- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Jalan Kita Masing-Masing (Cerpen)
TS
ih.sul
Jalan Kita Masing-Masing (Cerpen)
“Ki Ki Ki, aku ada ide jualan bagus. Dijamin sukses!”
“Jual apaan? Jual agama?”
“Bukan! Aku mau jual bakwan udang. Om ku kan jualan udang goreng, ada banyak banget kulit udang nggak kepake. Kan tinggal kurebus terus air rebusannya kucampur sama tepung. Pasti laku!”
Aku tak tahu banyak tentang dunia perbakwanan, tapi bakwan rasa udang memang terdengar lezat. Hanya saja, dengan ekonomi saat ini dan banyaknya pemalakan di level umkm, apa idenya bisa membuahkan hasil?
“Mending jualan agama aja Gil. Mukamu kan muka orang arab.”
Giginya agak tonggos, tapi Agil memang punya darah orang Arab dari sisi ibunya. Sayang kalo nggak dimanfaatkan.
“Kau sendiri mau apa, Ki? Lanjut kuliah?”
Aku menggeleng.
Sebentar lagi kami akan lulus Sma. Pilihan ke depan cuma ada dua, lanjut kuliah atau menganggur. Aku tak berencana kuliah, jadi sepertinya aku akan menganggur sebelum mendapatkan kerja yang cocok.
Meski demikian aku sebenarnya punya rencana. Tidak menjanjikan, tapi ada hal yang ingin kulakukan.
“Kalo nggak salah dulu kau bilang mau jadi guru, kan? kenapa nggak lanjut kuliah?” tanya Agil lagi.
“Gil, guru itu gajinya kecil, masuk penjaranya gampang. Ngapain kau habisin hidup di suatu pekerjaan kalau pemerintah sendiri nggak menghargai pekerjaan itu? Lihat tuh Bu Lisa, didenda puluhan juta cuma gara-gara nagih pr. Sori ye, tapi masa depanku lebih penting daripada masa depan negara ini.”
Bu Lisa adalah guru yang baik, tapi murid-murid jaman sekarang memang makin brengsek. Padahal kasusnya viral, tapi tetap saja beliau kena denda. Apalagi kalau nggak viral? Sudah membeku dia dipenjara.
Aku jadi ingat pamanku, Doni. Dia cuma duduk di pinggir jalan menunggu pembeli datang, tapi tiba-tiba sekelompok polisi datang dan membawanya ke kantor polisi. Entah bagaimana ceritanya dia dituduh membunuh seseorang. Bahkan sampai sekarang Om Doni masih mendekam di penjara karena tak sanggup membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
Aku mendesah menatap langit saat Agil menjelaskan di mana dia ingin membuka usaha bakwan udangnya. Di jaman sekarang, sekedar punya usaha dan uang saja sudah tidak cukup. Untuk bisa hidup tenang, perlu yang namanya kekuasaan. Minimal, aku harus punya kuasa untuk memviralkan sesuatu.
Karena itulah, setelah lulus Sma aku mulai mencoba menjadi konten kreator. Youtube, tiktok, instagram, semua kujalani sekaligus. Aku tak memberitahukannya pada orangtuaku, kubilang aku masih mencari kerja, tapi lama-kelamaan mereka semakin hilang sabar.
Akhirnya aku pun dikirim ke luar kota untuk membantu usaha sepupu. Aku setuju. Usahaku di sosmed belum membuahkan rupiah, jadi aku benar-benar butuh pemasukan. Kupikir sebaiknya aku bekerja sampai uang dari sosmed cukup untuk menopang kehidupanku. Pasti tidak akan lama lagi.
Pasti tidak akan lama lagi.
***
Tahun demi tahun dan tahun berlalu. Aku masih bekerja sebagai buruh di pabrik sepupuku. Pekerjaan yang monoton, rutinitas yang itu itu saja. Tak ada yang sesuai dengan bayanganku beberapa tahun lalu. Yang paling tidak sesuai bayangan adalah konten-kontenku sama sekali tidak membuahkan hasil.
Awalnya aku membuat video setiap hari, lalu dua hari sekali, lalu seminggu sekali. Satu hal yang kupelajari adalah keinginan saja tidak cukup. Mengupload video-video baru tanpa ada yang menonton terasa seperti memberi makan mayat. Cuma aroma busuk dari masa depan suram yang bisa kurasakan.
Aku sudah tak ingat kapan terakhir aku mengupload video. Menghabiskan berjam-jam mengedit video tanpa penonton sambil menyaksikan cewek random joget seksi dan mendapat jutaan views rasanya terlalu menyayat hati.
Kira-kira di mana yang salah? Apakah kontenku yang kurang menarik? Atau dunia glamor ini memang bukan tempatku? Saat aku berhenti dan melihat ke belakang, yang bisa kulihat cuma waktu yang terbuang sia-sia.
Aku melihat teman-teman seangkatanku mendapat pekerjaan yang baik, menikah, dan punya anak. Sedangkan diriku cuma punya sekian puluh follower yang tak kutahu apakah orang sungguhan atau cuma bot. Impian masa lalu itu cuma angan-angan. Jangankan mendapat kuasa, aku cuma membuang-buang masa muda.
Kira-kira apa yang akan diriku di masa lalu katakan jika melihatku sekarang? Apa yang teman-temanku akan katakan jika melihatku seperti ini?
Karena gelisah aku pun mengecek instastory mereka satu per satu, sesuatu yang sudah jarang kulakukan karena hanya membuatku insecure. Aku melihat Agil yang sudah lama putus kontak. Tak disangka usaha bakwan udangnya cukup sukses. Dia bahkan sudah punya gedung dan logo usaha. Menyesal aku tidak menerima tawarannya dulu.
Namun penyesalan itu tidak berlangsung lama. Usaha Agil ternyata cuma punya rating 1,5. Kok bisa? Dia lupa daftar stempel halal atau gimana?
Aku tertegun saat membaca kolom komentar. Tak pakai lama, aku langsung membeli tiket bis dan pulang ke kampung halaman.
***
“Agil … ohh Agil. Kan udah kubilang, mending jual agama aja.”
Agil tampak begitu kurus dengan kulit yang bergelambir, tanda bahwa dia kehilangan berat badan dengan cepat. Bagaimana bisa temanku yang hobi makan bisa berakhir begini?
“Ki …,” dia berbisik lemah. “Keluarin aku Ki ….”
Hanya dalam mimpi saja aku pernah mengeluarkan seseorang dari penjara. Sosok Agil di balik jeruji besi terlalu mengenaskan untuk kulihat setelah lima tahun kami tidak berjumpa.
Dari apa yang kudengar dari istrinya sebelum kemari, Agil dituduh melakukan pembunuhan pada seorang anak. Alasan polisi menangkapnya cuma satu, gara-gara anak itu membawa plastik berisi bakwan udang dagangannya. Entah alasan macam apa itu, tapi polisi menangkap dan memasukkannya ke penjara sampai persidangan dilaksanakan.
Dia tidak melakukan apa-apa, tapi dia dipenjara. Dia, Om Doni, dan banyak orang lain di luar sana.
Andai saja aku punya kuasa untuk menolongnya ….
“Kau udah makan, Gil? Nih, kubawain nasi padang.”
Aku pun mendengar semua cerita sedihnya. Minimal, cuma itu yang bisa aku lakukan. Kronologi penangkapannya, bagaimana dia dipukuli di dalam penjara, sampai ketakutannya untuk persidangan minggu depan. Dia takut akan dipenjara seumur hidup, dan dia juga khawatir pengacaranya sudah disuap untuk membuatnya benar-benar bersalah.
“Kau sendiri apa kabar, Ki? Udah nikah belum?” tanyanya. Tampaknya perut kenyang sudah membuatnya lebih baik.
Aku pun menggeleng. “Aku ….”
Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Malu rasanya karena tak punya pencapaian setelah bertahun-tahun, tapi kalau dipikir-pikir, apalagi yang perlu kusembunyikan dari orang yang hidupnya nyaris hancur?
“Aku gagal, Gil,” jawabku jujur. “Nggak ada usahaku yang berhasil. Aku malah nggak tahu harus apa lagi sekarang. Lelah rasanya.”
Ucapanku mungkin terdengar seperti remaja lembek yang cuma bisa mengeluh mental health, tapi beginilah keadaanku sekarang. Rasanya gelap, tak tahu harus jalan ke mana.
“Jalanin aja, Ki, jalanin aja,” balas Agil kemudian. “Hidup siapa yang tahu? Lihat aja aku, minggu lalu aku masih hidup normal, minggu depan mungkin udah hilang entah ke mana. Intinya, jangan nyerah. Hidupmu belum hancur, Ki. Masih banyak yang bisa kau lakukan.”
Agil menatap ke luar, menatap dunia yang mungkin sudah asing baginya. Aku mengusap air mata yang tak terduga mengalir begitu saja. Bahkan sejak dulu, Agil selalu menyemangatiku.
Aku selalu mencoba melawan arus, dan itulah yang menyebabkan aku selalu sendirian. Namun, Agil selalu mendukung pilihanku tak peduli betapa naifnya itu. Kini, akulah yang harus menolongnya, dan aku tahu satu cara yang bisa menolongnya.
Sudah lama aku menyerah dengan sosial media. Aku tak pernah mendapat keberuntungan. Namun, kali ini saja ... cukup satu kali saja.
Aku mengangkat kamera ponselku dan mengarahkannya ke Agil.
"Ini Agil. Dia dipenjara karena alasan yang luar biasa ...."
***
Hidup memang bekerja dengan cara yang misterius. Terkadang saat kita sudah menyerah, keajaiban dan merubah segalanya.
Aku sempat putus asa saat video klarifikasi Agil cuma mendapat 100 view dalam sehari, tapi mendadak saja video itu meledak dan viral di mana-mana.
Setelah itu semuanya berjalan mulus. Desakan masyarakat membuat polisi bergerak menangkap pelaku sesungguhnya dan Agil pun dinyatakan bebas.
Terkadang aku heran betapa mudahnya nasib seseorang berubah tergantung dari berapa banyak orang yang memilih untuk peduli pada satu sama lain.
Itu aneh, tapi aku berterima kasih.
"Makasih ya, Ki. Makasiiihhh banget."
Aku tak bisa membuat Agil berhenti berterima kasih. Dia bebas dan usaha bakwan udangnya makin terkenal akibat kasus itu. Kurasa penangkapannya cuma satu jalan terjal menuju rezeki yang lebih besar.
Dan aku pun kecipratan rezekinya. Jumlah subscriberku naik drastis. Channel-channel yang dulunya mati kini terlihat sangat menggoda.
"Jadi, kau mau lanjut jadi konten kreator?"
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Agil.
"Mungkin ini pertanda. Aku dulu pengen terkenal buat bebasin Om ku, jadi mungkin ini jalan takdirku. Pasti banyak orang di luar sana yang butuh diviralkan, kan?"
Kita semua memilih jalan yang kita lalui. Tak semua jalan itu berakhir indah, tapi faktanya kita terus berjalan. Aku ingin berjalan melintasi jalan-jalan itu dan barusaha merubahnya ke arah yang lebih baik.
Aku berjalan mengikuti arus, tapi mengikuti arus berarti berenang bersama jutaan ikan lainnya. Aku tak akan pernah sendirian.
***TAMAT***
spaghettimi dan 17 lainnya memberi reputasi
18
400
10
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan