- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
AKU YANG KAU NODAI DIA YANG KAU NIKAHI


TS
mangdana1984
AKU YANG KAU NODAI DIA YANG KAU NIKAHI
CALON ISTRI
Masih pagi ketika Arbiyan Budiharja sudah berdiri di depan sebuah rumah yang artistik di sebuah komplek perumahan mewah. Sekali lagi ia mencocokkan nomor rumahnya. Cocok. Semoga tidak keliru. Dengan mengucap Bismillah sebelumnya ia memencet bel yang ada di pagar bagian dalam. Sambil menunggu pemilik rumah keluar ia merasa seolah ada konser perkusi di dadanya. Soalnya mau ketemu calon istri yang tidak pernah dikenalnya. Eheeem....
Semalam tepat usianya tiga puluh satu tahun. Setahun yang lalu saat ulang tahun ke tigapuluhnya, untuk kesekian kalinya Bunda menanyakan tentang calon istrinya. Arbi hanya bisa menggeleng karena memang ia belum punya calon istri. Saat itu Bunda mau mengenalkannya dengan seorang gadis, putri sahabat Bunda. Cepat-cepat Arbi menolaknya.
“Please, Bunda! Jangan sekarang ya. Aku betul-betul lagi sibuk mengembangkan beberapa cabang perusahaan di beberapa daerah. Apa Bunda ngga kasihan sama anak gadis orang kalau sering-sering aku tinggalkan karena harus sering ke luar daerah? Kalaupun aku ada di kota ini aku juga sering pulang malam. Malah hari liburpun aku tetap harus kerja misalnya harus bertemu rekan bisnisku yang lebih suka ketemuan di hari libur. Ekspansi perusahaan ini betul-betul menguras pikiran dan tenaga aku, Bun. InsyaAllah tahun depan ya.” Ujar Arbiyan dengan suara memelas.
“Tahun depan pun kamu akan tetap dengan alasan yang sama. Jadi kapan kamu akan punya istri? Kasihan anak-anakmu nanti, mereka masih kecil-kecil tapi papanya sudah tua. Bisa-bisa kalau kamu jalan dengan anakmu dikira orang kakek dan cucu malah.”
“Siap, Bunda. Di ulang tahunku yang ke tiga puluh satu nanti kalau aku masih belum bisa mendapatkan calon istri, aku persilahkan Bunda yang cariin. Aku terima wanita pilihan Bunda. Dengan syarat cantik, cerdas, attitude bagus, lebih bagus lagi kalau shaleha dan pe....”Arbi menahan kata-katanya. Apa mungkin ia menyampaikan syarat itu pada bundanya? Ya, bagi Arbiyan calon istrinya mutlak masih perawan. Bukan tanpa alasan ia menjadikan hal itu sebagai syarat utama. Arbiyan sendiri meski punya pergaulan luas baik dengan kaum adam maupun kaum hawa ia tetap menjaga dirinya dari sentuhan berlebihan kaum wanita. Sampai usianya meginjak tiga puluh tahun ia masih perjaka tingting. Jadi tidak berlebihan bukan kalau ia juga menginginkan calon istri yang masih perawan?
“Pe apa maksudmu. Ngomong kok sepotong-sepotong.” Omel Bunda.
“Maksudku peduli pada keluargaku juga. Memang yang menikah aku dan dia, tapi artinya menggabungkan dua keluarga besar, kan? Sehingga harus saling peduli. YA, peduli.” Huff, syukur bisa mendapat kata-kata lain.
Nah, tadi malam Bunda menagih janjinya. Arbiyan terpaksa menyerah karena waktu setahun yang diberikan padanya sungguh tak dimanfaatkannya sama sekali untuk mencari calon istri untuk dirinya sendiri. Entahlah, baginya lebih asyik mengurusi bisnis dan perusahaan.
“Namanya Moza. Dia putri bungsu Hermawan sahabat Ayah dan Bunda, tetangga kita waktu di Bandung dulu. Saat ini ia hanya tinggal bertiga dengan papa mamanya. Sebab satu-satunya kakaknya tinggal di luar negeri bersama istri dan anak-anaknya. Waktu kalian masih kecil sering bermain bersama. Moza dan kakaknya Dirga sering bermain di rumah kita. Kamu dan Harvian kakakmu juga sering main di rumah mereka. Kalian berempat selalu kompak berteman. Tapi setelah kita pindah ke Jakarta ini, keluarga kita dan keluarga Pak Hermawan jarang sekali bertemu. Bunda dan Ayah sih pernah beberapa kali bertemu saat kami ke Bandung. Tapi kalian sudah nggak pernah sama sekali bertemu. Pasti sudah saling lupa.” Ucap Bunda tadi malam.
“Dua bulan yang lalu keluarga Hermawan pindah ke Jakarta. Kami bertemu, saat itulah timbul cerita ingin menjodohkan dirimu dengan putri bungsu beliau, Moza. Moza itu baru selesai kuliah. Tinggal menunggu wisuda dua bulan lagi. Selama kuliah dia nyambi jadi MC dan model iklan berbagai produk-produk kecantikan dan busana. Belum taraf internasional, sih. Tapi ia sering menjadi model produk-produk lokal.”
Itu info yang diperolehnya dari Bunda tentang Moza gadis yang mau dijodohkan dengan dirinya. Dia jadi model iklan, berarti dia cantik. Tapi...dari cerita-cerita miring yang pernah Arbi dengar, pergaulan di kalangan dunia model suka agak-agak tepi jurang. Mungkin tidak semua begitu, tapi banyak yang terjebak pergaulan bebas. Semoga Moza termasuk model garis lurus. Tapi bagaimana kalau dia termasuk dalam kelompok yang ‘tepi jurang’ ini, apa Arbi akan ikhlas menerimanya? Ah...semalaman pikirannya diganggu oleh bayang-bayang sosok calon pengantennya itu. Jujur ia tidak rela kalau mendapat istri yang pernah berhubungan fisik dengan pria lain. Arbi tidak mau dapat sisa orang lain. Ah, apa yang harus dilakukannya untuk bisa mengetahui apakah Moza masih perawan atau tidak?
Pintu rumah itu terbuka. Seorang gadis melangkah menuju pagar tempat Arbiyan berdiri. Diakah Moza? Wajahnya cantik tanpa polesan make up sedikitpun. Pantas saja ia kepakai di dunia periklanan. Tanpa make up saja sudah bening begini, apalagi kalau kena sentuhan kosmetik. Tapi apa Moza ini punya kepribadian ganda? Pagi itu ia tampil dengan baju gamis katun sederhana serta jilbab menutupi kepalanya hingga dadanya. Sungguh tak terlihat sedikitpun bahwa dia adalah seorang model iklan terkenal di Bandung, biasa berkecimpung di dunia glamour.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam.” Empuk suara gadis itu.
“Benar di sini rumah Om Hermawan dan Tante Hilda?” Gadis itu mengangguk. Sekilas menatap wajah Arbi, lalu menunduk. Guanteng, Mak!
“Boleh saya masuk? Saya Arbiyan, putra dari Bapak Budiharja dan Ibu Karina. Saya mengantarkan titipan ibu saya.” Arbi mengangkat kotak kue di tangannya. Beruntung tadi dia teringat untuk membeli dua kotak kue untuk buah tangan. Padahal kedatangannya ke rumah ini adalah tanpa sepengetahua siapapun. Bahkan Bunda pun tidak tahu. IA nekat datang untuk bertemu dengan wanita yang dijodohkan dengan dirinya sebelum menyetujui perjodohan tersebut. Dengan sedikit tipu-tipu ia berhasil memperoleh alamat rumah ini dari Bunda.
Gadis itu membukakan pintu pagar yang tadi digembok dan mempersilahkan Arbi masuk. Beberapa kali ia pernah mendengar nama Budiharja dan Karina disebut-sebut oleh papa dan mama. Jadi ia tidak perlu khawatir mempersilahkan cowo tampan itu masuk. Arbi membiarkan mobilnya terparkir di pinggir jalan di luar pagar.
“Mama dan Papa sedang pergi umroh.” Gadis itu mempersilahkan Arbi duduk di kursi teras.
“Maaf, duduknya di teras saja, ya. Ngga ada siapa-siapa di rumah. Saya sendiri saja. Takut jadi fitnah.” Arbi tersenyum tipis sambil menarik kursi untuk duduk.
“Kapan Tante dan Om Hermawan pulang?” Arbi menaruh kotak kue yang dibawanya di atas meja teras.
“Jadwalnya Kamis besok.”
“Sekarang Senin, berarti tiga hari lagi.” Gumam Arbi.
“Maaf, namamu siapa? Saya Arbi, Arbiyan Budiharja.”
“Saya Meyza.” Sahut gadis itu sambil menunduk tanpa bersalaman. Arbi tersenyum dalam hati. Dasar Bunda, sembarangan saja menukar nama orang. Meyza dirobah jadi Moza.
“Meyza, sebetulnya kedatangan saya ke rumah ini adalah untuk bertemu denganmu. Apa kamu pernah diberitahu oleh orang tuamu tentang rencana perjodohan kita?” Arbi bertanya hati-hati.
Meyza tersentak. Perjodohan? Ketika ia selesai sidang sarjana beberapa waktu yang lalu dan dinyatakan lulus, mama memang pernah bertanya padanya tentang rencananya kedepan. Apa mau lanjut mengambil S2, atau bekerja, atau menikah? Saat itu mama menyebutkan bahwa kalau ia ingin menikah, mama tidak keberatan karena umurnya sudah cukup untuk menjadi seorang istri. Waktu itu Meyza tidak menjawab. Di kepalanya tersimpan sebuah cita-cita untuk melanjutkan studinya ke jenjang S2. Ia ingin menjadi guru atau dosen. Tapi ia tahu, kuliah S2 itu tidak murah. Ia cukup tahu diri akan hal tersebut dan tidak ingin membebani mama dan papa untuk membiayainya.
Rupanya inilah maksud pertanyaan mama saat itu. Mama akan menjodohkannya dengan pria di depannya ini, putra dari sahabat mama dan papa. Karuan saja wajah Meyza menghangat membayangkan dirinya akan bersanding dengan pria tampan ini. Kelihatannya dari keluarga baik-baik dan terpelajar. Sikapnya sopan pula. Mimpi apa dirinya? Meyza menunduk berusaha menenangkan debur jantung di dadanya. Oh Mama, Papa...dengan mencarikan jodoh seperti dia ini semakin besar saja hutang budiku pada kalian.
kelanjutanya bisa di cari di playstore dengan judul aku yang kau nodai dia yang kau nikahi
Masih pagi ketika Arbiyan Budiharja sudah berdiri di depan sebuah rumah yang artistik di sebuah komplek perumahan mewah. Sekali lagi ia mencocokkan nomor rumahnya. Cocok. Semoga tidak keliru. Dengan mengucap Bismillah sebelumnya ia memencet bel yang ada di pagar bagian dalam. Sambil menunggu pemilik rumah keluar ia merasa seolah ada konser perkusi di dadanya. Soalnya mau ketemu calon istri yang tidak pernah dikenalnya. Eheeem....
Semalam tepat usianya tiga puluh satu tahun. Setahun yang lalu saat ulang tahun ke tigapuluhnya, untuk kesekian kalinya Bunda menanyakan tentang calon istrinya. Arbi hanya bisa menggeleng karena memang ia belum punya calon istri. Saat itu Bunda mau mengenalkannya dengan seorang gadis, putri sahabat Bunda. Cepat-cepat Arbi menolaknya.
“Please, Bunda! Jangan sekarang ya. Aku betul-betul lagi sibuk mengembangkan beberapa cabang perusahaan di beberapa daerah. Apa Bunda ngga kasihan sama anak gadis orang kalau sering-sering aku tinggalkan karena harus sering ke luar daerah? Kalaupun aku ada di kota ini aku juga sering pulang malam. Malah hari liburpun aku tetap harus kerja misalnya harus bertemu rekan bisnisku yang lebih suka ketemuan di hari libur. Ekspansi perusahaan ini betul-betul menguras pikiran dan tenaga aku, Bun. InsyaAllah tahun depan ya.” Ujar Arbiyan dengan suara memelas.
“Tahun depan pun kamu akan tetap dengan alasan yang sama. Jadi kapan kamu akan punya istri? Kasihan anak-anakmu nanti, mereka masih kecil-kecil tapi papanya sudah tua. Bisa-bisa kalau kamu jalan dengan anakmu dikira orang kakek dan cucu malah.”
“Siap, Bunda. Di ulang tahunku yang ke tiga puluh satu nanti kalau aku masih belum bisa mendapatkan calon istri, aku persilahkan Bunda yang cariin. Aku terima wanita pilihan Bunda. Dengan syarat cantik, cerdas, attitude bagus, lebih bagus lagi kalau shaleha dan pe....”Arbi menahan kata-katanya. Apa mungkin ia menyampaikan syarat itu pada bundanya? Ya, bagi Arbiyan calon istrinya mutlak masih perawan. Bukan tanpa alasan ia menjadikan hal itu sebagai syarat utama. Arbiyan sendiri meski punya pergaulan luas baik dengan kaum adam maupun kaum hawa ia tetap menjaga dirinya dari sentuhan berlebihan kaum wanita. Sampai usianya meginjak tiga puluh tahun ia masih perjaka tingting. Jadi tidak berlebihan bukan kalau ia juga menginginkan calon istri yang masih perawan?
“Pe apa maksudmu. Ngomong kok sepotong-sepotong.” Omel Bunda.
“Maksudku peduli pada keluargaku juga. Memang yang menikah aku dan dia, tapi artinya menggabungkan dua keluarga besar, kan? Sehingga harus saling peduli. YA, peduli.” Huff, syukur bisa mendapat kata-kata lain.
Nah, tadi malam Bunda menagih janjinya. Arbiyan terpaksa menyerah karena waktu setahun yang diberikan padanya sungguh tak dimanfaatkannya sama sekali untuk mencari calon istri untuk dirinya sendiri. Entahlah, baginya lebih asyik mengurusi bisnis dan perusahaan.
“Namanya Moza. Dia putri bungsu Hermawan sahabat Ayah dan Bunda, tetangga kita waktu di Bandung dulu. Saat ini ia hanya tinggal bertiga dengan papa mamanya. Sebab satu-satunya kakaknya tinggal di luar negeri bersama istri dan anak-anaknya. Waktu kalian masih kecil sering bermain bersama. Moza dan kakaknya Dirga sering bermain di rumah kita. Kamu dan Harvian kakakmu juga sering main di rumah mereka. Kalian berempat selalu kompak berteman. Tapi setelah kita pindah ke Jakarta ini, keluarga kita dan keluarga Pak Hermawan jarang sekali bertemu. Bunda dan Ayah sih pernah beberapa kali bertemu saat kami ke Bandung. Tapi kalian sudah nggak pernah sama sekali bertemu. Pasti sudah saling lupa.” Ucap Bunda tadi malam.
“Dua bulan yang lalu keluarga Hermawan pindah ke Jakarta. Kami bertemu, saat itulah timbul cerita ingin menjodohkan dirimu dengan putri bungsu beliau, Moza. Moza itu baru selesai kuliah. Tinggal menunggu wisuda dua bulan lagi. Selama kuliah dia nyambi jadi MC dan model iklan berbagai produk-produk kecantikan dan busana. Belum taraf internasional, sih. Tapi ia sering menjadi model produk-produk lokal.”
Itu info yang diperolehnya dari Bunda tentang Moza gadis yang mau dijodohkan dengan dirinya. Dia jadi model iklan, berarti dia cantik. Tapi...dari cerita-cerita miring yang pernah Arbi dengar, pergaulan di kalangan dunia model suka agak-agak tepi jurang. Mungkin tidak semua begitu, tapi banyak yang terjebak pergaulan bebas. Semoga Moza termasuk model garis lurus. Tapi bagaimana kalau dia termasuk dalam kelompok yang ‘tepi jurang’ ini, apa Arbi akan ikhlas menerimanya? Ah...semalaman pikirannya diganggu oleh bayang-bayang sosok calon pengantennya itu. Jujur ia tidak rela kalau mendapat istri yang pernah berhubungan fisik dengan pria lain. Arbi tidak mau dapat sisa orang lain. Ah, apa yang harus dilakukannya untuk bisa mengetahui apakah Moza masih perawan atau tidak?
Pintu rumah itu terbuka. Seorang gadis melangkah menuju pagar tempat Arbiyan berdiri. Diakah Moza? Wajahnya cantik tanpa polesan make up sedikitpun. Pantas saja ia kepakai di dunia periklanan. Tanpa make up saja sudah bening begini, apalagi kalau kena sentuhan kosmetik. Tapi apa Moza ini punya kepribadian ganda? Pagi itu ia tampil dengan baju gamis katun sederhana serta jilbab menutupi kepalanya hingga dadanya. Sungguh tak terlihat sedikitpun bahwa dia adalah seorang model iklan terkenal di Bandung, biasa berkecimpung di dunia glamour.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam.” Empuk suara gadis itu.
“Benar di sini rumah Om Hermawan dan Tante Hilda?” Gadis itu mengangguk. Sekilas menatap wajah Arbi, lalu menunduk. Guanteng, Mak!
“Boleh saya masuk? Saya Arbiyan, putra dari Bapak Budiharja dan Ibu Karina. Saya mengantarkan titipan ibu saya.” Arbi mengangkat kotak kue di tangannya. Beruntung tadi dia teringat untuk membeli dua kotak kue untuk buah tangan. Padahal kedatangannya ke rumah ini adalah tanpa sepengetahua siapapun. Bahkan Bunda pun tidak tahu. IA nekat datang untuk bertemu dengan wanita yang dijodohkan dengan dirinya sebelum menyetujui perjodohan tersebut. Dengan sedikit tipu-tipu ia berhasil memperoleh alamat rumah ini dari Bunda.
Gadis itu membukakan pintu pagar yang tadi digembok dan mempersilahkan Arbi masuk. Beberapa kali ia pernah mendengar nama Budiharja dan Karina disebut-sebut oleh papa dan mama. Jadi ia tidak perlu khawatir mempersilahkan cowo tampan itu masuk. Arbi membiarkan mobilnya terparkir di pinggir jalan di luar pagar.
“Mama dan Papa sedang pergi umroh.” Gadis itu mempersilahkan Arbi duduk di kursi teras.
“Maaf, duduknya di teras saja, ya. Ngga ada siapa-siapa di rumah. Saya sendiri saja. Takut jadi fitnah.” Arbi tersenyum tipis sambil menarik kursi untuk duduk.
“Kapan Tante dan Om Hermawan pulang?” Arbi menaruh kotak kue yang dibawanya di atas meja teras.
“Jadwalnya Kamis besok.”
“Sekarang Senin, berarti tiga hari lagi.” Gumam Arbi.
“Maaf, namamu siapa? Saya Arbi, Arbiyan Budiharja.”
“Saya Meyza.” Sahut gadis itu sambil menunduk tanpa bersalaman. Arbi tersenyum dalam hati. Dasar Bunda, sembarangan saja menukar nama orang. Meyza dirobah jadi Moza.
“Meyza, sebetulnya kedatangan saya ke rumah ini adalah untuk bertemu denganmu. Apa kamu pernah diberitahu oleh orang tuamu tentang rencana perjodohan kita?” Arbi bertanya hati-hati.
Meyza tersentak. Perjodohan? Ketika ia selesai sidang sarjana beberapa waktu yang lalu dan dinyatakan lulus, mama memang pernah bertanya padanya tentang rencananya kedepan. Apa mau lanjut mengambil S2, atau bekerja, atau menikah? Saat itu mama menyebutkan bahwa kalau ia ingin menikah, mama tidak keberatan karena umurnya sudah cukup untuk menjadi seorang istri. Waktu itu Meyza tidak menjawab. Di kepalanya tersimpan sebuah cita-cita untuk melanjutkan studinya ke jenjang S2. Ia ingin menjadi guru atau dosen. Tapi ia tahu, kuliah S2 itu tidak murah. Ia cukup tahu diri akan hal tersebut dan tidak ingin membebani mama dan papa untuk membiayainya.
Rupanya inilah maksud pertanyaan mama saat itu. Mama akan menjodohkannya dengan pria di depannya ini, putra dari sahabat mama dan papa. Karuan saja wajah Meyza menghangat membayangkan dirinya akan bersanding dengan pria tampan ini. Kelihatannya dari keluarga baik-baik dan terpelajar. Sikapnya sopan pula. Mimpi apa dirinya? Meyza menunduk berusaha menenangkan debur jantung di dadanya. Oh Mama, Papa...dengan mencarikan jodoh seperti dia ini semakin besar saja hutang budiku pada kalian.
kelanjutanya bisa di cari di playstore dengan judul aku yang kau nodai dia yang kau nikahi






bukhorigan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
893
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan