- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Prabowo berencana hidupkan lagi transmigrasi ke Papua – Mengapa orang Papua cemas?


TS
mabdulkarim
Prabowo berencana hidupkan lagi transmigrasi ke Papua – Mengapa orang Papua cemas?
Prabowo berencana hidupkan lagi transmigrasi ke Papua – Mengapa orang Papua cemas?
Pemerintahan Prabowo berencana hidupkan lagi transmigrasi ke Papua – Mengapa orang asli Papua cemas?

Keterangan gambar,Sekelompok warga asli Papua di Kota Sorong, Rabu (30/10), berunjuk rasa menentang rencana pemerintah pusat menggelar kembali program transmigrasi ke Papua.
Informasi artikel
Penulis,Abraham Utama
Peranan,Jurnalis BBC News Indonesia
31 Oktober 2024, 06:50 WIB
Rencana pemerintahan Prabowo Subianto menggelar lagi program transmigrasi ke Papua memicu kecemasan sekaligus kemarahan di kalangan orang asli Papua.[/b[]
Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman, pada hari pertamanya bekerja membuat klaim bahwa proyek transmigrasi dapat membuat tingkat kesejahteraan orang Papua sejajar dengan warga di wilayah barat Indonesia.
Klaim ini serupa dengan yang dipaparkan pemerintahan Orde Baru.
Namun selama bertahun-tahun, klaim tersebut telah diragukan bahkan dibantah ahli ekonomi, antropolog, termasuk kelompok pendamping yang menyebut transmigrasi justru meminggirkan orang-orang asli Papua.
[b]Dewan Gereja Papua, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih, dan sejumlah anggota DPD RI asal Papua adalah sebagian kelompok yang telah menyatakan penolakan mereka terhadap program transmigrasi ini.
BBC News Indonesia merangkum kisah dan respons warga Papua di tingkat akar rumput terkait proyek transmigrasi.
BBC News Indonesia juga berbicara dengan sejumlah pakar serta mengumpulkan arsip yang merekam bagaimana program transmigrasi ke Papua telah memicu polemik sejak puluhan tahun silam.

Keterangan gambar,Potret anak-anak sekolah dasar di Desa Isano Mbias di Merauke, Papua Selatan. Desa ini merupakan salah satu penampungan transmigran era Orde Baru. Penduduk desa ini kebanyakan merupakan warga non-Papua.
Cerita transmigran
Indah datang ke Kabupaten Sorong dua dekade lalu. Ketika itu perempuan asal Surabaya, Jawa Timur, tersebut baru saja lulus sekolah menengah atas.
Keinginan Indah untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi saat itu pupus. Keluarganya tak bisa lagi menanggung biaya sekolah.
Di tengah kebimbangan, seorang saudara dekat menghubunginya. Di ujung telepon, kerabat Indah itu memintanya datang ke Sorong.
Tak berpikir lama, Indah menyambut ajakan tersebut. “Saya nekat karena mencari masa depan,” ujarnya.

Keterangan gambar,Indah, warga non-Papua yang telah tinggal di Sorong sejak awal dekade 2000-an.
Di Sorong, Indah membantu saudaranya itu menjaga sebuah kios yang menjual aneka bumbu dan bahan masakan.
Kini, di usianya yang ke-41 tahun, Indah telah memiliki kiosnya sendiri.
“Saya senang mencari nafkah di sini. Hidup saya ada perubahan,” kata Indah.
“Biar kecil, kios ini usaha yang saya punyai sendiri,” tuturnya.

Keterangan gambar,Klaim pemerintah soal pemberdayaan orang asli Papua melalui program transmigrasi diragukan berbagai kalangan. Foto tahun 2010 ini memperlihatkan warga asli Papua yang mengelola sebuah kebun di Timika.
Program transmigrasi ke Papua pertama kali dijalankan pemerintah pada 1966. Saat itu, Papua telah empat tahun berada di bawah administrasi Indonesia, usai Perjanjian New York.
Transmigrasi itu berlangsung tiga tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) kontroversial yang mengesahkan integrasi Papua ke Indonesia.
Sorong adalah salah satu daerah awal yang menjadi tujuan program transmigrasi ke Papua. Pemerintah pusat menempatkan kelompok transmigran pertama ke Sorong pada periode 1976-1977.
Kala itu, setidaknya 217 orang dari 60 keluarga yang berasal dari Jawa Timur ditempatkan di Klasaman. Distrik ini kembali menjadi tempat penampungan transmigran pada tahun berikutnya.
.

Keterangan gambar,Penduduk asli Papua dan warga non-Papua bekerja di industri tembakau milik NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di Serui, Kepulauan Yapen, sekitar tahun 1950.
Pada 1979, pemerintah membuka empat satuan permukiman transmigran baru di Aimas, yang berada di sisi selatan Klasaman. Aimas ditargetkan dapat menampung 5.000 keluarga atau belasan ribu transmigran dalam kurun empat tahun.
Petak-petak tanah yang disediakan untuk para transmigran di Aimas semula berstatus tanah ulayat, yang diwariskan secara turun-temurun sesuai ketentuan adat.
Namun pemerintah mengubah status tanah tersebut menjadi tanah milik negara, sebelum mengubahnya lagi sebagai tanah hak milik para transmigran.

Keterangan gambar,Potret sebuah perkampungan di pesisir Sorong. Daerah ini merupakan salah satu tujuan transmigrasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru.
Indah bukanlah peserta program transmigrasi yang digelar pemerintah Orde Baru ke Sorong. Dia yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain dengan biaya dan kemauannya sendiri.
Saat dia tiba di Sorong tahun 2003, daerah itu telah dihuni oleh ribuan warga non-Papua.
Kedatangan sebagian besar dari mereka ke Sorong berlangsung dalam gelombang transmigrasi berbeda—terakhir pada Program Pembangunan Lima Tahunan (Pelita VI) Orde Baru di paruh kedua dekade 1990-an.

Keterangan gambar,Anak-anak yang bersekolah di sebuah taman kanak-kanak di Serui, Kepulauan Yapen berlatar belakang asli Papua dan non-Papua. Potret sekitar tahun 1950.
Seperti Indah, Syaiful juga bukan peserta transmigrasi pemerintah. Tahun 2000 dia memutuskan merantau secara mandiri ke Sorong untuk menjadi pekerja di sektor budidaya mutiara.
Laki-laki berumur 43 tahun itu berganti-ganti mata pencaharian setelah tak lagi bekerja di perusahaan mutiara. Namun dia tetap tinggal di Sorong.
Sekarang Syaiful hidup di Aimas. Dia membuka sebuah kios pangkas rambut—sumber penghasilan bagi istri dan anaknya yang tinggal di Surabaya.
Syaiful telah menghabiskan setengah usianya di Sorong. Logat bicaranya terdengar seperti campuran antara Papua dan Jawa.
“Kalau saya bilang saya adalah orang Papua, tapi saya tidak lahir di sini. Orang nanti juga akan bilang ‘coba tunjukkan kartu identitasmu’,” ujarnya.

Keterangan gambar,Seorang petani di desa transmigran, Isano Mbias di Merauke, Papua Selatan.
Indah dan Syaiful merantau ke Sorong saat program transmigrasi pemerintah ke Papua dihentikan.
Penghentian program itu didasarkan pada UU Otonomi Khusus (Otsus) jilid pertama yang disahkan pada 2001.
Barnabas Suebu, saat menjabat Gubernur Papua, menegaskan penyetopan transmigrasi itu melalui Perda Provinsi Papua 15/2008.
Regulasi itu menyatakan, transmigrasi ke Papua dapat kembali dilakukan jika jumlah orang asli Papua telah mencapai 20 juta orang.
‘Memicu ketimpangan’

Keterangan gambar,Potret sebuah kampung yang dipersiapkan sebagai desa transmigran di Simeulue, Aceh. Sejak Orde Baru, pemerintah menyediakan rumah dan sepetak lahan bagi transmigran, termasuk yang datang ke Papua.
Selain Sorong, daerah di Papua lainnya yang menjadi tujuan transmigrasi selama Orde Baru adalah Distrik Oransbari dan Prafi di Manokwari; Grime, Nimbokrang, dan Genyem di Jayapura; Arso di Keerom, Kota Timika di Mimika; serta Nabire.
Di Merauke, 10 atau setengah dari total distrik ditetapkan menjadi lokasi transmigran oleh Soeharto melalui Keputusan Presiden 7/1978. Distrik yang paling banyak menampung transmigran, antara lain Semangga, Muting, Tanah Miring, dan Kurik.
Wilayah transmigrasi lainnya, antara lain Kampung Wimbro di Teluk Bintuni dan Distrik Yendidori di Biak Numfor.

Keterangan gambar,Seorang warga di desa transmigran Isano Mbias, Merauke, mendapatkan penghasilan dari berburu buaya dan mengubahnya menjadi produk kulit.
Di berbagai daerah transmigrasi itu, pemerintah membangun infrastruktur dasar seperti jalan, sekolah, puskesmas, dan pasar, kata Dora Balubun, pendeta dari Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua.
Berdarah Maluku, Dora lahir dan besar di Papua. Leluhurnya pindah ke Papua pada era kolonial Belanda.
“Di tempat para transmigran tinggal, seluruh fasilitas tersedia. Jalannya mulus, bagus-bagus,” ujar Dora, yang pernah menjadi koordinator Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan GKI.
“Para transmigran juga difasilitasi dengan peralatan pertanian yang sangat modern, modern pada waktu tahun 80-an,” tuturnya.
Dora berkata, di banyak daerah yang bukan lokasi transmigrasi, warga asli Papua tak mendapatkan fasilitas dasar. Pemberdayaan warga untuk mengembangkan potensi ekonomi yang menghasilkan pendapatan pun, menurut Dora jarang dilakukan pemerintah.
“Jadi bagaimana mungkin kita mau mengatakan bahwa transmigrasi itu memberi kesejahteraan bagi warga asli Papua?” ujarnya.

Keterangan gambar,Potret lanskap desa transmigran Isano Mbias di Merauke. Setiap transmigran mendapat hak dari pemerintah, berupa sepetak lahan untuk bertani dan lahan tempat tinggal.
Pada November 1986, Menteri Transmigrasi saat itu, Martono, berkata kepada sejumlah jurnalis dari media internasional bahwa proyek transmigrasi yang digelar pemerintah Orde Baru tidak akan menyasar daerah-daerah di kawasan pegunungan tengah Papua.
Merujuk indeks pembangunan manusia (IPM) yang disusun Badan Pusat Statistik, situasi yang kontras tampak pada daerah tujuan transmigrasi dan kawasan yang dihuni hampir sepenuhnya oleh penduduk asli Papua.
IPM tahun 2016, misalnya, menempatkan kabupaten dan kota yang dihuni para transmigran sebagai daerah dengan indeks tertinggi di Papua. Secara berturut-turut dari urutan pertama, daerah itu antara lain Kota Jayapura, Mimika, Biak Numfor, Kabupaten Jayapura, Merauke, dan Nabire.
Pada IPM 2023, enam daerah itu juga ada pada urutan teratas, ditambah Kota Sorong dan Manokwari.
“Di luar daerah itu, warga asli Papua tetap berkebun dengan apa yang ada pada mereka,” ujar Dora.
“Mayoritas masyarakat adat di sana masih tetap dalam kondisi sama. Mereka tidak punya kios, harus membayar ongkos kendaraan ke transmigran kalau hendak pergi menjual hasil kebun.
“Jadi secara ekonomi tidak ada perkembangan apa-apa untuk orang asing Papua,” kata Dora.

Keterangan gambar,Potret seorang perempuan asli Papua di Wamena yang tengah mengumpulkan hasil kebunnya.
Bagaimana keluhan orang asli Papua di akar rumput?
Analisis tentang ketimpangan yang dikatakan Dora dialami oleh Adrianus Sedik, 46 tahun, laki-laki asli Papua di Sorong.
Adrianus berkata, di sektor ekonomi pemerintah memang telah berupaya untuk “memberi kemudahan bagi orang asli Papua”.
Namun menurutnya, sejumlah program itu belum dapat menyokong banyak orang asli untuk mendapat penghasilan di luar aktivitas menanam dan menjual hasil kebun.
“Warga non-Papua diberikan peluang besar untuk membangun usaha, antara lain dalam bentuk akses terhadap pinjaman modal yang lebih besar,” kata Adrianus.
Pengalaman Adrianus ini pernah diungkap oleh Kamar Adat Pengusaha Papua pada 2018. Organisasi itu menyebut bank “melakukan tebang pilih” saat meminjamkan modal pada pengusaha non-Papua.
Namun Bank Pembangunan Daerah Papua membuat klaim, mereka secara khusus telah menyalurkan pinjaman modal kepada perempuan asli Papua sejak 2021.
Program Percepatan Akses Keuangan Daerah (Papeda) itu diklaim tanpa bunga dan dapat diakses tanpa jaminan. Walau begitu, program tersebut hanya mencakup 10 daerah—mayoritas kawasan yang pernah menjadi lokasi transmigrasi.

Keterangan gambar,Potret warga desa transmigran Isano Mbias, Merauke, yang mendapatkan penghasilan dari mengolah hasil ternak.
Menurut Adrianus, karena akses yang minim untuk mengembangkan bisnis, bahkan yang berskala kecil, banyak warga asli Papua yang menganggap profesi pegawai negeri sipil (PNS) sebagai satu-satu jalan memperbaiki kesejahteraan.
“Makanya ketika orang asli Papua diberi kesempatan, hampir semuanya mau menjadi PNS,” kata Adrianus.
Pada rekrutmen CPNS tahun 2024, sejumlah provinsi di Tanah Papua menetapkan kuota 80% untuk pendaftar berstatus orang asli Papua. Kebijakan ini, antara lain disusun oleh Papua Selatan dan Papua Barat Daya.
Namun harapan besar orang asli Papua untuk meningkatkan kesejahteraan melalui rekrutmen tersebut, seperti kata Adrianus, tetap memicu ketidakpuasan terhadap kuota itu.
Sekelompok warga yang berkumpul di Forum Pencari Kerja Orang Asli Papua, misalnya, berunjuk rasa di Sorong pada April lalu. Mereka mendesak pemerintah provinsi mengubah kuota CPNS untuk orang asli Papua menjadi 100%.
“Kami orang asli Papua berada dalam kondisi terjepit. Tanah adat yang sebenarnya harus dipertahankan pun akhirnya kerap terpaksa kami jual,” kata Adrianus tentang ketimpangan dan dampak lain akibat transmigrasi.

Keterangan gambar,Warga asli Papua dan warga yang berasal dari Jawa dipotret saat bekerja di sebuah perusahaan tembakau dan beras milik Netherlands Indies Civil Administration di Serui, Kepulauan Yapen, sekitar tahun 1950.
‘Orang asli Papua bisa jadi minoritas’
Gebby Mambrasar, warga asli Papua di Sorong, juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana transmigrasi. Dia berkata, jumlah warga non-Papua kini telah melampaui penduduk asli Papua—setidaknya di Sorong.
”Kami belum sejahtera, masih menderita di atas kekayaan alam kami. Terus pemerintah mau datangkan transmigran untuk apa lagi,” ujarnya.
“Coba lihat antrean di SPBU, orang asli Papua mungkin hanya satu orang, tapi pendatang ada belasan bahkan puluhan,” kata Gebby.

Keterangan gambar,Setidaknya 338 penduduk non-Papua di Wamena, Tolikara, dan Lanny Jaya diungsikan aparat saat kericuhan terkait rasisme terjadi di Papua pada Oktober 2019. Transmigrasi, menurut berbagai riset, turut memicu konflik sosial di Papua.
Perbandingan jumlah penduduk asli Papua dan non-Papua muncul dalam riset yang dilakukan akademisi University of Sydney, James Elmslie.
Merujuk hasil sensus penduduk yang dilakukan BPS pada tahun 1971 dan 2000, James menyimpulkan bahwa setiap tahun pertumbuhan penduduk asli Papua lebih rendah ketimbang penduduk non-Papua. Komparasinya, tulis James, 1,84% berbanding 10,82%.
Setidaknya pada tahun 2000, orang asli Papua telah menjadi kelompok minoritas di kota-kota besar seperti Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Biak Numfor.
Perhitungan itu dilakukan Rodd McGibbon, dalam risetnya yang diterbitkan oleh lembaga riset berbasis di Australia, Lowy Institute.
Menurut data yang dihimpunnya dari statistik BPS, 86% orang asli Papua menetap kawasan pedesaan dan pegunungan.
“Hari lepas hari, bulan lepas bulan, tahun lepas tahun, penduduk dari kelompok Nusantara sudah terlalu banyak,” kata Gebby Mambrasar.
“Jadi saya tidak setuju mereka datang dalam bentuk apapun, dengan klaim pembangunan atau apapun,” ujarnya.

Keterangan gambar,Adrianus Sedik, warga Sorong, tak sepakat dengan rencana transmigrasi ke Papua.
Transmigrasi seperti apa yang diwacanakan pemerintahan Prabowo?
Pemerintah berencana “merevitalisasi 10 kawasan transmigrasi yang sudah ada di Papua. Ini dikatakan Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman Suryanagara, dihadapan Komisi V DPR, Senin (29/10).
Dalam rapat kerja di parlemen itu, Iftitah membuat klaim bahwa program transmigrasi yang sedang digagas pemerintah tidak bertujuan memindahkan kemiskinan dari tempat lama ke tempat baru.
“Kami ingin sungguh-sungguh bekerja dengan segenap hati untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan rakyat," ujarnya.
Rencana revitalisasi kawasan transmigrasi sebelumnya telah beberapakali dipublikasi oleh pejabat tinggi di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).
Terdapat setidaknya 619 kawasan transmigrasi yang akan direvitalisasi pemerintah.
https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/c74le8wel5zo
lanjutannya di bawah
Pemerintahan Prabowo berencana hidupkan lagi transmigrasi ke Papua – Mengapa orang asli Papua cemas?

Keterangan gambar,Sekelompok warga asli Papua di Kota Sorong, Rabu (30/10), berunjuk rasa menentang rencana pemerintah pusat menggelar kembali program transmigrasi ke Papua.
Informasi artikel
Penulis,Abraham Utama
Peranan,Jurnalis BBC News Indonesia
31 Oktober 2024, 06:50 WIB
Rencana pemerintahan Prabowo Subianto menggelar lagi program transmigrasi ke Papua memicu kecemasan sekaligus kemarahan di kalangan orang asli Papua.[/b[]
Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman, pada hari pertamanya bekerja membuat klaim bahwa proyek transmigrasi dapat membuat tingkat kesejahteraan orang Papua sejajar dengan warga di wilayah barat Indonesia.
Klaim ini serupa dengan yang dipaparkan pemerintahan Orde Baru.
Namun selama bertahun-tahun, klaim tersebut telah diragukan bahkan dibantah ahli ekonomi, antropolog, termasuk kelompok pendamping yang menyebut transmigrasi justru meminggirkan orang-orang asli Papua.
[b]Dewan Gereja Papua, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih, dan sejumlah anggota DPD RI asal Papua adalah sebagian kelompok yang telah menyatakan penolakan mereka terhadap program transmigrasi ini.
BBC News Indonesia merangkum kisah dan respons warga Papua di tingkat akar rumput terkait proyek transmigrasi.
BBC News Indonesia juga berbicara dengan sejumlah pakar serta mengumpulkan arsip yang merekam bagaimana program transmigrasi ke Papua telah memicu polemik sejak puluhan tahun silam.

Keterangan gambar,Potret anak-anak sekolah dasar di Desa Isano Mbias di Merauke, Papua Selatan. Desa ini merupakan salah satu penampungan transmigran era Orde Baru. Penduduk desa ini kebanyakan merupakan warga non-Papua.
Cerita transmigran
Indah datang ke Kabupaten Sorong dua dekade lalu. Ketika itu perempuan asal Surabaya, Jawa Timur, tersebut baru saja lulus sekolah menengah atas.
Keinginan Indah untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi saat itu pupus. Keluarganya tak bisa lagi menanggung biaya sekolah.
Di tengah kebimbangan, seorang saudara dekat menghubunginya. Di ujung telepon, kerabat Indah itu memintanya datang ke Sorong.
Tak berpikir lama, Indah menyambut ajakan tersebut. “Saya nekat karena mencari masa depan,” ujarnya.

Keterangan gambar,Indah, warga non-Papua yang telah tinggal di Sorong sejak awal dekade 2000-an.
Di Sorong, Indah membantu saudaranya itu menjaga sebuah kios yang menjual aneka bumbu dan bahan masakan.
Kini, di usianya yang ke-41 tahun, Indah telah memiliki kiosnya sendiri.
“Saya senang mencari nafkah di sini. Hidup saya ada perubahan,” kata Indah.
“Biar kecil, kios ini usaha yang saya punyai sendiri,” tuturnya.

Keterangan gambar,Klaim pemerintah soal pemberdayaan orang asli Papua melalui program transmigrasi diragukan berbagai kalangan. Foto tahun 2010 ini memperlihatkan warga asli Papua yang mengelola sebuah kebun di Timika.
Program transmigrasi ke Papua pertama kali dijalankan pemerintah pada 1966. Saat itu, Papua telah empat tahun berada di bawah administrasi Indonesia, usai Perjanjian New York.
Transmigrasi itu berlangsung tiga tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) kontroversial yang mengesahkan integrasi Papua ke Indonesia.
Sorong adalah salah satu daerah awal yang menjadi tujuan program transmigrasi ke Papua. Pemerintah pusat menempatkan kelompok transmigran pertama ke Sorong pada periode 1976-1977.
Kala itu, setidaknya 217 orang dari 60 keluarga yang berasal dari Jawa Timur ditempatkan di Klasaman. Distrik ini kembali menjadi tempat penampungan transmigran pada tahun berikutnya.
.

Keterangan gambar,Penduduk asli Papua dan warga non-Papua bekerja di industri tembakau milik NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di Serui, Kepulauan Yapen, sekitar tahun 1950.
Pada 1979, pemerintah membuka empat satuan permukiman transmigran baru di Aimas, yang berada di sisi selatan Klasaman. Aimas ditargetkan dapat menampung 5.000 keluarga atau belasan ribu transmigran dalam kurun empat tahun.
Petak-petak tanah yang disediakan untuk para transmigran di Aimas semula berstatus tanah ulayat, yang diwariskan secara turun-temurun sesuai ketentuan adat.
Namun pemerintah mengubah status tanah tersebut menjadi tanah milik negara, sebelum mengubahnya lagi sebagai tanah hak milik para transmigran.

Keterangan gambar,Potret sebuah perkampungan di pesisir Sorong. Daerah ini merupakan salah satu tujuan transmigrasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru.
Indah bukanlah peserta program transmigrasi yang digelar pemerintah Orde Baru ke Sorong. Dia yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain dengan biaya dan kemauannya sendiri.
Saat dia tiba di Sorong tahun 2003, daerah itu telah dihuni oleh ribuan warga non-Papua.
Kedatangan sebagian besar dari mereka ke Sorong berlangsung dalam gelombang transmigrasi berbeda—terakhir pada Program Pembangunan Lima Tahunan (Pelita VI) Orde Baru di paruh kedua dekade 1990-an.

Keterangan gambar,Anak-anak yang bersekolah di sebuah taman kanak-kanak di Serui, Kepulauan Yapen berlatar belakang asli Papua dan non-Papua. Potret sekitar tahun 1950.
Seperti Indah, Syaiful juga bukan peserta transmigrasi pemerintah. Tahun 2000 dia memutuskan merantau secara mandiri ke Sorong untuk menjadi pekerja di sektor budidaya mutiara.
Laki-laki berumur 43 tahun itu berganti-ganti mata pencaharian setelah tak lagi bekerja di perusahaan mutiara. Namun dia tetap tinggal di Sorong.
Sekarang Syaiful hidup di Aimas. Dia membuka sebuah kios pangkas rambut—sumber penghasilan bagi istri dan anaknya yang tinggal di Surabaya.
Syaiful telah menghabiskan setengah usianya di Sorong. Logat bicaranya terdengar seperti campuran antara Papua dan Jawa.
“Kalau saya bilang saya adalah orang Papua, tapi saya tidak lahir di sini. Orang nanti juga akan bilang ‘coba tunjukkan kartu identitasmu’,” ujarnya.

Keterangan gambar,Seorang petani di desa transmigran, Isano Mbias di Merauke, Papua Selatan.
Indah dan Syaiful merantau ke Sorong saat program transmigrasi pemerintah ke Papua dihentikan.
Penghentian program itu didasarkan pada UU Otonomi Khusus (Otsus) jilid pertama yang disahkan pada 2001.
Barnabas Suebu, saat menjabat Gubernur Papua, menegaskan penyetopan transmigrasi itu melalui Perda Provinsi Papua 15/2008.
Regulasi itu menyatakan, transmigrasi ke Papua dapat kembali dilakukan jika jumlah orang asli Papua telah mencapai 20 juta orang.
‘Memicu ketimpangan’

Keterangan gambar,Potret sebuah kampung yang dipersiapkan sebagai desa transmigran di Simeulue, Aceh. Sejak Orde Baru, pemerintah menyediakan rumah dan sepetak lahan bagi transmigran, termasuk yang datang ke Papua.
Selain Sorong, daerah di Papua lainnya yang menjadi tujuan transmigrasi selama Orde Baru adalah Distrik Oransbari dan Prafi di Manokwari; Grime, Nimbokrang, dan Genyem di Jayapura; Arso di Keerom, Kota Timika di Mimika; serta Nabire.
Di Merauke, 10 atau setengah dari total distrik ditetapkan menjadi lokasi transmigran oleh Soeharto melalui Keputusan Presiden 7/1978. Distrik yang paling banyak menampung transmigran, antara lain Semangga, Muting, Tanah Miring, dan Kurik.
Wilayah transmigrasi lainnya, antara lain Kampung Wimbro di Teluk Bintuni dan Distrik Yendidori di Biak Numfor.

Keterangan gambar,Seorang warga di desa transmigran Isano Mbias, Merauke, mendapatkan penghasilan dari berburu buaya dan mengubahnya menjadi produk kulit.
Di berbagai daerah transmigrasi itu, pemerintah membangun infrastruktur dasar seperti jalan, sekolah, puskesmas, dan pasar, kata Dora Balubun, pendeta dari Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua.
Berdarah Maluku, Dora lahir dan besar di Papua. Leluhurnya pindah ke Papua pada era kolonial Belanda.
“Di tempat para transmigran tinggal, seluruh fasilitas tersedia. Jalannya mulus, bagus-bagus,” ujar Dora, yang pernah menjadi koordinator Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan GKI.
“Para transmigran juga difasilitasi dengan peralatan pertanian yang sangat modern, modern pada waktu tahun 80-an,” tuturnya.
Dora berkata, di banyak daerah yang bukan lokasi transmigrasi, warga asli Papua tak mendapatkan fasilitas dasar. Pemberdayaan warga untuk mengembangkan potensi ekonomi yang menghasilkan pendapatan pun, menurut Dora jarang dilakukan pemerintah.
“Jadi bagaimana mungkin kita mau mengatakan bahwa transmigrasi itu memberi kesejahteraan bagi warga asli Papua?” ujarnya.

Keterangan gambar,Potret lanskap desa transmigran Isano Mbias di Merauke. Setiap transmigran mendapat hak dari pemerintah, berupa sepetak lahan untuk bertani dan lahan tempat tinggal.
Pada November 1986, Menteri Transmigrasi saat itu, Martono, berkata kepada sejumlah jurnalis dari media internasional bahwa proyek transmigrasi yang digelar pemerintah Orde Baru tidak akan menyasar daerah-daerah di kawasan pegunungan tengah Papua.
Merujuk indeks pembangunan manusia (IPM) yang disusun Badan Pusat Statistik, situasi yang kontras tampak pada daerah tujuan transmigrasi dan kawasan yang dihuni hampir sepenuhnya oleh penduduk asli Papua.
IPM tahun 2016, misalnya, menempatkan kabupaten dan kota yang dihuni para transmigran sebagai daerah dengan indeks tertinggi di Papua. Secara berturut-turut dari urutan pertama, daerah itu antara lain Kota Jayapura, Mimika, Biak Numfor, Kabupaten Jayapura, Merauke, dan Nabire.
Pada IPM 2023, enam daerah itu juga ada pada urutan teratas, ditambah Kota Sorong dan Manokwari.
“Di luar daerah itu, warga asli Papua tetap berkebun dengan apa yang ada pada mereka,” ujar Dora.
“Mayoritas masyarakat adat di sana masih tetap dalam kondisi sama. Mereka tidak punya kios, harus membayar ongkos kendaraan ke transmigran kalau hendak pergi menjual hasil kebun.
“Jadi secara ekonomi tidak ada perkembangan apa-apa untuk orang asing Papua,” kata Dora.

Keterangan gambar,Potret seorang perempuan asli Papua di Wamena yang tengah mengumpulkan hasil kebunnya.
Bagaimana keluhan orang asli Papua di akar rumput?
Analisis tentang ketimpangan yang dikatakan Dora dialami oleh Adrianus Sedik, 46 tahun, laki-laki asli Papua di Sorong.
Adrianus berkata, di sektor ekonomi pemerintah memang telah berupaya untuk “memberi kemudahan bagi orang asli Papua”.
Namun menurutnya, sejumlah program itu belum dapat menyokong banyak orang asli untuk mendapat penghasilan di luar aktivitas menanam dan menjual hasil kebun.
“Warga non-Papua diberikan peluang besar untuk membangun usaha, antara lain dalam bentuk akses terhadap pinjaman modal yang lebih besar,” kata Adrianus.
Pengalaman Adrianus ini pernah diungkap oleh Kamar Adat Pengusaha Papua pada 2018. Organisasi itu menyebut bank “melakukan tebang pilih” saat meminjamkan modal pada pengusaha non-Papua.
Namun Bank Pembangunan Daerah Papua membuat klaim, mereka secara khusus telah menyalurkan pinjaman modal kepada perempuan asli Papua sejak 2021.
Program Percepatan Akses Keuangan Daerah (Papeda) itu diklaim tanpa bunga dan dapat diakses tanpa jaminan. Walau begitu, program tersebut hanya mencakup 10 daerah—mayoritas kawasan yang pernah menjadi lokasi transmigrasi.

Keterangan gambar,Potret warga desa transmigran Isano Mbias, Merauke, yang mendapatkan penghasilan dari mengolah hasil ternak.
Menurut Adrianus, karena akses yang minim untuk mengembangkan bisnis, bahkan yang berskala kecil, banyak warga asli Papua yang menganggap profesi pegawai negeri sipil (PNS) sebagai satu-satu jalan memperbaiki kesejahteraan.
“Makanya ketika orang asli Papua diberi kesempatan, hampir semuanya mau menjadi PNS,” kata Adrianus.
Pada rekrutmen CPNS tahun 2024, sejumlah provinsi di Tanah Papua menetapkan kuota 80% untuk pendaftar berstatus orang asli Papua. Kebijakan ini, antara lain disusun oleh Papua Selatan dan Papua Barat Daya.
Namun harapan besar orang asli Papua untuk meningkatkan kesejahteraan melalui rekrutmen tersebut, seperti kata Adrianus, tetap memicu ketidakpuasan terhadap kuota itu.
Sekelompok warga yang berkumpul di Forum Pencari Kerja Orang Asli Papua, misalnya, berunjuk rasa di Sorong pada April lalu. Mereka mendesak pemerintah provinsi mengubah kuota CPNS untuk orang asli Papua menjadi 100%.
“Kami orang asli Papua berada dalam kondisi terjepit. Tanah adat yang sebenarnya harus dipertahankan pun akhirnya kerap terpaksa kami jual,” kata Adrianus tentang ketimpangan dan dampak lain akibat transmigrasi.

Keterangan gambar,Warga asli Papua dan warga yang berasal dari Jawa dipotret saat bekerja di sebuah perusahaan tembakau dan beras milik Netherlands Indies Civil Administration di Serui, Kepulauan Yapen, sekitar tahun 1950.
‘Orang asli Papua bisa jadi minoritas’
Gebby Mambrasar, warga asli Papua di Sorong, juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana transmigrasi. Dia berkata, jumlah warga non-Papua kini telah melampaui penduduk asli Papua—setidaknya di Sorong.
”Kami belum sejahtera, masih menderita di atas kekayaan alam kami. Terus pemerintah mau datangkan transmigran untuk apa lagi,” ujarnya.
“Coba lihat antrean di SPBU, orang asli Papua mungkin hanya satu orang, tapi pendatang ada belasan bahkan puluhan,” kata Gebby.

Keterangan gambar,Setidaknya 338 penduduk non-Papua di Wamena, Tolikara, dan Lanny Jaya diungsikan aparat saat kericuhan terkait rasisme terjadi di Papua pada Oktober 2019. Transmigrasi, menurut berbagai riset, turut memicu konflik sosial di Papua.
Perbandingan jumlah penduduk asli Papua dan non-Papua muncul dalam riset yang dilakukan akademisi University of Sydney, James Elmslie.
Merujuk hasil sensus penduduk yang dilakukan BPS pada tahun 1971 dan 2000, James menyimpulkan bahwa setiap tahun pertumbuhan penduduk asli Papua lebih rendah ketimbang penduduk non-Papua. Komparasinya, tulis James, 1,84% berbanding 10,82%.
Setidaknya pada tahun 2000, orang asli Papua telah menjadi kelompok minoritas di kota-kota besar seperti Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Biak Numfor.
Perhitungan itu dilakukan Rodd McGibbon, dalam risetnya yang diterbitkan oleh lembaga riset berbasis di Australia, Lowy Institute.
Menurut data yang dihimpunnya dari statistik BPS, 86% orang asli Papua menetap kawasan pedesaan dan pegunungan.
“Hari lepas hari, bulan lepas bulan, tahun lepas tahun, penduduk dari kelompok Nusantara sudah terlalu banyak,” kata Gebby Mambrasar.
“Jadi saya tidak setuju mereka datang dalam bentuk apapun, dengan klaim pembangunan atau apapun,” ujarnya.

Keterangan gambar,Adrianus Sedik, warga Sorong, tak sepakat dengan rencana transmigrasi ke Papua.
Transmigrasi seperti apa yang diwacanakan pemerintahan Prabowo?
Pemerintah berencana “merevitalisasi 10 kawasan transmigrasi yang sudah ada di Papua. Ini dikatakan Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman Suryanagara, dihadapan Komisi V DPR, Senin (29/10).
Dalam rapat kerja di parlemen itu, Iftitah membuat klaim bahwa program transmigrasi yang sedang digagas pemerintah tidak bertujuan memindahkan kemiskinan dari tempat lama ke tempat baru.
“Kami ingin sungguh-sungguh bekerja dengan segenap hati untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan rakyat," ujarnya.
Rencana revitalisasi kawasan transmigrasi sebelumnya telah beberapakali dipublikasi oleh pejabat tinggi di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).
Terdapat setidaknya 619 kawasan transmigrasi yang akan direvitalisasi pemerintah.
https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/c74le8wel5zo
lanjutannya di bawah






odjay05 dan 3 lainnya memberi reputasi
2
258
17


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan