- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Selamat Tinggal Paspor Indonesia


TS
jaguarxj220
Selamat Tinggal Paspor Indonesia
Tahun ini, hampir 1.000 orang Indonesia mulai menjalani hidup sebagai warga negara Singapura. Apakah Anda juga mulai tertarik?
Oleh Insan Alfajri, Pandu Wiyoga, Stefanus Ato, Melati Wewangi, Sarie Febriane
03 Dec 2024 06:43 WIB · Investigasi
Kedai kopi Tanamera di Marina Square, Singapura, siang itu ramai. Hanya beberapa bangku yang kosong di bagian dalam kafe. Satu jam menunggu, Anggrek (25), buka nama sebenarnya, akhirnya tiba.
Ia ditemani suami serta bayinya yang merengek di dalam stroller. ”Kamu mau ikut ngobrol juga,” kata suami Anggrek sambil memangku dan menenangkan bayi mungil itu, Sabtu (26/10/2024).
Tahun ini, Anggrek menyandang status sebagai warga negara Singapura. Tidak ada upacara khusus atau diskusi ketat dengan orang terdekat yang menanyakan pilihannya. Semua menerima.
Sejak kuliah, ia sudah tak ingin kembali dan berkarier di Indonesia. Ia mengambil jurusan matematika, merasa lebih berpeluang untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik di ”Negeri Singa” dibanding Tanah Air.
”Kalau di Indonesia peluangnya paling guru atau dosen, kalau di sini lebih luas,” kata alumnus Nanyang Technological University (NTU) yang berprofesi sebagai software engineer ini.
Baginya, Singapura tempat bermukim yang aman dan nyaman. Dia tak cemas ketika tidak bisa menyetir mobil. Untuk apa, toh transportasi publik yang nyaman dan aman bisa menjangkau semua sudut Singapura.
Di malam hari, di negara ini mudah sekali ditemukan bule mondar-mandir di trotoar ditemani anjing kesayangan. Lazim juga berpapasan dengan remaja tanggung yang berlari-lari kecil sambil mendengarkan musik lewat penyuara telinga. Mereka fokus ”mencari keringat” tanpa khawatir ada yang mencegat.
Selain Anggrek, suaminya, Edi (28)—nama samaran—juga ikut mengajukan pindah kewarganegaraan. Permohonannya pun sudah disetujui Singapura. ”Sekarang sedang ngurus dokumen pelepasan kewarganegaran RI,” ujarnya. Setelah mengurus dokumen itu, Edi akan mengembalikan paspor garuda ke KBRI lalu disumpah sebagai warga negara Singapura, seperti yang sudah lebih dulu dijalani istrinya.
Anggrek dan Edi sebelumnya mengantongi permanent resident (PR). Informasi di laman resmi Otoritas Imigrasi dan Pemeriksaan (ICA) Singapura menyebut, orang dengan status PR minimal dua tahun dan berusia di atas 21 tahun bisa mengajukan citizenship.
Pasangan yang sama-sama lulusan NTU ini sebetulnya masih terbuka dengan berbagai pilihan saat anak mereka belum lahir. Opsi itu, antara lain, bekerja di negara lain (di luar Singapura), bahkan sempat terlintas juga untuk berkarier di Jakarta.
Namun, semua opsi ini tak dilirik lagi setelah mereka punya bayi. Bayi, anak, mengubah segalanya. Mereka sepakat mengganti paspor dan menjadikan Singapura sebagai ”rumah” keluarganya, negeri yang kondusif untuk membesarkan anak secara layak. Bagi mereka realistis saja. Tak berlaku peribahasa lawas: hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.
Salah satu keuntungan menjadi warga Singapura, kata Edi, bisa mengakses pendidikan berkualitas secara gratis. Belakangan, Edi mengamati warga dengan status PR mulai kesulitan menyekolahkan anak di dekat rumah karena kuotanya terbatas. Karena itu, status sebagai warga Singapura akan mengamankan fasilitas pendidikan untuk si kecil.
Fasilitas pendidikan yang memadai juga menjadi salah satu pertimbangan AB (46) mengganti paspor. Ia bersama dua anaknya sudah menjadi warga Singapura tahun ini. Sementara istrinya masih mempertahankan paspor Indonesia dengan status PR untuk tujuan pragmatis. Tujuannya agar lebih leluasa menjenguk keluarga dan dapat menjaga kepemilikan aset di Tanah Air.
Sekolah negeri di Singapura, menurut AB, kualitasnya bagus, tetapi biayanya mahal bagi warga non-Singapura. Ia mencontohkan biaya SMP anaknya. Bagi foreigner biayanya 900 dollar Singapura per bulan (setara dengan Rp 10,6 juta kurs per 30 November 2024), sedangkan untuk orang berstatus PR dikenakan 600 dollar Singapura, setara dengan Rp 7 juta per bulan. ”Sementara warga negara Singapura hanya bayar uang kontribusi sebesar 10 dollar Singapura per bulan,” ujarnya.
Sudah belasan tahun AB bekerja pada sebuah bank swasta yang kantor pusatnya di Singapura. Sebelumnya, ia bekerja di kantor cabang bank tersebut di Surabaya, Jawa Timur. Tahun 2013, ia ditarik ke kantor pusat untuk melayani klien-klien Indonesia yang menyimpan uangnya di sana.
Proses yang dilalui AB mengantongi citizenship Singapura bisa dibilang seperti jalan tol, bebas hambatan. Setelah kerja dua tahun di Singapura, ia langsung mendapatkan PR. AB lantas memboyong istri dan dua anaknya ke Singapura saat pandemi Covid-19 tahun 2020. Dua tahun berikutnya, giliran istri dan anaknya yang juga menerima PR.
”Menjadi PR itu gampang-gampang susah. Semua diskresi dari imigrasi Singapura. Ada yang setelah dua tahun kerja dapat PR. Tetapi, ada juga yang sudah 10 tahun tidak dapat PR,” ujarnya.
Menjadi warga global
Bagi WNI di Singapura, lanjut AB, status PR sudah cukup jika hanya ingin mengejar karier. Dengan status itu mereka bebas mencari pekerjaan yang sesuai. Nasibnya tidak lagi bergantung pada perusahaan sebagai sponsor untuk tinggal di Singapura, seperti WNI pemegang employment pass.

Akan tetapi, status PR dirasa belum memadai untuk masa depan anak. Sementara kedua anak AB sudah memproyeksikan kariernya, yang satu ingin jadi pilot dengan melanjutkan studi di Eropa. Satunya lagi, ingin lanjut sekolah di luar Singapura dan lebih condong ke profesi engineer. Keduanya mengarahkan diri untuk menjadi warga global.
Menurut AB, cita-cita anaknya ini lebih mudah terwujud saat mereka mengantongi paspor yang kuat. Menjadi warga Singapura adalah jawabannya karena pemegang paspor merah bisa menikmati akses bebas visa di 195 negara. ”Kalau mereka punya paspor yang kuat, itu akan lebih mendukung studi dan karier mereka di kemudian hari,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, selama 2019-2023, jumlah orang yang melepas status WNI dan jadi warga Singapura hampir 1.000 orang tiap tahunnya. Tahun ini saja hingga Oktober 2024, jumlahnya mencapai 978 orang.
Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim, saat dikonfirmasi, menyatakan, eks WNI yang menjadi warga Singapura itu adalah masyarakat produktif. Mereka rerata berusia di bawah 30 tahun. ”Jadi, tren yang mencolok itu memang perpindahan (menjadi warga negara Singapura) kelas menengah yang berpendidikan tinggi dan usia produktif,” ujarnya.
Keputusan untuk pindah kewarganegaraan adalah hak siapa pun. Pemerintah, kata Silmy, tak bisa melarangnya. Pemerintah akan terus bekerja untuk menjadikan Indonesia tempat yang lebih baik untuk berkarya.
”Apakah itu (berkarya) dalam perekonomian, sains, riset, dan lain-lain. Saya melihat angka (perpindahan WNI ke Singapura) itu sebagai pemacu untuk kerja lebih keras menjadikan Indonesia lebih baik,” katanya.
Bagi eks WNI ini, pemerintah memberikan kemudahan mengunjungi Indonesia lewat visa diaspora. Permohonannya diajukan melalui evisa.imigrasi.go.id. Dengan visa itu, eks WNI bisa tinggal di Indonesia dalam jangka waktu lima atau sepuluh tahun.
Salah satu syaratnya adalah pernyataan komitmen untuk berinvestasi di Indonesia senilai 35.000 dollar AS. Bentuknya bisa dalam bentuk pembelian obligasi Pemerintah RI, pembelian saham/reksadana perusahaan publik, dan tabungan/deposito.
Pemerintah, kata Silmy, berencana untuk menurunkan nilai investasi tersebut agar lebih terjangkau. ”Penempatan dana ini memang cukup besar walaupun imbal hasilnya untuk mereka juga. Makanya kita mau turunkan (nilainya),” tambahnya.
Selain itu, dia melanjutkan, pemerintah juga sedang menyusun kebijakan tentang Overseas Citizenship of Indonesia. Lewat skema ini, eks WNI bisa datang, tinggal, dan bekerja tanpa batas waktu. Hanya saja, mereka tidak memiliki hak politik. ”Sekarang lagi disusun peraturan menterinya,” ujar Silmy.
Bagaimana, siapkah Anda menyusul menjadi warga global?
https://www.kompas.id/artikel/selama...spor-indonesia
Oleh Insan Alfajri, Pandu Wiyoga, Stefanus Ato, Melati Wewangi, Sarie Febriane
03 Dec 2024 06:43 WIB · Investigasi
Kedai kopi Tanamera di Marina Square, Singapura, siang itu ramai. Hanya beberapa bangku yang kosong di bagian dalam kafe. Satu jam menunggu, Anggrek (25), buka nama sebenarnya, akhirnya tiba.
Ia ditemani suami serta bayinya yang merengek di dalam stroller. ”Kamu mau ikut ngobrol juga,” kata suami Anggrek sambil memangku dan menenangkan bayi mungil itu, Sabtu (26/10/2024).
Tahun ini, Anggrek menyandang status sebagai warga negara Singapura. Tidak ada upacara khusus atau diskusi ketat dengan orang terdekat yang menanyakan pilihannya. Semua menerima.
Sejak kuliah, ia sudah tak ingin kembali dan berkarier di Indonesia. Ia mengambil jurusan matematika, merasa lebih berpeluang untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik di ”Negeri Singa” dibanding Tanah Air.
”Kalau di Indonesia peluangnya paling guru atau dosen, kalau di sini lebih luas,” kata alumnus Nanyang Technological University (NTU) yang berprofesi sebagai software engineer ini.
Baginya, Singapura tempat bermukim yang aman dan nyaman. Dia tak cemas ketika tidak bisa menyetir mobil. Untuk apa, toh transportasi publik yang nyaman dan aman bisa menjangkau semua sudut Singapura.
Di malam hari, di negara ini mudah sekali ditemukan bule mondar-mandir di trotoar ditemani anjing kesayangan. Lazim juga berpapasan dengan remaja tanggung yang berlari-lari kecil sambil mendengarkan musik lewat penyuara telinga. Mereka fokus ”mencari keringat” tanpa khawatir ada yang mencegat.
Selain Anggrek, suaminya, Edi (28)—nama samaran—juga ikut mengajukan pindah kewarganegaraan. Permohonannya pun sudah disetujui Singapura. ”Sekarang sedang ngurus dokumen pelepasan kewarganegaran RI,” ujarnya. Setelah mengurus dokumen itu, Edi akan mengembalikan paspor garuda ke KBRI lalu disumpah sebagai warga negara Singapura, seperti yang sudah lebih dulu dijalani istrinya.
Anggrek dan Edi sebelumnya mengantongi permanent resident (PR). Informasi di laman resmi Otoritas Imigrasi dan Pemeriksaan (ICA) Singapura menyebut, orang dengan status PR minimal dua tahun dan berusia di atas 21 tahun bisa mengajukan citizenship.
Pasangan yang sama-sama lulusan NTU ini sebetulnya masih terbuka dengan berbagai pilihan saat anak mereka belum lahir. Opsi itu, antara lain, bekerja di negara lain (di luar Singapura), bahkan sempat terlintas juga untuk berkarier di Jakarta.
Namun, semua opsi ini tak dilirik lagi setelah mereka punya bayi. Bayi, anak, mengubah segalanya. Mereka sepakat mengganti paspor dan menjadikan Singapura sebagai ”rumah” keluarganya, negeri yang kondusif untuk membesarkan anak secara layak. Bagi mereka realistis saja. Tak berlaku peribahasa lawas: hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.
Salah satu keuntungan menjadi warga Singapura, kata Edi, bisa mengakses pendidikan berkualitas secara gratis. Belakangan, Edi mengamati warga dengan status PR mulai kesulitan menyekolahkan anak di dekat rumah karena kuotanya terbatas. Karena itu, status sebagai warga Singapura akan mengamankan fasilitas pendidikan untuk si kecil.
Fasilitas pendidikan yang memadai juga menjadi salah satu pertimbangan AB (46) mengganti paspor. Ia bersama dua anaknya sudah menjadi warga Singapura tahun ini. Sementara istrinya masih mempertahankan paspor Indonesia dengan status PR untuk tujuan pragmatis. Tujuannya agar lebih leluasa menjenguk keluarga dan dapat menjaga kepemilikan aset di Tanah Air.
Sekolah negeri di Singapura, menurut AB, kualitasnya bagus, tetapi biayanya mahal bagi warga non-Singapura. Ia mencontohkan biaya SMP anaknya. Bagi foreigner biayanya 900 dollar Singapura per bulan (setara dengan Rp 10,6 juta kurs per 30 November 2024), sedangkan untuk orang berstatus PR dikenakan 600 dollar Singapura, setara dengan Rp 7 juta per bulan. ”Sementara warga negara Singapura hanya bayar uang kontribusi sebesar 10 dollar Singapura per bulan,” ujarnya.
Sudah belasan tahun AB bekerja pada sebuah bank swasta yang kantor pusatnya di Singapura. Sebelumnya, ia bekerja di kantor cabang bank tersebut di Surabaya, Jawa Timur. Tahun 2013, ia ditarik ke kantor pusat untuk melayani klien-klien Indonesia yang menyimpan uangnya di sana.
Proses yang dilalui AB mengantongi citizenship Singapura bisa dibilang seperti jalan tol, bebas hambatan. Setelah kerja dua tahun di Singapura, ia langsung mendapatkan PR. AB lantas memboyong istri dan dua anaknya ke Singapura saat pandemi Covid-19 tahun 2020. Dua tahun berikutnya, giliran istri dan anaknya yang juga menerima PR.
”Menjadi PR itu gampang-gampang susah. Semua diskresi dari imigrasi Singapura. Ada yang setelah dua tahun kerja dapat PR. Tetapi, ada juga yang sudah 10 tahun tidak dapat PR,” ujarnya.
Menjadi warga global
Bagi WNI di Singapura, lanjut AB, status PR sudah cukup jika hanya ingin mengejar karier. Dengan status itu mereka bebas mencari pekerjaan yang sesuai. Nasibnya tidak lagi bergantung pada perusahaan sebagai sponsor untuk tinggal di Singapura, seperti WNI pemegang employment pass.

Akan tetapi, status PR dirasa belum memadai untuk masa depan anak. Sementara kedua anak AB sudah memproyeksikan kariernya, yang satu ingin jadi pilot dengan melanjutkan studi di Eropa. Satunya lagi, ingin lanjut sekolah di luar Singapura dan lebih condong ke profesi engineer. Keduanya mengarahkan diri untuk menjadi warga global.
Menurut AB, cita-cita anaknya ini lebih mudah terwujud saat mereka mengantongi paspor yang kuat. Menjadi warga Singapura adalah jawabannya karena pemegang paspor merah bisa menikmati akses bebas visa di 195 negara. ”Kalau mereka punya paspor yang kuat, itu akan lebih mendukung studi dan karier mereka di kemudian hari,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, selama 2019-2023, jumlah orang yang melepas status WNI dan jadi warga Singapura hampir 1.000 orang tiap tahunnya. Tahun ini saja hingga Oktober 2024, jumlahnya mencapai 978 orang.
Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim, saat dikonfirmasi, menyatakan, eks WNI yang menjadi warga Singapura itu adalah masyarakat produktif. Mereka rerata berusia di bawah 30 tahun. ”Jadi, tren yang mencolok itu memang perpindahan (menjadi warga negara Singapura) kelas menengah yang berpendidikan tinggi dan usia produktif,” ujarnya.
Keputusan untuk pindah kewarganegaraan adalah hak siapa pun. Pemerintah, kata Silmy, tak bisa melarangnya. Pemerintah akan terus bekerja untuk menjadikan Indonesia tempat yang lebih baik untuk berkarya.
”Apakah itu (berkarya) dalam perekonomian, sains, riset, dan lain-lain. Saya melihat angka (perpindahan WNI ke Singapura) itu sebagai pemacu untuk kerja lebih keras menjadikan Indonesia lebih baik,” katanya.
Bagi eks WNI ini, pemerintah memberikan kemudahan mengunjungi Indonesia lewat visa diaspora. Permohonannya diajukan melalui evisa.imigrasi.go.id. Dengan visa itu, eks WNI bisa tinggal di Indonesia dalam jangka waktu lima atau sepuluh tahun.
Salah satu syaratnya adalah pernyataan komitmen untuk berinvestasi di Indonesia senilai 35.000 dollar AS. Bentuknya bisa dalam bentuk pembelian obligasi Pemerintah RI, pembelian saham/reksadana perusahaan publik, dan tabungan/deposito.
Pemerintah, kata Silmy, berencana untuk menurunkan nilai investasi tersebut agar lebih terjangkau. ”Penempatan dana ini memang cukup besar walaupun imbal hasilnya untuk mereka juga. Makanya kita mau turunkan (nilainya),” tambahnya.
Selain itu, dia melanjutkan, pemerintah juga sedang menyusun kebijakan tentang Overseas Citizenship of Indonesia. Lewat skema ini, eks WNI bisa datang, tinggal, dan bekerja tanpa batas waktu. Hanya saja, mereka tidak memiliki hak politik. ”Sekarang lagi disusun peraturan menterinya,” ujar Silmy.
Bagaimana, siapkah Anda menyusul menjadi warga global?
https://www.kompas.id/artikel/selama...spor-indonesia
Diubah oleh jaguarxj220 07-12-2024 11:15






pekanterkini dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1K
75


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan