Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Uskup Merauke dinilai tak mampu gembalakan umat Papua Selatan
Uskup Merauke dinilai tak mampu gembalakan umat Papua Selatan
[img]https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/11/IMG_20241106_145207-1.jpg[/mg]

Timoteus Marten
Last updated: November 6, 2024 4:43 pm
Penulis: Admin Jubi
Editor: Timoteus Marten
Share
8 Min Read

Suasana seminar bertajuk “PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua” di Jakarta. - Tangkapan layar Youtube Jakartanicus
SHARE
Jayapura, Jubi – Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC dinilai tak mampu menggembalakan umatnya di Kampung Wogekel dan Wanam, Distrik Ilwayab, Merauke, Papua Selatan. Hal itu ditegaskan Suara Kaum Awam Katolik Papua melalui siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Rabu (6/11/2024).

Penilaian terhadap Uskup Merauke, Mgr. Petrus Mandagi, MSC, merupakan respons Kristianus Dogopia dan Stenly Dambujai–perwakilan “Suara Kaum Awam Katolik Papua”, terhadap pernyataan sang uskup pada “Seminar Nasional PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua”, Senin (4/11/2024), yang dibacakan Romo Ferry.

Romo Ferry dalam seminar tersebut, demikian siaran pers itu, mengakui telah berkomunikasi dengan Uskup Mandagi dan membacakan teks yang didapatkan langsung dari Uskup Mandagi.

Suara Kaum Awam Katolik kemudian menanggapi pernyataan Uskup Merauke, bahwa:

Pertama, pernyataan Uskup Mandagi yang mengatakan “kalau proyek food state adalah sebuah cara yang bagus untuk menyediakan makanan untuk orang banyak, baik yang ada di Papua dan di luar Papua, maka saya setuju” adalah keliru besar.

Kami sebagai orang Katolik memahami dan setuju soal dogma Gereja Katolik, yang mengutamakan kepentingan banyak orang (bonum commune). Tetapi food state bukan segala-galanya. Dari keutuhan alam, dengan cara bercocok tanam, berburu, meramu dan lainnya, juga bisa menjamin kesejahteraan bersama.

Alam adalah sumber kehidupan tak terbatas. Dia menyediakan segala macam. Keutuhan alam juga justru mampu menyediakan makanan bagi orang banyak, lantas mengapa harus bergantung pada food state dengan menggundulkan hutan dan menghancurkannya dengan alat berat?

Di sini menunjukkan bahwa Uskup Mandagi belum memahami konteks pastoral lokal, terutama nilai-nilai kebudayaan masyarakat adat, yang bergantung pada alam. Bahkan menunjukkan sebuah sikap ketidakmampuan dalam mengkontektualisasikan karya pastoralnya;

Kedua, kami mengkritisi pernyataan Uskup Mandagi yang mengatakan “Papua Selatan diciptakan oleh Tuhan untuk banyak orang. Itulah berkat untuk orang Papua Selatan. Transmigrasi sudah lama, kalau ada berita, bahwa Pak Prabowo melihat buah panen banyak, benih.”

Apakah dengan dalil Papua Selatan diciptakan oleh Tuhan untuk banyak orang, berarti siapa saja, termasuk transmigran, boleh masuk dan melakukan apa saja sebebas-bebasnya, berdasarkan pengalaman tahun 1960 sampai 1970-an?

Uskup Mandagi harus bertanggung jawab atas pernyataannya ini. Kebetulan saat ini juga isu transmigrasi kembali nampak dalam pemerintahan Prabowo guna menempatkan di Tanah Papua, termasuk di Papua Selatan;

Ketiga, Suara Kaum Awam Katolik Papua mengecam pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan: “[orang] Papua Selatan boleh berbanggalah telah memberi keuntungan baik bagi diri sendiri maupun untuk banyak orang. Banyak orang harus diutamakan, bukan segelintir orang.”

Sekali lagi, soal kepentingan umum itu baik adanya. Tapi logikanya seperti apa? Orang hidup sekarat; tanah adatnya dicaplok tanpa kompromi dengan baik, lalu mau berbangga seperti apa?

Apakah Uskup Mandagi berbicara dengan bahasa roh dan suara kenabian atau mengikuti relasi kepentingan khusus? Uskup Mandagi harus bertanggung jawab terhadap umat dan masyarakat di Papua Selatan;

Keempat, menyayangkan pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan “baik yang ada di Papua ataupun di luar Papua, yang berteriak-teriak diberlakukan tidak adil, padahal tidak buat apa-apa untuk orang asli Papua Selatan.”

Uskup Merauke dinilai tak mampu gembalakan umat Papua Selatan
Peta kawasan PSN Merauke yang dipaparkan dalam seminar bertajuk “PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua” di Jakarta. – Tangkapan layar youtube Jakartanicus
Uskup Mandagi tidak perlu menunjuk jari kepada orang yang ada di luar. Orang luar, termasuk Suara Kaum Awam Katolik Papua, mengkritisi pernyataan kontroversialnya. Harus memperhatikan dua hal, yakni; (1) hati, sikap, keberpihakan dan kepeduliannya sebagai gembala terhadap umatnya dan; (2) turun ke lapangan langsung atau mempersilakan umat dan masyarakat datang, guna mendengarkan kegelisahan dan harapan mereka.

Bukan malah titip berita sama orang, apalagi suruh aparat untuk menghalangi umat di jalan dan menerima mereka di tengah jalan yang penuh debu dan bau sampah, yang seolah-olah orang Malind adalah orang asing yang tidak mempunyai harga diri di mata gereja Katolik dan Mandagi sebagai pimpinan gerejanya;

Kelima, pada kesempatan ini juga kami menyikapi pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan: “saya tegaskan, Keuskupan Agung Merauke sama sekali tidak pernah menjual tanah milik masyarakat adat untuk proyek food state. Tetapi kini uskup kini difitnah bahwa telah jual tanah milik masyarakat adat.”

Uskup Mandagi boleh membenarkan diri bahwa dia tidak (dinilai) menjual tanah. Namun, legitimasi yang diberikan Uskup Merauke memiliki indikasi relasi khusus, dimana, mempermudah proses agar masyarakat dan umat kehilangan basis-basis sumber ketergantungan hidup, yang berpusat pada tanah adat dan hutan adat.

Dengan terang-terangan Uskup Mandagi membuka pintu gereja bagi penguasa dan perusahaan. Sebaliknya dia membatasi ruang bagi masyarakat dan umat.

Uskup Merauke dinilai tak mampu gembalakan umat Papua Selatan
Beberapa anak Papua yang menamakan diri “Suara Kaum Awam Katolik Papua” melakukan aksi mingguan di depan Gereja Katolik Paroki Kristus Terang Dunia Waena, Jayapura, Minggu (20/10/2024). Mereka memrotes dukungan Uskup Merauke terhadap PSN di Papua Selatan. – IST
Ini menunjukkan sikap gembala yang sangat diskriminatif. Tidak perlu menuding orang lain dengan kata fitnah, justru lebih elok apabila mengakui kesalahan dan meminta maaf atas perbuatannya atas nama gereja Katolik dan Tuhan;

Keenam, menanggapi pernyataan Uskup Mandagi yang mengatakan: “[pelaksanaan praktis food state bukan urusan Keuskupan Agung Merauke, itu urusan pemerintah. Gereja hanya mengingatkan bahwa proyek food state seharusnya untuk kemanusiaan dan bagi banyak orang.”

Semua orang telah memahami bahwa gereja tidak memiliki otoritas untuk menjalankan PSN ini. Tetapi pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan PSN atas nama kemanusiaan dan kesejahteraan banyak orang, walaupun benar, bertentangan dengan manusia yang adalah pemilik hak ulayat juga umat Katolik.

Bagaimana umat sendiri menolak, sementara uskup sebagai pimpinan Gereja terkesan memaksakan ataupun merayu umat, agar menerima PSN atas nama kebaikan, kemanusiaan dan kesejahteraan umum?

Pernyataan semacam ini tidak masuk di akal sama sekali. Seorang gembala tidak patut mengeluarkan pernyataan yang berat sebelah. Sebaliknya mayoritas umat menolaknya;

Ketujuh, setuju dengan pernyataan Uskup Merauke bahwa “di balik proyek strategis ini harus ada kejujuran, baik yang mendukung maupun yang menolak. Jangan ada dusta dalam perjuangan kepentingan dalam kepentingan pribadi atau mencari kekuasaan.”

Untuk menemukan kejujuran, harus ada ruang dialog. Dialog harus didorong agar semua pihak menemukan benang merahnya.

Uskup Mandagi memiliki tanggung jawab moral dan memiliki kapasitas untuk memediasi semua pihak, baik yang pro, maupun kontra, untuk bicara baik-baik.

Dialog tidak membunuh, tidak melukai dan tidak juga menyakiti. Dialog ini salah satu cara yang tepat dalam menggembalakan umat yang kontekstual, yakni; merangkul, mendengarkan, melihat, merasakan dan mencari jalan keluar secara damai dan bermartabat.

Dialog juga bisa mendekati orang dengan empati dan solidaritas guna membangun relasi yang harmoni dan memulihkan kepercayaan umat. Dialog menjadi kunci untuk melawan kesan ketidakmampuan Uskup Mandagi.

“Harapan kami, (Uskup) Mandagi hendaknya meniru sikap Paus Fransiskus yang rendah hati, ramah pada manusia dan alam semesta, yang mengutamakan pola dialogis.” (*)
https://jubi.id/rilis-pers/2024/usku...papua-selatan/
tanggapan atas pernyataan Uskup

Kaum Awam Katolik Papua: Uskup Mandagi Membuka Neraka bagi Umatnya
Uskup Merauke dinilai tak mampu gembalakan umat Papua Selatan
Sebagai bentuk protes berkelanjutan terhadap keberpihakan Uskup Mandagi sebagai publik figur itu, pada hari ini, Minggu, 27 Oktober 2024, pukul 09:30-09:45 WIT, Suara Kaum Awam Katolik Papua Kembali melakukan aksi protes yang ke empat kali. Aksi mingguan ini dilakukan di halaman Gereja Katolik (Doc.Prib)

The Papua Journal—Umat Katolik dari Suara Kaum Awam Katolik Papua melakukan aksi protes damai di Jayapura terhadap Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC. Aksi ini dilakukan di tiga paroki besar: Paroki Santo Fransiskus Asisi APO, Paroki Gembala Baik Abepura, dan Paroki Kristus Terang Dunia Waena.

Protes ini menyoroti peran Uskup Mandagi yang dinilai mendukung pemerintah dan perusahaan dalam upaya mengambil alih lahan adat di Merauke, yang berpotensi merampas sekitar dua juta hektar tanah masyarakat adat.

Menurut Kristianus Dogopia, salah satu perwakilan Suara Kaum Awam Katolik Papua, dukungan Uskup Mandagi terhadap Program Strategis Nasional (PSN) justru merugikan umatnya.

"Mandagi seakan membuka pintu neraka bagi umat Katolik di Papua. Jika lahan dan hak-hak dasar masyarakat adat hilang, maka di sana ada peran gereja melalui legitimasi yang diberikan oleh pimpinan gereja," ujarnya kepada The Papua Journal, Senin, (04/11).

Dogopia menambahkan bahwa tindakan Uskup Mandagi memberikan ruang bagi penguasa dan perusahaan untuk mempercepat pengambilalihan hak-hak masyarakat adat.

Stenly Dambujai, narasumber lainnya dari kelompok yang sama, mengungkapkan keprihatinannya atas perubahan arah pastoral di Keuskupan Agung Merauke yang disebutnya menciptakan kegaduhan dan perpecahan di antara umat.

"Selama lebih dari satu abad, para misionaris di keuskupan ini jarang membuat pernyataan kontroversial. Namun, dukungan Mandagi terhadap elite penguasa dan perusahaan besar mengakibatkan trauma dan luka bagi umat," katanya.

Aksi protes pada Hari Minggu, (03/11) telah berlangsung damai mulai pukul 09:30 hingga 10:23 WIT. Setelah mengikuti misa, para peserta aksi berdiri di halaman gereja sambil memegang pamflet sebagai bentuk aksi bisu tanpa kekerasan. Di Paroki APO, aparat dari Polresta Jayapura sempat membubarkan massa aksi. Meski demikian, melalui negosiasi damai, mereka sepakat membubarkan diri tanpa insiden.

Sebelum pulang, perwakilan massa aksi sempat berdialog dengan Pastor Paulus Tumayang OFM terkait rencana pembongkaran gedung gereja tua di APO yang berusia 65 tahun dan memiliki nilai cagar budaya. Pastor Tumayang menyepakati dialog lanjutan yang melibatkan semua pihak terkait untuk membahas rencana tersebut.

Kristianus Dogopia dan Stenly Dambujai berharap agar Uskup Mandagi segera memberikan klarifikasi dan meminta maaf kepada umat untuk mengakhiri kontroversi ini dan meredakan ketegangan yang dirasakan oleh masyarakat adat.(*)

https://www.thepapuajournal.com/taha...a-bagi-umatnya
protes orang-orang Katolik atas pernyataan Uskup




Uskup Agung Merauke: Proyek Food Estate cara bagus menyediakan makanan untuk orang banyak
Uskup Merauke dinilai tak mampu gembalakan umat Papua Selatan
Uskup Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi, Msc - Jubi/Frans L Kobun
SHARE
Jayapura, Jubi – Proyek food estate adalah sebuah cara yang bagus untuk menyediakan makanan bagi orang banyak, baik yang ada di Papua dan di luar Papua, demikian menurut Keuskupan Agung Merauke, Mgr Petrus Canisius Mandagi Msc. Papua Selatan diciptakan oleh Tuhan untuk banyak orang, sehingga itulah berkat bagi orang Papua Selatan, kata Uskup Agung Merauke itu.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Uskup Petrus Canisius Mandagi melalui pesan yang dikirim dan dibacakan oleh Romo Ferry SW dalam Seminar Nasional yang bertajuk ‘PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua’ yang digelar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Rawasari, Jakarta pada Senin (4/11/2024).


Saya bicara tentang sawah yang menyediakan makanan langsung untuk manusia, bukan tentang perkebunan tebu atau sawit. Papua Selatan boleh berbanggalah telah memberi keuntungan baik bagi diri sendiri maupun untuk banyak orang. Banyak orang harus diutamakan, bukan segelintir orang,” kata Mandagi.

Petrus Canisius Mandagi menuturkan semua orang baik yang ada di Papua ataupun di luar Papua, yang berteriak-teriak telah diberlakukan tidak adil, padahal tidak berbuat apa-apa untuk Orang Asli Papua Selatan. Ia menegaskan bahwa Keuskupan Agung Merauke sama sekali tidak pernah menjual tanah milik masyarakat adat untuk proyek Food Estate. Tetapi menurutnya saat ini dirinya justru difitnah telah menjual tanah milik masyarakat adat.

[img]https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/11/IMG_20241103_094159-860x484-1.jpg[/img[
Suara Kaum Awam Katolik Papua melakukan aksi mingguan di depan Gereja Katolik Paroki St Fransiskan APO negosiasi sebelum dibubarkan paksa di Kota Jayapura, Minggu (3/11/2024). Mereka memprotes dukungan Uskup Merauke terhadap PSN di Papua Selatan – Jubi/Larius Kogoya
“Pelaksanaan praktis food estate bukan urusan Keuskupan Agung Merauke, itu urusan pemerintah. Gereja hanya mengingatkan bahwa proyek food estate seharusnya untuk kemanusiaan dan bagi banyak orang. Dibalik proyek strategis ini harus ada kejujuran, baik yang mendukung maupun yang menolak. Jangan ada dusta dalam perjuangan kepentingan dalam kepentingan pribadi atau mencari kekuasaan,” ujar Uskup Agung Merauke.

Terkait harapan kesejahteraan itu Dosen Filsafat dan Antropologi STF Driyarkara, Budi Hernawan menceritakan sebuah pengalaman dari orang-orang Amungme di kawasan konsesi PT. Freeport Indonesia. Menurut Hernawan, adanya program satu persen dari PT. FI untuk orang Amungme dan Kamoro bukan karena kebaikan PT Freeport. Progran 1% itu dimenangkan setelah Keuskupan Jayapura pada tahun 1995 menerbitkan laporan pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah konsesi Freeport.

“Freeport membuat dana satu persen atas dasar suara gereja yang dirumuskan dalam laporan pelanggaran HAM. Itulah yang dikehendaki oleh umat yang kebetulan Katolik. Umat Marind hari ini meminta supaya Keuskupan Agung Merauke bersuara bagi mereka, karena mereka sudah tidak ada tempat lain untuk menyelamatkan Demanya,” kata Budi.

Budi hernawan menyesalkan tidak adanya tanggapan dari keuskupan atas keprihatinan dan kehancuran kosmologis orang Marind.

“Sementara uskup juga menanggapi hal yang berbeda, bukan keprihatinan orang Marind. Dan celakanya diskusinya menjadi gagal fokus karena kita tidak menanggapi orang yang punya kontrak tadi. Teman-teman di Jayapura mendemo Uskup, ada mendemo TNI, ada yang mendemo transmigrasi dan teman-teman lain bersama-sama orang Marind,” ujarnya.

Hernawan berharap, jika Keuskupan Agung Merauke kehilangan kemampuan merespon, maka secara konkrit dua lembaga gereja yang besar, yaitu Persekutuan Gereja-Gereja Papua dan Dewan Gereja Papua lah yang semestinya mengambil alih isu penolakan PSN Merauke.

“Karena Keuskupan Agung Merauke tidak memiliki kemampuan lagi, jadi tidak perlu sibuk mengritik dia [Uskup Agung Merauke] karena sudah sampai tahap batas kemampuannya,” kata Budi Hernawan.

Ketua Forum Masyarakat Adat Marind, Simon Petrus Balagaize mengatakan saat ini masyarakat adat yang mengalami korban penggusuran hutan adat untuk PSN telah datang kepada Keuskupan Agung Merauke, meminta bertemu dengan Bapak Uskup Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC. Tetapi Bapak Uskup Mandagi tidak merespon dan tidak menerima umat yang datang kepadanya.

“Kita datang ke sana bawah aspirasi semua umat dengan sepakat menolak PSN, karena proyek ini sedang mengancam hutan kami. Tetapi yang menerima kami adalah Pastor John Kandam, perwakilan dari Keuskupan. Kami sampaikan bahwa uskup harus datang ke sini bertemu dengan kami masyarakat adat, namun sampai saat ini belum pernah bertemu dengan uskup,” kata Balagaize.

Simon Balagaize merasa kesal karena dua minggu berselang sebelum masyarakat meminta bertemu, uskup justru menerima kedatangan dan bertemu pihak perusahaan dan aparat militer. Menurut Balagaize saat itu Uskup Mandagi mengeluarkan pernyataan bahwa perusahaan itu untuk kemanusiaan, perusahaan baik untuk membangun masyarakat.

“Kita umat yang korban ini datang kepada bapak uskup tapi [beliau] tidak menerima kami. Dia tidak menganggap kami sebagai umat ka? sehingga pada saat itu kami mulai protes kepada gereja, kami juga protes kepada pemerintah yang semena-mena datang mencaplok dan menggusur tanah kami dan membongkar hutan kami,” katanya.

Anggota Komisi Perdamaian dan Keadilan Keuskupan Agung Merauke, Pius Cornelis Manu menuturkan ketika pihaknya melakukan penolakan PSN di Merauke, tidak ada yang menanggapi dan peduli terhadap masyarakat baik pemerintah daerah, DPR, MRP bahkan Gereja sekalipun. Karena itu pihaknya dari Merauke datang ke Jakarta mencari dukungan pertolongan.

“Saya bersyukur bahwa ada tanggapan yang luar biasa dari saudara-saudara di sini dan seminar ini juga merupakan satu dukungan bagi kami. Sebab di kami punya daerah tidak ada tempat untuk kami mengadu kepada siapa lagi. Gereja dan pemerintah sendiri angkat tangan dan menyatakan tidak tahu tapi mereka sendiri menjalin relasi yang akrab dengan para konglomerat,” kata Manu.

Pastor Manu menyarankan solusi agar pemerintah lebih baik memaksimalkan tanah yang sudah ada, yang sudah lebih dulu diberikan oleh masyarakat adat kepada negara. Dirinya berharap tanah-tanah yang sudah ada itulah yang dikelola secara modern, sebagaimana yang dilakukan di negara-negara tetangga dengan menjadikan lahan itu produktif dan berkelanjutan. (*)
https://jubi.id/polhukam/2024/uskup-...-orang-banyak/

Dukung keuskupan Papua selatan ditengah penolakan kehadiran food estate di Papua selatan
putraFHAvatar border
putraFH memberi reputasi
1
394
62
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan