- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
BRIN: Pemerintah jangan terlalu alergi dengan istilah “Penentuan nasib sendiri”


TS
mabdulkarim
BRIN: Pemerintah jangan terlalu alergi dengan istilah “Penentuan nasib sendiri”

Prof. Dr. Cahyo Pamungkas saat jawab di ruang auditorium BRIN Jakarta pada Jumat (20/12/2024).- Jubi/Tangkapan layer Kanal Youtube.
SHAR
Jayapura, Jubi – Peneliti BRIN, Rosita Dewi PhD mengatakan spirit dari Otsus itu sendiri untuk rekognisi orang asli Papua. Namun setelah 20 tahun implementasi Otsus, justru terlihat hal-hal paradoksal.
Menurutnya konsep penentuan nasib sendiri ada dua bentuk. Yaitu penentuan nasib sendiri secara internal dan eksternal. Jadi, adanya otonomi khusus Papua itu sebagai salah satu bentuk internal self determination.
“Ini juga sebenarnya pesan buat pemerintah bahwa jangan terlalu alergi dengan istilah self determination. Jadi perlu pahami yang dimaksud apakah internal self determination ataukah eksternal self determination. Jadi secara konsep otonomi itu dilihat sebagai sebuah bentuk win-win solution untuk isu separatisme di Papua,” kata Rosita saat menyampaikan presentasinya, di Jakarta, Jumat (20/12/2024).
Rosita Dewi menyampaikan jurnal yang pernah diterbitkan, berjudul ‘Paradoks Pengakuan Papua setelah dua dekade Otonomi Khusus: Rasisme, Kekerasan, dan Penentuan Nasib Sendiri’. Ia mengatakan sebenarnya topik yang dirinya angkat dalam jurnal ini, terkait bagaimana 20 tahun implementasi Otonomi Khusus Papua, terkaitrekognisi di Papua.
“Otonomi khusus Papua ini sebenarnya merupakan hasil negosiasi politik waktu itu tahun 2001 dan disusun sebagai bentuk resolusi konflik. Ini menyediakan legal encounter soal recognition untuk Papua dan rekognisi terhadap eksistensi keberadaan serta pemenuhan hak-hak asasi dari orang asli Papua,” katanya.
Ia menuturkan, pemerintah memiliki ukuran sendiri dan orang Papua punya ukuran sendiri karena tidak pernah dikomunikasikan. Makanya pemerintah merasa tidak ada masalah di Papua yang penting memberikan Gubernur orang asli Papua, bupati dan perangkatnya itu adalah orang asli Papua. Ini yang acapkali digunakan pemerintah. Padahal di sisi lain yang dituntut orang asli Papua bukan indikator seperti itu.
“Misalnya sebelum revisi undang-undang Otsus itu juga dilarang pembentukan partai lokal di Papua, karena dianggap sebagai salah satu bentuk pengukuhan terhadap representasi politik terhadap orang Papua. Kemudian hal-hal seperti ini yang tidak bertemu antara indikator yang digunakan pemerintah dengan indikator yang digunakan oleh orang asli Papua kemudian juga kekerasan yang terus berlanjut eskalasi kekerasan ya terus meningkat di tanah Papua,” ujar peneliti Papua dari BRIN itu.
Pusat Riset Politik, Yogi Setya Mernama juga memaparkan refleksi akhir tahun yang menyampaikan terkait ‘Peran ketakutan dan ingatan dalam konflik etnonasionalis di Papua Barat’.
Menurutnya siklus kekerasan yang tidak pernah selesai di Papua itu, memunculkan sebuah perdebatan akademik yang belum tuntas.
Bisa dikategorisasikan, ada tiga pendekatan yang utama dalam memotret siklus kekerasan di Papua. Pertama, perspektif instrumentalis yakni kenapa konflik Papua itu tidak bisa selesai? karena memang kekerasan itu digunakan sebagai alat untuk meraih kepentingan politik dan ekonomi.
“Kemudian kenapa siklus kekerasan tidak bisa selesai, itu karena ada non instrumental factor terkait dengan ideologi. Kaitan dengan ideologi yang mengantar pada faktor lain dalam apa yang biasanya diadopsi dalam literatur untuk melihat konflik kekerasan di Papua. Itu adalah kegagalan pembangunan jadi monetisasi atau pembagian uang di Papua itu, justru memicu konflik baru. Berujung ada siklus kekerasan yang tidak bisa usai,” katanya.
Yogi Setya mengatakan, pihaknya ingin memotret aspek lain yang jarang sekali disentuh. Yakni tentang faktor emosi atau ketakutan. Pihaknya ingin melihat sejauh mana faktor emosi itu berpengaruh terhadap siklus kekerasan yang tidak pernah usai di Papua.
“Sejauh mana aspek emosi atau perasaan terancam, kemudian berubah menjadi ketakutan secara sosial. Itu memengaruhi konflik kekerasan yang tidak usai di Papua. Salah satu faktor utama terkait dengan emosi, membuat sulit untuk memutus siklus kekerasan di Papua itu, karena ada yang disebut dengan memoria passionis (sejarah kekerasan-red)di sini,” ujarnya.
Menurutnya, ingatan akan penderitaan dan kekerasan itu dirawat terus-menerus dan ditransfer ke generasi. Ini kemudian membentuk perasaan keterancaman bagi teman-teman warga asli Papua terutama di daerah Pegunungan. Kadang kala, ketika merasa ketakutan karena perasaan terancam, mereka bisa membentuk sebuah kolektif kemarahan bersama.(*)
https://jubi.id/headline/2024/brin-p...nasib-sendiri/
Pengungsi konflik bersenjata Papua: Ribuan hidup dalam kesulitan
Syofiardi Bachyul

Pengungsi Konflik Papua
Anak-anak pengungsi Maybrat di SP3, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya mengikuti kegiatan literasi. – Jubi/ Dok SKPKC OSA
Jayapura, Jubi – Ribuan warga sipil Papua yang mengungsi akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB belum bisa pulang ke rumah mereka dan hidup dalam keterbatasan di pengungsian.
Mereka tinggal di tenda, honai, atau menumpang di rumah kerabat. Di pengungsian mereka kesulitan bahan makanan hingga kesulitan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Karena itu, pemerintah pusat dan daerah diminta memprioritaskan penanganan mereka dan menyelesaikan konflik bersenjata.
Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM Pusat Anis Hidayah mengatakan warga sipil Papua yang mengungsi akibat konflik bersenjata itu harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Anis mengatakan pada 2023 dan 2024 melakukan pemantauan kondisi warga sipil Puncak Jaya dan Puncak yang mengungsi di Nabire dan Mimika, serta kondisi pengungsi Maybrat di Sorong dan Maybrat Kota.
“Dua tahun terakhir, kami melakukan pengamatan situasi pengungsi Maybrat dan juga pengungsi di Nabire dan Mimika. Saat saya memantau Maybrat [pengungsi] menangis [ceritakan kondisi mereka],” kata Anis kepada Jubi, Jumat (20/12/2024).

Di Nabire dan Mimika, kata Anis, setidaknya ada 152 kepala keluarga dari Kabupaten Puncak Jaya dan Puncak mulai mengungsi untuk menghindari eskalasi konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB sejak 2015 hingga 2023.
Komnas HAM pada Juli 2024 menemukan pengungsi di Nabire dan Timika menghadapi hambatan untuk mengakses hak atas pangan dan hanya makan sekali sehari. Mereka yang mengungsi karena menghindari konflik bersenjata itu mengandalkan hasil kebun untuk bertahan hidup.
“Pengungsi di Nabire dan Mimika hidup secara bersama-sama di rumah keluarga atau kerabat. Temuan Komnas HAM satu rumah dengan ukuran 6×8 meter persegi dihuni tiga sampai empat kepala keluarga,” ujarnya.
Di Kabupaten Nabire, para pengungsi tinggal tersebar di Distrik Nabire (35 KK) serta Distrik Teluk Timur dan Nabire Timur (96 KK). Di Mimika, ada 21 kepala keluarga tinggal tersebar di Kecamatan Wania, Kecamatan Kuala Kencana dan Distrik Kuala Kencana.
Ratusan pengungsi itu juga kesulitan mendapatkan pekerjaan. Mereka juga harus membayar biaya pendidikan dan kesehatan secara mandiri.
“Temuan secara umum, setidaknya 152 kepala keluarga di Nabire dan Mimika terdiri dari anak-anak, dewasa, dan lansia, mereka kekurangan pangan dengan rata-rata makan sekali sehari, pekerjaan terbatas, akses layanan pendidikan dan kesehatan dilakukan secara mandiri atau prabayar,” ujarnya.

Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM Pusat Anis Hidayah. – Jubi/Dok Humas Komnas HAM Pusat
Kondisi yang sama, kata Anis, juga dialami warga Maybrat yang masih mengungsi di Kabupaten Sorong, Kota Sorong, dan Maybrat Kota. Menurut Anis pemenuhan Hak Asasi Manusia atau HAM bagi pengungsi Maybrat belum sepenuhnya berjalan baik.
“Mereka tidak terpantau dan tidak terdata dengan baik dan pemenuhan HAM mereka sangat menyedihkan,” ujarnya.
Anis mengatakan rumah yang ditinggalkan saat mengungsi dirusak. Pantauan Komnas HAM pada 2023 setidaknya 1.250 rumah yang rusak akibat penyisiran yang dilakukan TNI pasca peristiwa Kisor 2021.
“Rumah-rumah warga juga rusak. Berbagai fasilitas publik dipakai sebagai pos aparat keamanan, menyebabkan fasilitas publik tidak berjalan,” ujarnya.
Menurut Anis sebagian warga Maybrat telah kembali ke kampung mereka. Pantauan Komnas HAM pada 2023 sebanyak 3.387 warga sipil Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya mengungsi menghindari eskalasi konflik bersenjata pasca penyerangan Pos Koramil Persiapan Kisor di Kabupaten Maybrat oleh TPNPB pada 2 September 2021.
Anis tidak menyebutkan berapa banyak warga Maybrat yang telah kembali ke kampung mereka. “Temuan kami tahun ini peran pemerintah cukup signifikan dengan memulangkan pengungsi ke daerah asal secara bertahap. Sebagian besar sudah pulang ke kampung mereka,” katanya.
Hidup berpindah-pindah
Pengungsi Nduga di Wamena, Meli Kamaringi dan keluarganya harus hidup berpindah-pindah sejak mengungsi menghindari konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB-OPM terjadi di Kabupaten Nduga pada Desember 2018. Setidaknya ada 3.459 warga Nduga yang masih mengungsi di Kabupaten Jayawijaya.

Meli Kamaringi (kemeja merah) bersama keluarganya honai mereka di Kompleks STA Tom Bozeman Sinakma Wamena, Kelurahan Wamena Kota, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan. – Jubi/Theo Kelen
Di Wamena, Kamaringi menetap selama sebulan bersama keluarganya di Kampung Ilekma. Lalu ia memutuskan pindah ke Kampung Sekom hingga akhir 2022. Pada awal 2023 ia bersama keluarganya menetap di Kompleks Sekolah Teologi Atas atau STA Tom Bozeman Sinakma Wamena, Kelurahan Wamena Kota, Distrik Wamena, Jayawijaya. Mereka membangun honai di Kompleks STA Tom Bozeman Sinakma Wamena.
Di honai itu, Kamaringgi tinggal bersama istrinya Baga Gwijangge dan anaknya Stepena Kamaringgi (7 tahun) dan Iman Kamaringgi (3 tahun). Bagian dalam honai dibagi menjadi dua. Satu sisi digunakan untuk dapur dan sisi lain dipakai untuk tidur. Lantainya hanya beralaskan rumput.
“Ini saya yang buat sendiri,” kata Kamaringi menceritakan honainya saat ditemui Jubi, 4 Desember 2024.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kamaringi dan istrinya berkebun di sekitar kompleks STA Tom Bozeman Sinakma Wamena. Mereka menanam labu siam, kol, singkong, dan bayam. Hasil kebun itu dijual ke Pasar Sinakma. Mereka juga berjualan kayu bakar. Pendapat itu mereka sisihkan untuk biaya hidup dan pendidikan.
“Sehari bisa dapat Rp50 ribu sampai Rp100 ribu,” ujarnya.
Pengungsi Nduga lainnya di Wamena, Pegina Wembe (23 tahun) mengatakan ikut mengungsi bersama keluarganya untuk menghindari eskalasi konflik bersenjata pada 2018. Ia dan keluarganya mengungsi ke daerah Kuyawage, Lanny Jaya. Namun, ia memutuskan mengungsi ke Wamena agar bisa melanjutkan sekolah.
“Mama dan Bapak tinggal di Kuyawage. Baru bapak meninggal di Kuyawage, Lanny Jaya. Mama saja yang ada. Baru saya datang di sini masuk sekolah, SD di Yigi, SMP dan SMA di Wamena,” ujarnya.

Pegina Wembe (23 tahun) menggendong anaknya Isak Gwijangge (6 bulan) di depan honai mereka di Kelurahan Kelurahan Wamena Kota, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan. – Jubi/Theo Kelen
Wembe kini menetap di Kelurahan Wamena Kota, Distrik Wamena. Ia tinggal bersama suami dan empat anaknya, Rosep Gwijangge (6 tahun), Omaliana Gwijangge (4 tahun), Sepanya Gwijangge (3 tahun), dan Isak Gwijangge (6 bulan). Anaknya Isak sudah seminggu mencret, beringus, dan muntah-muntah.
Wembe sudah membawa Isak berobat ke klinik di Wamena, namun belum sembuh. Padahal ia telah membayar untuk biaya pengobatan sampai Rp900 ribu. Ia berencana akan melakukan kontrol lagi, namun belum memiliki biaya.
“Sakit mulai minggu lalu,” kata Wembe saat ditemui Jubi, 4 Desember 2024.
Wembe mengatakan keluarganya mengandalkan hasil kebun seperti kol, sawi, petatas, dan labu siam. Hasil kebun itu, labu siam dan patatas, dijualnya ke Pasar Sinakma Wamena.
Pengungsi Nduga lainnya, Yabanggal Wandikbo mengatakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil kebun. Ia menanam kol, singkong, bayam, sawi, jagung, dan kacang-kacangan hingga petatas. Wandikbo mengaku harus seizin pemilik tanah untuk berkebun.
“Hidup posisi terjepit,” kata Wandikbo saat ditemui Jubi, 27 November 2024.
Hasil kebun itu kemudian ia jual ke Pasar Sinakma di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Wandikbo berjualan dua kali seminggu. Penghasilannya tidak menentu, bisa Rp30 ribu hingga Rp50 ribu sehari. Hasil penjualan itu ia sisihkan untuk membeli keperluan makan, minum, dan biaya pendidikan anak-anaknya.
“Buka usaha juga jualan kecil-kecil itu, tapi tidak laku, banyak utang-utang. Kalau ke pasar dua kali, tapi kadang tidak beli saya kasih tinggal, tidak bawa pulang,” ujarnya.
Wandikbo tinggal di Kampung Sekom, Distrik Muliama, Kabupaten Jayawijaya. Kampung Sekom adalah tempat 679 jiwa warga asal Nduga yang mengungsi sejak eskalasi konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB terjadi di Kabupaten Nduga pada Desember 2018. (*)
https://jubi.id/polhukam/2024/pengun...lam-kesulitan/
masalah Papua
0
281
17


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan