfie OFP (Dolfie Othniel Frederic Palit) menjadi Ketua Panja RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) saat pertama kali RUU itu diberikan nama, lalu berubah disetujui menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)," tuturnya.
Misbakhun mengatakan sebagai anggota Panja RUU HPP, dirinya ikut menyaksikan dan mengetahui dinamika pembahasan mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dalam RUU tersebut.
"Untuk itu, kalau saat ini ada upaya politik balik arah dari PDI Perjuangan dengan melakukan upaya penolakan itu berarti mereka mau tinggal glanggang colong playu," ujarnya.
Misbakhun menilai tidak selayaknya PDI Perjuangan seolah cuci tangan terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen sebab semuanya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP yang ditetapkan pada Oktober 2021.
"Tidak selayaknya PDI Perjuangan membuat langkah-langkah politik cuci tangan seakan-akan mereka tidak terlibat dalam proses politik ketika membahas UU HPP yang menentukan kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan naik lagi menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 nanti," katanya.
Gerindra Sebut PDI Perjuangan Inisiator
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi Gerindra Wihadi Wiyanto UU HPP merupakan produk legislatif periode 2019-2024 yang diinisiasi PDI Perjuangan.
"Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan," kata Wihadi dikutip Antara di Jakarta, Minggu (22/12/2024).
Wihadi menyebut sikap PDIP saat ini terhadap penerapan kebijakan PPN 12 persen sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP tersebut.
"Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin Panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto)," ujar anggota Komisi XI DPR RI itu.
Dia pun mengingatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebab kebijakan itu menjadi payung hukum yang diputuskan PDIP pada periode 2019-2024.
"Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDI Perjuangan dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan," ucapnya.
Wihadi menilai sikap PDI Perjuangan saat ini seperti upaya "melempar bola panas" kepada pemerintahan Presiden Prabowo, padahal kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam UU HPP merupakan produk DPR periode sebelumnya dari PDIP.
"Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka, jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP," tuturnya.
Dia mengatakan Presiden Prabowo sudah menimbang kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah, salah satunya dengan menerapkan kenaikan PPN tersebut dikenakan terhadap barang-barang mewah.
"Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo," kata dia.
Rahayu Saraswati, Anggota Fraksi Gerindra juga mengomentari protes anggota PDI Perjuangan di sidang paripurna DPR RI.
"Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12%. Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa. Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya," ujar Saraswati.
Saraswati menilai, sikap tersebut bertolak belakang dengan peran PDIP di masa lalu, terutama dalam pembahasan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menjadi dasar hukum kenaikan PPN. Ia menekankan bahwa PDIP memegang posisi penting sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) UU HPP.
"Padahal mereka saat itu Ketua Panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12% ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka Ketua Panjanya?" imbuhnya.
Nasdem: PDI Perjuangan Lempar Batu Sembunyi Tangan
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi NasDem Fauzi Amro mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR, termasuk Fraksi PDI Perjuangan.
"Penolakan PDIP terhadap kebijakan ini bertentangan dengan keputusan yang telah diambil sebelumnya," kata Fauzi dikutip Antara di Jakarta, Senin (23/12/2024).
Dia menjelaskan UU HPP merupakan hasil kesepakatan bersama yang disahkan melalui Rapat Paripurna DPR pada 7 Oktober 2021. Dalam pembahasannya, Panitia Kerja (Panja) RUU HPP dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit.
Untuk itu, Fauzi menilai langkah PDIP mencerminkan sikap yang tidak konsisten karena telah mengkhianati atau mengingkari kesepakatan yang dibuat bersama antara Pemerintah dan DPR, termasuk Fraksi PDIP yang sebelumnya menyetujui kebijakan tersebut.
"Sikap ini seperti lempar batu sembunyi tangan dan berpotensi mempolitisasi isu untuk meraih simpati publik," tuturnya.
Menurut Ketua DPP Partai NasDem tersebut, kenaikan PPN 12 persen merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan memperkuat penerimaan negara serta mendukung konsolidasi fiskal. Pemerintah juga telah memberikan pengecualian PPN nol persen untuk bahan pokok.
Adapun jenis barang dan jasa PPN nol persen mulai 1 Januari 2025, yakni barang meliputi beras, daging ayam ras, daging sapi, gula pasir, berbagai jenis ikan, telur ayam, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah.
Kemudian, jasa yang tidak dikenai PPN 12 persen atau nol persen mulai Januari 2025 terdiri atas jasa pendidikan, layanan kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rumah susun sederhana milik (rusunami), serta pemakaian listrik dan air minum.
“Langkah ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan dasar masyarakat,” ucap Fauzi.
Komisi XI DPR, kata dia, akan terus memantau pelaksanaan kebijakan tersebut dan berkomitmen membuka ruang dialog dengan Pemerintah serta pelaku usaha untuk memastikan kebijakan berjalan sesuai tujuan tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi rakyat. Dengan rekam jejak digital yang masih tersedia, dirinya pun mengingatkan PDIP untuk konsisten dengan keputusan yang telah disepakati dan tidak mempermainkan isu tersebut demi kepentingan politik jangka pendek.
Interupsi PDI Perjuangan
Sebelumnya, Anggota DPR RI RIeke Diah Pitaloka menyampaikan interupsi saat Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (19/12/2024), untuk meminta pembatalan wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Berdasarkan amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, menurut dia, PPN dapat diubah bukan hanya paling tinggi menjadi 15 persen, melainkan bisa juga diubah paling rendah menjadi 5 persen.
"Keputusan naik tidaknya harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya," katanya.
Rieke mengingatkan bahwa persoalan fiskal dan moneter dari kehidupan masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan deflasi selama 5 bulan yang terjadi harus diwaspadai berdampak pada krisis ekonomi hingga kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ia berharap pembangunan infrastruktur wajib mempertimbangkan skala prioritas yang memengaruhi hajat hidup orang. Menurut dia, banyak inovasi dan kreativitas untuk mencari sumber anggaran negara yang tidak membebani pajak rakyat dan membahayakan keselamatan negara.
"Saya merekomendasikan di rapat paripurna ini, mendukung Presiden RI Prabowo, pertama, menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat (3) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021," kata dia.
Di samping itu, dia juga meminta Pemerintah menerapkan self assessment monitoring system (sistem pemantauan penilaian mandiri) dalam tata kelola perpajakan. Selain menjadi pendapatan utama negara, menurut dia, pajak juga bisa menjadi instrumen pemberantasan korupsi sekaligus strategi dalam melunasi semua utang negara.
"Sistem ini insyaallah akan memastikan seluruh transaksi keuangan dan nonkeuangan wajib pajak wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan," katanya.
PDI Perjuangan Bantah Jadi Inisiator
Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus membantah pihaknya sebagai inisiator kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurut Deddy, kebijakan tersebut merupakan usulan pemerintah melalui Kementerian Keuangan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini disampaikan Deddy dalam sebuah diskusi bertema "Seni sebagai Medium Kritik Kekuasaan" di Cikini, Jakarta, Minggu (22/12/2024).
"Kenaikan PPN ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah yang mengusulkannya, bukan PDIP. Jadi salah alamat kalau dianggap ini inisiatif kami," ujar Deddy.
Ia menjelaskan bahwa PDIP memang memegang posisi Ketua Panitia Kerja (Panja) dalam pembahasan UU HPP di DPR. Namun, tugas tersebut hanya sebatas memfasilitasi pembahasan di parlemen, sementara inisiatif utama berasal dari pemerintah.
Deddy juga menambahkan bahwa pada saat pembahasan, kenaikan tarif PPN disetujui dengan asumsi kondisi ekonomi global dan nasional akan semakin membaik di tahun-tahun mendatang. Namun, ia mengakui bahwa situasi saat ini menunjukkan dinamika yang perlu dipertimbangkan ulang.
"Ketika keputusan itu diambil, kita optimis ekonomi membaik. Tapi sekarang, kita lihat dollar terus naik, dan sebagaimana disampaikan Pak Jokowi, tahun 2025 akan ada ancaman badai PHK. Ini harus jadi perhatian," jelasnya.
Lebih lanjut, Deddy menyebut bahwa sejumlah fraksi di DPR, termasuk PDIP, telah meminta evaluasi ulang terkait penerapan tarif baru PPN ini, terutama dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat yang tertekan akibat kondisi ekonomi yang belum stabil.
Isu kenaikan PPN 12 persen kini menjadi sorotan tajam, dengan berbagai pihak menyoroti dampaknya terhadap masyarakat dan ekonomi nasional. Sementara itu, PDIP terus berupaya memperjelas posisinya di tengah kritik yang dilayangkan berbagai pihak, termasuk dari sesama anggota koalisi.
https://narasi.tv/read/narasi-daily/...ikin-kontennya



Interupsi PDI Perjuangan di sidang paripurna soal kenaikan PPN 12% dikritik sebagai sikap inkonsisten.
Sejumlah fraksi di DPR-RI mengkritik langkah fraksi PDI Perjuangan yang menolak pemberlakuan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Mereka menilai penolakan PDI Perjuangan menggambarkan sikap politik yang inkosisten.
Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun misalnya, menyebut PDI Perjuangan bersikap mencla-mencle lantaran saat masih berkuasa mereka mendukung kenaikan pajak tersebut.
"Sikap politik mencla-mencle PDI Perjuangan seperti ini harus diketahui oleh semua rakyat Indonesia banyak. Ketika berkuasa berkata apa, ketika tidak menjadi bagian dari kekuasaan seakan-akan paling depan menyuarakan kepentingan rakyat. Berpolitiklah secara elegan," kata Misbakhun dikutip Antara di Jakarta, Senin (23/12/2024).
Misbakhun mengungkapkan PDI Perjuangan berperan dalam kenaikan PPN karena mereka merupakan Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang bergulir pada periode kepemimpinan DPR RI sebelumnya.
"Mereka terlibat dalam proses politik pembuatan undang-undang itu, bahkan kader PDI Perjuangan Dolfie OFP (Dolfie Othniel Frederic Palit) menjadi Ketua Panja RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) saat pertama kali RUU itu diberikan nama, lalu berubah disetujui menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)," tuturnya.
Misbakhun mengatakan sebagai anggota Panja RUU HPP, dirinya ikut menyaksikan dan mengetahui dinamika pembahasan mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dalam RUU tersebut.
"Untuk itu, kalau saat ini ada upaya politik balik arah dari PDI Perjuangan dengan melakukan upaya penolakan itu berarti mereka mau tinggal glanggang colong playu," ujarnya.
Misbakhun menilai tidak selayaknya PDI Perjuangan seolah cuci tangan terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen sebab semuanya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP yang ditetapkan pada Oktober 2021.
"Tidak selayaknya PDI Perjuangan membuat langkah-langkah politik cuci tangan seakan-akan mereka tidak terlibat dalam proses politik ketika membahas UU HPP yang menentukan kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan naik lagi menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 nanti," katanya.
Gerindra Sebut PDI Perjuangan Inisiator
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi Gerindra Wihadi Wiyanto UU HPP merupakan produk legislatif periode 2019-2024 yang diinisiasi PDI Perjuangan.
"Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan," kata Wihadi dikutip Antara di Jakarta, Minggu (22/12/2024).
Wihadi menyebut sikap PDIP saat ini terhadap penerapan kebijakan PPN 12 persen sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP tersebut.
"Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin Panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto)," ujar anggota Komisi XI DPR RI itu.
Dia pun mengingatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebab kebijakan itu menjadi payung hukum yang diputuskan PDIP pada periode 2019-2024.
"Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDI Perjuangan dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan," ucapnya.
Wihadi menilai sikap PDI Perjuangan saat ini seperti upaya "melempar bola panas" kepada pemerintahan Presiden Prabowo, padahal kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam UU HPP merupakan produk DPR periode sebelumnya dari PDIP.
"Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka, jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP," tuturnya.
Dia mengatakan Presiden Prabowo sudah menimbang kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah, salah satunya dengan menerapkan kenaikan PPN tersebut dikenakan terhadap barang-barang mewah.
"Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo," kata dia.
Rahayu Saraswati, Anggota Fraksi Gerindra juga mengomentari protes anggota PDI Perjuangan di sidang paripurna DPR RI.
"Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12%. Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa. Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya," ujar Saraswati.
Saraswati menilai, sikap tersebut bertolak belakang dengan peran PDIP di masa lalu, terutama dalam pembahasan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menjadi dasar hukum kenaikan PPN. Ia menekankan bahwa PDIP memegang posisi penting sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) UU HPP.
"Padahal mereka saat itu Ketua Panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12% ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka Ketua Panjanya?" imbuhnya.
Nasdem: PDI Perjuangan Lempar Batu Sembunyi Tangan
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi NasDem Fauzi Amro mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR, termasuk Fraksi PDI Perjuangan.
"Penolakan PDIP terhadap kebijakan ini bertentangan dengan keputusan yang telah diambil sebelumnya," kata Fauzi dikutip Antara di Jakarta, Senin (23/12/2024).
Dia menjelaskan UU HPP merupakan hasil kesepakatan bersama yang disahkan melalui Rapat Paripurna DPR pada 7 Oktober 2021. Dalam pembahasannya, Panitia Kerja (Panja) RUU HPP dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit.
Untuk itu, Fauzi menilai langkah PDIP mencerminkan sikap yang tidak konsisten karena telah mengkhianati atau mengingkari kesepakatan yang dibuat bersama antara Pemerintah dan DPR, termasuk Fraksi PDIP yang sebelumnya menyetujui kebijakan tersebut.
"Sikap ini seperti lempar batu sembunyi tangan dan berpotensi mempolitisasi isu untuk meraih simpati publik," tuturnya.
Menurut Ketua DPP Partai NasDem tersebut, kenaikan PPN 12 persen merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan memperkuat penerimaan negara serta mendukung konsolidasi fiskal. Pemerintah juga telah memberikan pengecualian PPN nol persen untuk bahan pokok.
Adapun jenis barang dan jasa PPN nol persen mulai 1 Januari 2025, yakni barang meliputi beras, daging ayam ras, daging sapi, gula pasir, berbagai jenis ikan, telur ayam, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah.
Kemudian, jasa yang tidak dikenai PPN 12 persen atau nol persen mulai Januari 2025 terdiri atas jasa pendidikan, layanan kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rumah susun sederhana milik (rusunami), serta pemakaian listrik dan air minum.
“Langkah ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan dasar masyarakat,” ucap Fauzi.
Komisi XI DPR, kata dia, akan terus memantau pelaksanaan kebijakan tersebut dan berkomitmen membuka ruang dialog dengan Pemerintah serta pelaku usaha untuk memastikan kebijakan berjalan sesuai tujuan tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi rakyat. Dengan rekam jejak digital yang masih tersedia, dirinya pun mengingatkan PDIP untuk konsisten dengan keputusan yang telah disepakati dan tidak mempermainkan isu tersebut demi kepentingan politik jangka pendek.
Interupsi PDI Perjuangan
Sebelumnya, Anggota DPR RI RIeke Diah Pitaloka menyampaikan interupsi saat Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (19/12/2024), untuk meminta pembatalan wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Berdasarkan amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, menurut dia, PPN dapat diubah bukan hanya paling tinggi menjadi 15 persen, melainkan bisa juga diubah paling rendah menjadi 5 persen.
"Keputusan naik tidaknya harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya," katanya.
Rieke mengingatkan bahwa persoalan fiskal dan moneter dari kehidupan masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan deflasi selama 5 bulan yang terjadi harus diwaspadai berdampak pada krisis ekonomi hingga kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ia berharap pembangunan infrastruktur wajib mempertimbangkan skala prioritas yang memengaruhi hajat hidup orang. Menurut dia, banyak inovasi dan kreativitas untuk mencari sumber anggaran negara yang tidak membebani pajak rakyat dan membahayakan keselamatan negara.
"Saya merekomendasikan di rapat paripurna ini, mendukung Presiden RI Prabowo, pertama, menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat (3) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021," kata dia.
Di samping itu, dia juga meminta Pemerintah menerapkan self assessment monitoring system (sistem pemantauan penilaian mandiri) dalam tata kelola perpajakan. Selain menjadi pendapatan utama negara, menurut dia, pajak juga bisa menjadi instrumen pemberantasan korupsi sekaligus strategi dalam melunasi semua utang negara.
"Sistem ini insyaallah akan memastikan seluruh transaksi keuangan dan nonkeuangan wajib pajak wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan," katanya.
PDI Perjuangan Bantah Jadi Inisiator
Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus membantah pihaknya sebagai inisiator kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurut Deddy, kebijakan tersebut merupakan usulan pemerintah melalui Kementerian Keuangan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini disampaikan Deddy dalam sebuah diskusi bertema "Seni sebagai Medium Kritik Kekuasaan" di Cikini, Jakarta, Minggu (22/12/2024).
"Kenaikan PPN ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah yang mengusulkannya, bukan PDIP. Jadi salah alamat kalau dianggap ini inisiatif kami," ujar Deddy.
Ia menjelaskan bahwa PDIP memang memegang posisi Ketua Panitia Kerja (Panja) dalam pembahasan UU HPP di DPR. Namun, tugas tersebut hanya sebatas memfasilitasi pembahasan di parlemen, sementara inisiatif utama berasal dari pemerintah.
Deddy juga menambahkan bahwa pada saat pembahasan, kenaikan tarif PPN disetujui dengan asumsi kondisi ekonomi global dan nasional akan semakin membaik di tahun-tahun mendatang. Namun, ia mengakui bahwa situasi saat ini menunjukkan dinamika yang perlu dipertimbangkan ulang.
"Ketika keputusan itu diambil, kita optimis ekonomi membaik. Tapi sekarang, kita lihat dollar terus naik, dan sebagaimana disampaikan Pak Jokowi, tahun 2025 akan ada ancaman badai PHK. Ini harus jadi perhatian," jelasnya.
Lebih lanjut, Deddy menyebut bahwa sejumlah fraksi di DPR, termasuk PDIP, telah meminta evaluasi ulang terkait penerapan tarif baru PPN ini, terutama dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat yang tertekan akibat kondisi ekonomi yang belum stabil.
Isu kenaikan PPN 12 persen kini menjadi sorotan tajam, dengan berbagai pihak menyoroti dampaknya terhadap masyarakat dan ekonomi nasional. Sementara itu, PDIP terus berupaya memperjelas posisinya di tengah kritik yang dilayangkan berbagai pihak, termasuk dari sesama anggota koalisi.
https://narasi.tv/read/narasi-daily/...ikin-kontennya






db84x4 dan kakekane.cell memberi reputasi
2
398
22


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan