- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
DPR dan Pemerintah Sepakat Tak Prioritaskan RUU Perampasan Aset


TS
viperlove
DPR dan Pemerintah Sepakat Tak Prioritaskan RUU Perampasan Aset
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, Senin (18/11/2024), sepakat tidak memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana ke dalam Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2025. RUU Perampasan Aset hanya masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029.
Dalam Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025 antara Badan Legislasi DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah, disepakati ada 178 RUU masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029. Sebanyak 41 RUU di antaranya masuk dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025.
Beberapa RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 adalah RUU Penyiaran, RUU Aparatur Sipil Negara, RUU Ketenagakerjaan, RUU Sistem Pendidikan Nasional, RUU Pengampunan Pajak, dan RUU Pangan. Kemudian RUU Kejaksaan, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Pilkada, RUU Pemilu, dan RUU Masyarakat Hukum Adat.
Baca Juga
Nasib RUU Perampasan Aset Masih Menggantung
Adapun RUU tentang Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana disepakati masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029. Selain itu, lima RUU lainnya masuk dalam kumulatif terbuka, salah satunya RUU tentang Mahkamah Konstitusi.
Anggota Badan Legislasi DPR dan Dewan Perwakilan Daerah mengikuti rapat pleno dengan Menteri Dalam Negeri bersama Menteri Hukum membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2024). Pemerintah menyepakati RUU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi DKJ menjadi usul inisiatif DPR. RUU ini diperlukan guna memberikan kepastian hukum terhadap transisi penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta setelah tidak jadi Ibu Kota lagi. Kompas/Hendra A Setyawan
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anggota Badan Legislasi DPR dan Dewan Perwakilan Daerah mengikuti rapat pleno dengan Menteri Dalam Negeri bersama Menteri Hukum membahas Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, pemerintah tidak mempermasalahkan berapa pun jumlah RUU yang masuk dalam prolegnas prioritas. Namun, pengusulan sebaiknya mempertimbangkan beban kerja alat kelengkapan dewan. Hal ini mengingat tugas di bidang pengawasan sangat tinggi sehingga dikhawatirkan tidak semua RUU prioritas dapat diselesaikan.
”Kami ingin semua yang masuk dalam prolegnas prioritas bisa selesai tahun 2025,” ujarnya dalam rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) dengan DPD dan pemerintah, Senin (18/11/2024).
Di sisi lain, Supratman meyakinkan bahwa pemerintah memiliki komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Hal itu tecermin saat pemerintah mengusulkan RUU Perampasan Aset masuk dalam prolegnas jangka menengah. RUU Perampasan Aset pun diletakkan di urutan ke-5 dari 40 usulan RUU Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029.
”Saya bisa pastikan bahwa Presiden selalu menegaskan pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dengan cara tertentu yang bisa dilakukan oleh Presiden. Saya jamin Presiden akan melakukan tindakan yang keras terhadap upaya pemberantasan korupsi, itu komitmen,” ucap Supratman.
Dikhawatirkan hanya gimik
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang kesepakatan tentang RUU Perampasan Aset antara DPR dan pemerintah hanya gimik. Sebab, tidak terlihat komitmen serius dari pembentuk undang-undang untuk memprioritaskan pembahasan RUU tersebut.
”Dengan ikut membicarakannya terus-menerus, seolah-olah DPR dan pemerintah peduli dengan RUU Perampasan Aset, seolah-olah mereka peduli dengan pemberantasan korupsi,” katanya.
Padahal, lanjut Lucius, pembicaraan terus-menerus itu berbanding terbalik dengan komitmen mereka. Hal itu pun tecermin dalam keputusan mereka yang tidak memasukkan RUU Perampasan Aset dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025.
Dengan hanya menempatkan RUU Perampasan Aset dalam daftar Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029, tidak ada jaminan sama sekali bahwa RUU tersebut disentuh pada periode DPR ini. Pembentuk undang-undang juga akan selalu punya alasan untuk menjawab kritik publik bahwa RUU itu sudah ada dalam rencana pembahasan walaupun belum jelas waktu pembahasannya.
”Jadi sangat mungkin janji-janji pemberantasan korupsi, bahkan dari Presiden, hanya janji ala politisi yang memang gemar sekali membuat janji,” ucap Lucius.
Menurut Lucius, prolegnas hanya akan menjadi semacam formalitas yang berisi daftar keinginan elite, bukan daftar kebutuhan publik dan rakyat. Maka, daftar prolegnas prioritas hanya berisi UU yang diinginkan oleh DPR dan pemerintah di periode ini. Bahkan, tak sedikit RUU prolegnas prioritas yang tidak dibahas.
”DPR akan lebih suka membahas cepat RUU yang memang diinginkan elite walaupun tak tercantum di prolegnas prioritas,” katanya.
RUU Pemilu dilakukan sejak awal
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, RUU Pemilu dan RUU Pilkada harus masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, bukan dalam daftar RUU kumulatif terbuka. Sebab, hasil evaluasi Pemilu 2024 menunjukkan pelaksanaan pesta demokrasi itu cenderung brutal dan berbiaya tinggi. Oleh karena itu, pembahasan RUU tentang Pemilu dan Pilkada mesti dilakukan sejak awal.
Menurut dia, format pembahasan paket undang-undang politik itu bisa saja dibuat dalam bentuk omnibus atau kodifikasi. Pembahasannya pun bisa saja digabungkan dengan RUU tentang Pemerintah Daerah ataupun RUU tentang Partai Politik. Namun, yang pasti, RUU Pemilu dan RUU Pilkada masuk dalam prolegnas prioritas sehingga pembahasannya bisa segera dilakukan tahun depan.
”Pembahasan Undang-Undang Pemilu bagusnya di awal periode supaya tidak ada conflict of interest, karena kalau dekat-dekat pemilu nanti jadi bias. Namun, kalau dari awal, itu akan lebih orisinal. Kita mau mencari format ideal tentang politik, khususnya pemilu kita seperti apa,” kata Doli.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, secara obyektif dan berbasis evaluasi faktual, sudah seharusnya RUU Pemilu dan RUU Pilkada masuk Prolegnas Prioritas 2025. Sebab, penyelenggaraan pemilu serentak 2019 dan 2024 serta pilkada 2015, 2017, 2018, 2020, dan 2024 telah menghasilkan banyak catatan perbaikan dari sisi pengaturan.
Beberapa catatannya antara lain kompleksitas sistem, beban berat penyelenggaraan, pelanggaran yang terus marak terjadi dengan politik uang yang makin jadi momok, serta penegakan hukum yang belum efektif.
Selain itu, ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan sejumlah pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. MK dalam beberapa pertimbangan hukumnya juga memberikan catatan kepada pembentuk undang-undang saat merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada. ”Situasi ini membuat UU Pemilu dan UU Pilkada mendesak untuk direvisi,” katanya.
Titi menilai, pengaturan pemilu dan pilkada sebaiknya dimodifikasi dalam satu naskah undang-undang yang sama, yaitu UU tentang Pemilihan Umum. Hal itu mengingat tidak ada lagi pemisahan rezim antara pemilu dan pilkada sebagaimana telah diputuskan dalam Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022. Kodifikasi juga penting untuk memperkuat kepastian hukum aturan kepemiluan sekaligus mencegah tumpang tindih dan ambiguitas pengaturan antara pemilu dan pilkada.
Menurut Titi, revisi UU Pemilu idealnya menggunakan model modifikasi, bukan omnibus. Sebab, revisi menggabungkan pengaturan empat materi muatan dalam satu naskah undang-undang, bukan mengubah UU Pemilu dan UU Pilkada seperti pola omnibus, tetapi menggabungkan pengaturan pileg, pilpres, pilkada, dan penyelenggara pemilu dalam satu UU Pemilu yang baru.
Revisi UU Pemilu idealnya menggunakan model modifikasi, bukan omnibus.
Pola omnibus juga tidak cocok diterapkan dalam pengaturan pemilu dan pilkada. Kodifikasi pengaturan dalam satu naskah undang-undang yang baru lebih mudah, tepat, memadai, dan memudahkan bagi pembentuk undang-undang. Hal itu juga akan membuat proses revisi menjadi lebih sederhana serta bisa mengurangi kebingungan pemilih dalam memahami struktur dan substansi undang-undang.
”Lagi pula, kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada ini juga sudah sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045 yang memerintahkan pembangunan demokrasi substansial melalui salah satunya kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada dalam satu naskah undang-undang,” tutur Titi.







aldonistic dan 2 lainnya memberi reputasi
3
374
29


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan