- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tren Judi Online: Cermin Kegagalan Lembaga Keagamaan


TS
kucingselam
Tren Judi Online: Cermin Kegagalan Lembaga Keagamaan

JUDI online atau yang lebih dikenal dengan istilah "judol," bukan lagi fenomena baru di Indonesia. Pada 1 Desember 2024, istilah ini bahkan menjadi salah satu kata kunci yang memuncaki Google Trends.
Ironisnya, di tengah masyarakat yang dikenal religius, popularitas ini seakan menjadi tamparan keras bagi lembaga-lembaga keagamaan di Tanah Air. Pertanyaannya, apakah lembaga keagamaan kita sudah kehilangan daya cengkeram moralnya?
Kementerian Agama, sebagai salah satu institusi yang diharapkan berperan aktif dalam menangani isu moral seperti ini, ternyata tidak berbuat banyak. Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut pernah mengeluarkan Surat Edaran No. P-2036/SJ/B.II/1/KP.00/06/2024, yang intinya mengimbau jajaran Kemenag untuk mencegah praktik judi daring.
Namun, mari kita jujur—apa hasilnya? Hingga kini, tidak ada perubahan berarti di lapangan. Surat edaran ini lebih terasa seperti langkah administratif belaka, tanpa kekuatan nyata untuk menahan gempuran iklan-iklan judi online yang dengan mudah muncul di layar ponsel masyarakat.
Bahkan, sebagian besar orang mungkin tidak pernah mendengar tentang surat edaran tersebut. Dunia digital bergerak cepat, sementara kebijakan seperti ini terlalu lamban untuk mengejar. Bagaimana bisa kita mengharapkan solusi dari sesuatu yang bahkan tidak mampu menyentuh realitas masyarakat?
Tidak hanya Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah berbicara soal masalah ini.
Ketua MUI, KH Cholil Nafis, pernah mengatakan, “Pendekatan pertama pendekatan struktural mengikat, kemudian pemerintah bisa memblokir yang ada unsur judi.” Ia juga menambahkan, “Kita sosialisasi ke masyarakat tentang pentingnya kerja keras, tentang pentingnya proses untuk bekerja, bahwa kekayaan itu sebuah proses, bukan secara tiba-tiba.
Sehingga pemerintah, ulama, dan masyarakat bersama-sama untuk menyadarkan masyarakat,” (Liputan6, 9 Oktober 2024). Kutipan ini terdengar sangat ideal, bukan? Namun, apakah benar-benar ada langkah konkret yang mengikuti retorika ini?
Hingga saat ini, sosialisasi yang digemborkan lebih banyak terjadi di ruang seminar dan media, jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Edukasi yang dijanjikan seakan hanya menjadi wacana tanpa aksi nyata di akar rumput. Padahal, MUI memiliki kekuatan besar untuk menjadi garda terdepan dalam mengubah pola pikir masyarakat.
Jika hanya berhenti di tataran kata-kata, siapa yang akan mendengarkan?
Harapan
Namun, diharapkan tidak selamanya suram. Harapan kini ada di tangan Menteri Agama baru, KH. Nasaruddin Umar. Dengan jaringan kerja Kemenag yang luas, ia menawarkan strategi yang tampak lebih konkret.
“Seperti kita ketahui, Kemenag memiliki satker (satuan kerja) sampai ke kecamatan. Penyuluh kami di seluruh Indonesia ada 50.000 terdiri dari semua agama,” kata beliau. Tidak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa pemberantasan judi online menjadi prioritas dalam berbagai pertemuan strategis.
“Kemenag telah mengumpulkan seluruh rektor di lingkungan Kemenag, seperti Universitas Islam Negeri, Institut Agama Islam Negeri, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, dan seluruh perangkat kerja membahas salah satu topik adalah bagaimana memberantas judi online,” (NU Online, 21 November 2024).
Langkah ini menunjukkan bahwa KH. Nasaruddin Umar memahami inti permasalahan. Dengan 50.000 penyuluh agama yang tersebar di pelosok negeri, potensi menjangkau masyarakat di tingkat akar rumput sangat besar.
Jika strategi ini benar-benar dijalankan, maka ada peluang nyata untuk memutus rantai ketergantungan masyarakat terhadap judi online. Apa yang kita hadapi bukan sekadar masalah lokal. Judi online adalah produk globalisasi digital yang menyusup tanpa izin ke ruang pribadi masyarakat.
Namun, alih-alih melawan dengan strategi sepadan, lembaga-lembaga keagamaan kita justru terjebak dalam pola pikir tradisional yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Ketika "judol" menjadi tren, ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita semua.
Apakah lembaga keagamaan kita benar-benar hadir untuk menjawab tantangan zaman, atau hanya sekadar bertahan di balik dinding formalitas?
Sudah saatnya kita berhenti berbicara tanpa aksi. Dunia digital tidak akan menunggu, dan jika kita tidak bergerak sekarang, moral bangsa bisa menjadi korban berikutnya.
sumberrr
Negara yang konon katanya paling RELIGIUS di dunia....
satgas judol mana woiiiii.... Rp.500 sudah bisa depo judol.... kalian kencing di mall atau parkir di minimarket bayar berapa??






bobulil dan 3 lainnya memberi reputasi
4
454
43


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan