- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kata Psikolog Soal Seks Menyimpang Pimpinan Ponpes dan ASN di Jambi


TS
yicidi
Kata Psikolog Soal Seks Menyimpang Pimpinan Ponpes dan ASN di Jambi
Quote:

Jambi - Dua kasus seks menyimpang sesama jenis belakangan terjadi di Kota Jambi. Kasus ini disorot dan mengkhawatirkan karena melibatkan Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) dan ASN sebagai pelakunya, sedangkan korbannya anak di bawah umur.
Psikolog Dessy Pramudiani turut menanggapi dua kasus ini. Kasus ini menjadi persoalan di masyarakat mengenai perlindungan anak dan penyimpangan perilaku yang melibatkan orang dewasa.
Ketua Jurusan Psikologi Universitas Jambi itu mengatakan, pelaku pelecehan seksual yang terlibat dalam tindakan tidak pantas secara seksual terhadap orang lain tanpa persetujuan sering kali melanggar batasan sosial, etika, dan hukum.
"Perilaku ini tidak hanya merugikan korban secara fisik dan emosional, tetapi juga menciptakan dampak jangka panjang bagi pelaku dan masyarakat," ujar Dessy kepada detikSumbagsel, Senin (18/11/2024).
Dalam kasus yang terjadi ini misalnya, seorang Pimpinan Ponpes Sri Muslim Mardatillah Aprizal Wahyu Diprata (28) ditangkap polisi pada Sabtu (26/10) karena mencabuli 12 santrinya. 11 di antara santri itu berjenis kelamin laki-laki. Polisi mengonfirmasi bahwa 11 korban laki-laki menjadi korban sodomi.
Sepekan lebih berselang, Kota Jambi kembali lagi dihebohkan dengan kasus pelecehan sesama jenis. Seorang ASN Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Yanto alias Rizki Capriyanto (39) melakukan pelecehan siswa SMP di dalam mobil. Pelaku meminta korban membuka celana dan memperlihatkan kemaluannya. Beruntung korban berani dan cepat melapor atas kejadian ini.
Dessy menuturkan untuk memahami lebih dalam perlu mengkaji faktor-faktor psikologis dan sosial yang mendorong seseorang menjadi pelaku pelecehan seksual. Beberapa pelaku pelecehan seksual biasanya memiliki gangguan kepribadian yang memengaruhi cara mereka memandang orang lain dan hubungan interpersonal.
Gangguan kepribadian antisosial, narsistik, atau psikopati, kata dia, adalah beberapa contoh yang dapat menyebabkan pelaku merasa tidak terikat oleh norma sosial dan kurangnya empati terhadap korban.
"Mereka cenderung merasa superior, mengabaikan hak orang lain, dan melihat tindakan mereka sebagai hal yang tidak perlu dipertanyakan," ujar perempuan yang juga merupakan Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Wilayah Jambi.
Dessy menjelaskan faktor lain untuk yang melatarbelakangi pelaku pelecehan seksual ialah pengalaman masa lampau. Banyak pelaku pelecehan seksual yang pernah mengalami trauma, kekerasan, atau pelecehan seksual di masa kecil. Pengalaman ini dapat mengubah cara mereka memandang hubungan seksual dan orang lain.
"Dalam beberapa kasus, trauma tersebut menyebabkan pelaku mengulang pola perilaku yang mereka alami, atau mencari kontrol dan kekuasaan dengan cara yang menyimpang," jelasnya.
Selanjutnya, faktor distorsi kognitif. Pelaku pelecehan seksual sering kali mengembangkan distorsi kognitif, yaitu cara berpikir yang salah atau menyimpang tentang seksualitas, hubungan, dan kekuasaan.
"Mereka mungkin merasionalisasi perilaku mereka dengan berpikir bahwa tindakan tersebut adalah "hak" mereka karena posisi kekuasaan atau kedekatan dengan korban. Mereka mungkin juga menurunkan nilai atau martabat korban untuk melegitimasi tindakan mereka," paparnya.
Dia memaparkan dalam beberapa kasus, pelaku pelecehan seksual merasa tidak mampu mengendalikan dorongan seksual, terutama yang memiliki gangguan parafilia, seperti pedofilia atau eksibisionisme. Dorongan seksual yang berlebihan atau tidak terkendali ini dapat
mendorong pelaku untuk melakukan tindakan yang tidak sah, dan merugikan orang lain.
Perasaan tidak puas atau tidak berdaya dalam hidup, baik itu dalam hubungan pribadi atau pekerjaan, dapat mendorong seseorang untuk mencari pelampiasan melalui tindakan pelecehan seksual. Dalam hal ini, pelecehan seksual sering kali menjadi cara untuk merasa lebih kuat atau berkuasa, dengan mengurangi perasaan frustrasi dan ketidakmampuan yang mereka rasakan dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya, dalam beberapa budaya atau struktur sosial, norma yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, serta ketimpangan kekuasaan, dapat memberikan landasan bagi pelaku untuk merasa bahwa dirinya berhak untuk mengendalikan atau mendominasi orang lain, terutama perempuan atau individu yang lebih rentan.
"Di dalam lingkungan yang memperbolehkan atau bahkan mengabaikan kekerasan seksual, pelaku dapat merasa bahwa perilaku mereka tidak akan diproses atau dianggap serius," ungkapnya.
Dessy menyebut pelaku pelecehan seksual, terutama yang berada di posisi otoritas, seperti guru, tokoh agama, atau pejabat, sering kali memiliki akses langsung terhadap korban. Hal ini membuat pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan pelecehan.
"Kepercayaan atau ketergantungan yang dimiliki korban terhadap pelaku sering dimanfaatkan untuk mengontrol dan memanipulasi situasi," sebutnya.
Dia menambahkan paparan media dan pornografi juga salah satu indikator dorongan pelaku pelecehan seksual. Paparan terhadap media atau materi pornografi yang ekstrem atau merendahkan martabat manusia dapat memperkuat pandangan yang salah tentang seksualitas dan hubungan interpersonal.
"Dalam beberapa kasus, pelaku pelecehan seksual dapat menginternalisasi gambaran seksualitas yang tidak realistis atau merugikan, yang berujung pada perilaku yang merusak," jelasnya.
Dia menuturkan pelaku yang tumbuh dalam lingkungan yang mengabaikan atau tidak peduli terhadap masalah emosional dan psikologis mungkin merasa kurangnya pengawasan atau rasa tanggung jawab terhadap tindakan mereka.
Ketika tidak ada batasan atau kontrol yang jelas dari keluarga atau masyarakat, mereka mungkin merasa bebas untuk melakukan tindakan pelecehan seksual tanpa takut akan konsekuensi.
"Diperlukan pemeriksaan psikologis lebih lanjut untuk menegakkan diagnosa. Bantuan profesional dari psikolog dan psikiater untuk menangani kasus tersebut," ujarnya.
Selanjutnya, faktor distorsi kognitif. Pelaku pelecehan seksual sering kali mengembangkan distorsi kognitif, yaitu cara berpikir yang salah atau menyimpang tentang seksualitas, hubungan, dan kekuasaan.
"Mereka mungkin merasionalisasi perilaku mereka dengan berpikir bahwa tindakan tersebut adalah "hak" mereka karena posisi kekuasaan atau kedekatan dengan korban. Mereka mungkin juga menurunkan nilai atau martabat korban untuk melegitimasi tindakan mereka," paparnya.
Dia memaparkan dalam beberapa kasus, pelaku pelecehan seksual merasa tidak mampu mengendalikan dorongan seksual, terutama yang memiliki gangguan parafilia, seperti pedofilia atau eksibisionisme. Dorongan seksual yang berlebihan atau tidak terkendali ini dapat
mendorong pelaku untuk melakukan tindakan yang tidak sah, dan merugikan orang lain.
Perasaan tidak puas atau tidak berdaya dalam hidup, baik itu dalam hubungan pribadi atau pekerjaan, dapat mendorong seseorang untuk mencari pelampiasan melalui tindakan pelecehan seksual. Dalam hal ini, pelecehan seksual sering kali menjadi cara untuk merasa lebih kuat atau berkuasa, dengan mengurangi perasaan frustrasi dan ketidakmampuan yang mereka rasakan dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya, dalam beberapa budaya atau struktur sosial, norma yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, serta ketimpangan kekuasaan, dapat memberikan landasan bagi pelaku untuk merasa bahwa dirinya berhak untuk mengendalikan atau mendominasi orang lain, terutama perempuan atau individu yang lebih rentan.
"Di dalam lingkungan yang memperbolehkan atau bahkan mengabaikan kekerasan seksual, pelaku dapat merasa bahwa perilaku mereka tidak akan diproses atau dianggap serius," ungkapnya.
Dessy menyebut pelaku pelecehan seksual, terutama yang berada di posisi otoritas, seperti guru, tokoh agama, atau pejabat, sering kali memiliki akses langsung terhadap korban. Hal ini membuat pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan pelecehan.
"Kepercayaan atau ketergantungan yang dimiliki korban terhadap pelaku sering dimanfaatkan untuk mengontrol dan memanipulasi situasi," sebutnya.
Dia menambahkan paparan media dan pornografi juga salah satu indikator dorongan pelaku pelecehan seksual. Paparan terhadap media atau materi pornografi yang ekstrem atau merendahkan martabat manusia dapat memperkuat pandangan yang salah tentang seksualitas dan hubungan interpersonal.
"Dalam beberapa kasus, pelaku pelecehan seksual dapat menginternalisasi gambaran seksualitas yang tidak realistis atau merugikan, yang berujung pada perilaku yang merusak," jelasnya.
Dia menuturkan pelaku yang tumbuh dalam lingkungan yang mengabaikan atau tidak peduli terhadap masalah emosional dan psikologis mungkin merasa kurangnya pengawasan atau rasa tanggung jawab terhadap tindakan mereka.
Ketika tidak ada batasan atau kontrol yang jelas dari keluarga atau masyarakat, mereka mungkin merasa bebas untuk melakukan tindakan pelecehan seksual tanpa takut akan konsekuensi.
"Diperlukan pemeriksaan psikologis lebih lanjut untuk menegakkan diagnosa. Bantuan profesional dari psikolog dan psikiater untuk menangani kasus tersebut," ujarnya.
https://www.detik.com/sumbagsel/beri...n-asn-di-jambi
"Mereka cenderung merasa superior, mengabaikan hak orang lain, dan melihat tindakan mereka sebagai hal yang tidak perlu dipertanyakan"
Ini mirip sifatnya dengan yg suka berlarut2 tereak2 pake TOA.
Jadi jangan heran kalau dari golongan yg sama banyak pula yg berujung menjadi manusia cabul.






paman.goberrrrr dan 5 lainnya memberi reputasi
6
375
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan