- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kenapa Orang di Indonesia Sangat Mudah Digiring Opininya?


TS
mr.spagheti
Kenapa Orang di Indonesia Sangat Mudah Digiring Opininya?

Di era digital saat ini, berita, informasi, bahkan opini, dapat tersebar dalam hitungan detik. Media sosial memainkan peran besar dalam menyebarkan opini dan pandangan tertentu yang dengan cepat diterima masyarakat. Namun, mengapa banyak orang di Indonesia tampaknya mudah digiring opininya? Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan beberapa faktor utama yang logis dan mudah dipahami.
1. Rendahnya Literasi Media dan Literasi Digital

Menurut UNESCO, tingkat literasi media dan digital di Indonesia masih relatif rendah. Literasi media bukan hanya soal bisa membaca atau menulis, tapi juga kemampuan dalam memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Banyak orang menerima informasi mentah-mentah tanpa mencari sumber lain atau mengkritisinya terlebih dahulu. Ketika literasi digital rendah, kemampuan untuk menilai kebenaran informasi jadi terbatas. Akibatnya, opini yang disebarkan oleh tokoh publik atau influencer mudah diterima dan dianggap benar.
2. Kekuatan Figur Publik dan Influencer
Konten Sensitif

Dalam masyarakat Indonesia, figur publik dan influencer memiliki pengaruh besar. Banyak orang menganggap mereka sebagai sumber kebenaran, terutama jika tokoh tersebut terkenal atau berwibawa. Efek ini dikenal sebagai celebrity endorsement bias, di mana opini atau rekomendasi dari seseorang yang dianggap berpengaruh akan mudah diterima tanpa banyak kritis. Ketika figur publik memberikan pendapat atau membagikan berita, masyarakat cenderung langsung mengikuti tanpa memverifikasi lebih lanjut.
3. Pengaruh Budaya Kolektivis

Budaya kolektivis yang kuat di Indonesia berperan besar dalam fenomena ini. Masyarakat cenderung mengutamakan kebersamaan dan cenderung tidak ingin berbeda pandangan dari lingkungannya. Ketika mayoritas berpendapat tertentu, individu merasa "aman" untuk mengikuti pendapat tersebut, takut dianggap aneh atau tidak menghormati pendapat orang lain. Akibatnya, opini yang populer menjadi lebih cepat diterima dan diikuti banyak orang, walaupun belum tentu benar.
4. Minimnya Akses ke Pendidikan Kritis

Pendidikan kritis adalah kemampuan untuk menganalisis, mempertanyakan, dan tidak mudah percaya pada informasi yang diterima. Di Indonesia, pendidikan kritis masih belum menjadi fokus utama dalam kurikulum sekolah. Pendidikan lebih menekankan pada hapalan ketimbang pemikiran kritis. Akibatnya, banyak orang dewasa di Indonesia yang tidak terbiasa mempertanyakan atau menganalisis informasi secara mendalam. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap opini yang digiring.
5. Polarisasi dan Pengaruh Media Sosial
Konten Sensitif

Di media sosial, polarisasi menjadi sangat kuat. Media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, memungkinkan orang untuk hanya mengikuti akun atau konten yang mereka sukai, sehingga pandangan yang berbeda semakin jarang terlihat. Hal ini menciptakan echo chamberatau ruang gema di mana pengguna terus mendengar opini yang sama, seakan-akan pendapat itu adalah satu-satunya kebenaran. Tanpa perspektif yang beragam, opini yang tersebar di ruang gema ini menjadi semakin kuat dan dipercaya.
6. Strategi Propaganda dan Disinformasi yang Canggih

Tidak sedikit pula kasus di mana opini publik digiring oleh kelompok-kelompok tertentu melalui propaganda atau disinformasi. Sejak era digital, banyak oknum yang menggunakan teknik disinformasi untuk menggiring opini. Melalui teknik seperti clickbait, judul bombastis, atau narasi yang memanipulasi emosi, mereka berhasil menarik perhatian masyarakat untuk mempercayai berita atau opini yang sebenarnya sudah dimanipulasi.
6. Strategi Propaganda dan Disinformasi yang Canggih

Tidak sedikit pula kasus di mana opini publik digiring oleh kelompok-kelompok tertentu melalui propaganda atau disinformasi. Sejak era digital, banyak oknum yang menggunakan teknik disinformasi untuk menggiring opini. Melalui teknik seperti clickbait, judul bombastis, atau narasi yang memanipulasi emosi, mereka berhasil menarik perhatian masyarakat untuk mempercayai berita atau opini yang sebenarnya sudah dimanipulasi.
7. Kekuatan Narasi Emosional

Narasi emosional jauh lebih mudah diterima daripada data atau fakta yang objektif. Informasi yang menyentuh emosi cenderung lebih mudah diingat dan diterima oleh masyarakat. Sebuah opini yang memicu kemarahan, simpati, atau rasa takut lebih cepat menyebar daripada yang hanya menyampaikan fakta netral. Banyak orang akhirnya menerima dan menyebarkan informasi yang memicu emosi mereka tanpa memeriksa keakuratan informasi tersebut terlebih dahulu.
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA
^_^
^_^






uchub dan 6 lainnya memberi reputasi
7
408
22


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan