- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kota Terbaik untuk ”Slow Living”, Mana yang Paling Nyaman?


TS
mnotorious19150
Kota Terbaik untuk ”Slow Living”, Mana yang Paling Nyaman?

Di tengah dunia yang bergerak cepat, banyak individu mulai mempertanyakan nilai dan tujuan hidup mereka. Perkembangan teknologi dan budaya konsumsi telah menciptakan ritme kehidupan yang serba instan tetapi sering kali tanpa makna.
Kondisi ini melahirkan gerakan seperti slow living dan voluntary simplicity yang mengajak manusia untuk hidup lebih sadar, memperlambat langkah, dan kembali pada prioritas esensial.
Fenomena ini tidak hanya berbicara tentang kehidupan individu, tetapi juga membawa dampak besar bagi lingkungan dan masyarakat.
Melalui rangkaian liputan jurnalisme data Kota ”Slow Living”, Kompas mengeksplorasi berbagai pendekatan untuk menjalani hidup yang lebih lambat, sederhana, dan sadar sebagai jawaban atas tantangan modernisasi.
Di mana kota ideal untuk ”slow living” dan pensiun?
Hasil analisis Kompas menempatkan kawasan Kedu Raya, Tasikmalaya Raya, dan Banyumas Raya sebagai kawasan terbaik untuk slow living, dinilai dari biaya hidup, keamanan, dan infrastruktur.
Malang Raya dan Kedungsepur melengkapi lima besar. Kota-kota ini menawarkan keseimbangan antara aksesibilitas dan ketenangan, cocok untuk gaya hidup santai atau masa pensiun.
Popularitas di media sosial
Solo menjadi kota paling banyak dibicarakan warganet untuk slow living, diikuti Malang, Yogyakarta, dan Salatiga. Faktor seperti biaya hidup rendah, iklim nyaman, dan suasana ramah menjadi daya tarik utama. Konsep ini didukung oleh tren kembali ke kampung halaman menjelang pensiun, seperti ke Banyumas Raya dan Solo Raya.
Kisah dan tantangan
Kota seperti Salatiga dan Malang menarik pendatang dengan layanan publik yang responsif dan suasana santai. Namun, meningkatnya urbanisasi memicu tantangan, seperti naiknya harga tanah. Pemerintah setempat terus berupaya menjaga keseimbangan dengan menambah infrastruktur, melestarikan ruang hijau, dan mengelola kebutuhan pendatang.
Bagaimana rasanya pindah dari metropolitan ke kota kecil?
Pindah ke kota kecil seperti Salatiga dan Yogyakarta memberikan ritme hidup lebih tenang bagi pendatang seperti Noor Widyaningsih dan Seffudin Sudarmadi. Namun, kebiasaan hidup cepat ala urban sulit hilang.
Noor, misalnya, masih gemas melihat warga Salatiga baru melaju saat lampu hijau menyala, sedangkan Seffudin merasa adaptasi dengan budaya kerja lokal yang lebih santai di Yogyakarta cukup menantang. Meski begitu, keduanya kini menikmati kualitas hidup yang lebih baik dengan ritme harian yang lebih santai.
Adaptasi hidup dan tantangan ekonomi
Di Salatiga, Noor membangun usaha menjahit dan kelas jahit, sedangkan Seffudin menjalankan bisnis properti di Yogyakarta untuk menambah penghasilan. Biaya hidup rendah menjadi kunci keberlanjutan hidup mereka.
Namun, tantangan tetap ada, seperti penghasilan yang lebih kecil dan keterbatasan fasilitas hiburan. Meski demikian, hubungan sosial yang erat dan lingkungan yang mendukung menjadi daya tarik utama kota kecil.
Mengapa perlu pertimbangan dalam sebelum memutuskan”slow living”?
Hidup dengan ritme lambat kerap terlihat ideal di media sosial, tetapi memutuskan untuk menjalani slow living butuh pertimbangan mendalam.
Seffudin Sudarmadi yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, menegaskan pentingnya mencoba tinggal di lokasi impian selama satu hingga dua tahun sebelum benar-benar pindah. “Kalau langsung pindah, tanpa perencanaan matang, risiko stres baru justru bisa muncul,” katanya.
Ketua Program Studi S-1 Sosiologi Universitas Padjadjaran, Hery Wibowo, mengingatkan gaya hidup melambat memang menjadi alternatif, tetapi kesiapan mental tetap menjadi kunci. Tanpa kesiapan tersebut, tekanan baru, seperti adaptasi ekonomi atau kebosanan, bisa muncul.
Isu kesehatan juga tak bisa diabaikan, misalnya soal jumlah fasilitas kesehatan dan kualitasnya di suatu daerah. Penting untuk memastikan kebutuhan medis terpenuhi, terutama bagi yang memilih hidup di desa.
Bagi sebagian orang, slow living menghadirkan tantangan baru: kebosanan. Dian Wulandari, yang pensiun di Yogyakarta, mengaku awalnya bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Namun, dengan membangun usaha kecil, ia kembali menemukan semangat hidup.
Hidup melambat memang menawarkan keleluasaan, tetapi hanya bagi mereka yang mampu memadukannya dengan aktivitas bermakna.
Mengapa tren ”slow living” muncul?
Gerakan slow living muncul sebagai respons terhadap gaya hidup cepat yang sering hanya mengejar kuantitas tanpa memperhatikan kualitas. Filosofi ini mendorong individu untuk meninjau ulang prioritas hidup, memisahkan apa yang benar-benar penting dari tuntutan teknologi dan pola hidup konsumeris.
Menurut filsuf Norwegia, Guttorm Floistad, kebutuhan dasar manusia, seperti perhatian dan penghargaan, tetap abadi meskipun dunia berubah dengan cepat.
Dampak perubahan dan tantangan kehidupan cepat
Pandemi Covid-19 menjadi momen refleksi global, memicu fenomena great resignation di Barat. Banyak pekerja memilih berhenti karena merasa tidak dihargai meskipun telah bekerja keras. Di sisi lain, di China muncul reaksi sosial seperti tangping (sikap santai) dan bailan (masa bodoh), mencerminkan perlawanan terhadap tekanan hidup yang serba cepat. Buku Carl Honore, In Praise of Slowness, menegaskan pentingnya manusia merencanakan hidup dan kerja dengan bijak, mengutamakan keseimbangan dan makna.
Melambat untuk meningkatkan kualitas hidup
Gaya hidup melambat tidak berarti malas, tetapi memilih untuk bekerja lebih bermakna dan fokus pada kesehatan serta hubungan manusiawi. Honore menekankan pentingnya melihat teknologi sebagai alat pendukung, bukan penentu.
Pendekatan ini membantu mengurangi tekanan sosial seperti fear of missing out (FOMO) dan mengarahkan individu serta komunitas pada kebahagiaan sejati melalui kesederhanaan dan refleksi.
[url=https://www.kompas.id/artikel/mencari-kota-terbaik-untuk-slow-living-mana-yang-paling-nyaman?kantormu={%22user%22:{%22first_name%22:%22yanimali1088%22,%22guid%22:%223b42e079-8c08-4f50-afff-aa03847080b3%22,%22last_name%22:%22%22}}&refreshtoken=eyJhbGciOiJSUzI1NiIsInR5cCI6IkpXVCJ9.eyJlbWFpbCI6InlhbmltYWxpMTA4OEBnbWFpbC5jb20iLCJleHAiOjE3NDY4NzA5ODYsImlkIjoiM2I0MmUwNzktOGMwOC00ZjUwLWFmZmYtYWEwMzg0NzA4MGIzIiwic3ViIjoxfQ.v8ETqwjdhbWqmtOfBYpOJSpJmNXFUhpeoTY6zI6zxpdvd7X1r5lN_NrXcNztHSCpuvjRCNhibJPAxdXSisK2_8kkXKObr5x0F6Qdpaplx6DTkf7x5nz_Soi-P7cISMVhsGviEFF-FFpNcPoN_uVCPvbaEaDWHfYo7uL2HxpDnBI]kompas.id[/url]
Diubah oleh mnotorious19150 13-12-2024 17:41






blenguk dan 12 lainnya memberi reputasi
13
869
77


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan