Kaskus

Story

xsopinAvatar border
TS
xsopin
Golongan Yang Selamat
Golongan Yang Selamat


بسم الله الرحمن الرحيم

Apasih makna hidup? Apasih tujuan kita diciptakan? Apasih yang ada setelah kita mati? Dan apa sebenarnya tujuan akhir dari semuanya?

Cerita ini berdasarkan kisah nyata, nama gue Ahmad. Seorang pria biasa, yang hidup sederhana, bagi sebagian orang mungkin cerita ini klise dan membosankan. Tapi, gue tetep bakal nulis untuk menjadi pelajaran hidup bagi pembaca.

---

Disclamer : Cerita ini tidak menyudutkan pihak manapun, tidak menyudutkan agama manapun, tidak berafiliasi pada organisasi keagamaan manapun, mohon bagi para dapat bijak dalam membaca cerita ini.

---

Bagian 1 : Kebodohan

Prolog


2013

Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari pelajaran yang membosankan. Siswa-siswa berhamburan keluar dari kelas, ada yang bercanda, ada yang terburu-buru pulang, dan ada yang hanya ingin menikmati sisa hari dengan santai. Gue tetap duduk di bangku, malas rasanya untuk langsung beranjak.

Di tengah keramaian, Faqih muncul. Dia berjalan santai ke arah gue dengan senyum khasnya yang seolah-olah tak pernah punya masalah. Faqih, anak yang selalu terlihat santai dan cuek. Tapi gue tahu, di balik sikap santainya, dia selalu menyimpan sesuatu di balik saku bajunya.

"Mad, ayo keluar sebentar," ajaknya sambil menepuk pundak gue. Gue mengangkat alis, sedikit penasaran. "Ngapain? Gue lagi mager," jawab gue sambil bersandar di kursi.

"Tahu nggak? Gue ada barang bagus," bisiknya sambil senyum lebar. Gue langsung tahu arah pembicaraan ini. Udah beberapa minggu terakhir, Faqih sering cerita soal barang-barang haram yang dia kenal dari teman-temannya di luar sekolah. Awalnya cuma candaan, tapi makin lama, gue merasa dia serius.

"Nggak tertarik gue sama yang begituan," jawab gue, berusaha memutuskan pembicaraan. Tapi Faqih terus membujuk. "Ah, lo jangan sok alim, Ahmad. Ini cuma buat have fun doang, nggak bakal bahaya kalau pakenya sedikit," dia menambahkan dengan nada meremehkan.

Gue terdiam sejenak, melihat wajah Faqih yang penuh keyakinan. Sulit dipercaya, temen gue yang satu ini anak dari salah satu petinggi di organisasi yang katanya memperjuangkan moral dan keimanan. Sebuah ironi yang bikin gue makin bingung dengan dunia ini. Di rumah, dia jadi contoh anak baik, tapi di luar sekolah, dia hampir nggak ada bedanya dengan anak-anak jalanan.

Gue berusaha mengingat-ingat nasihat orang tua gue, tentang bagaimana lingkungan bisa membawa kita ke jalan yang salah kalau kita nggak waspada. Tapi, di saat yang sama, gue juga tahu bahwa di balik itu semua, hidup Faqih nggak sempurna. Tekanan dari keluarganya buat jadi “anak baik” malah bikin dia memberontak.

"Yuk lah, sekali aja, buat refreshing," ajak Faqih sambil memegang pundak gue lebih erat. Gue melihat ke matanya. Ada semacam keputusasaan di sana, meski dia berusaha menutupinya dengan tawa.

"Gue udah punya beberapa batang ganja," ucapnya pelan, memastikan nggak ada yang denger. Jantung gue langsung berdebar. Narkoba. Sesuatu yang selama ini gue pikir cuma ada di film-film atau cerita horor yang selalu didengungkan di sekolah. Tapi sekarang, itu ada di depan mata, lewat seorang teman gue sendiri.

"Kita cabut bentar aja, Mad. Nggak bakal ada yang tahu, serius," Faqih menambahkan, seolah bisa membaca keraguan di wajah gue.

Gue terdiam. Rasanya kayak ada dua suara yang berperang di kepala gue. Satu bilang, "Tolak, lo tahu ini salah." Tapi yang satu lagi, bisikannya jauh lebih halus, "Sekali aja, nggak bakal ada yang berubah."

Dalam hati, gue tahu ini ujian. Ujian buat memilih jalan hidup. Tapi kadang, godaan buat mencoba hal baru, bahkan yang salah, terasa begitu kuat. Apalagi, dengan Faqih yang terus menekan dengan dalih "teman baik nggak bakal ninggalin lo."

Gue menarik napas panjang, mencoba membuat keputusan yang mungkin bakal mengubah hidup gue selamanya.

Faqih terus mendesak dengan senyum santainya. "Ayolah, Ahmad, cuma sekali aja, nggak bakal ketahuan. Hidup jangan dibawa tegang."

Gue berdiri dari kursi gue, menatap Faqih yang masih tersenyum seolah dia tahu gue akan menyerah. "Di mana?" tanya gue singkat.

Faqih tersenyum lebih lebar, seolah itu jawaban yang dia tunggu. "Di belakang sekolah, tempat biasa. Aman, nggak ada yang lihat."

Gue mengikuti langkahnya menuju bagian belakang sekolah, area yang biasa sepi, bahkan ketika jam istirahat. Sepanjang perjalanan, gue merasakan jantung gue berdetak lebih kencang, seakan gue tahu apa yang gue lakukan ini salah tapi tetap aja gue jalan. Pikiran gue penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana kalau ketahuan? Apa yang bakal gue rasain setelah itu? Apa gue bakal nyesel?

Begitu sampai, Faqih mengeluarkan sebuah bungkus kecil dari sakunya. "Ini dia," katanya sambil memamerkan sebatang ganja. "Cuma satu hisapan, Mad. Lo bakal ngerasa tenang banget."

Gue menatap batang kecil itu, tangan gue gemetar saat Faqih menyodorkannya ke gue. Selama ini, gue cuma denger soal ini dari berita atau cerita orang lain, tapi sekarang, benda itu ada di depan mata gue. Gue diam sejenak, merenung. Apa gue siap buat ngelangkah ke jalan ini? Apa yang bakal terjadi kalau gue ngelakuin ini?

Faqih menyalakan batang itu, dan seketika aroma tajam ganja menyeruak. Dia menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Wajahnya tampak santai, seolah ini hal paling biasa di dunia. "Lo harus coba, Ahmad. Nggak ada apa-apa kok."

Dengan ragu, gue mengambil batang itu dari tangannya. Seketika gue merasakan beratnya keputusan ini. Seolah-olah di setiap ujung batang itu ada masa depan gue yang terbakar perlahan. Tapi rasa ingin tahu gue begitu kuat.

Gue memejamkan mata, lalu menarik satu hisapan dalam-dalam. Asap itu masuk ke tenggorokan gue, panas, tapi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Gue batuk sedikit, nggak terbiasa. Faqih tertawa pelan. "Santai aja, lama-lama lo terbiasa."

Gue menghembuskan napas panjang, mencoba mengabaikan rasa bersalah yang mulai merayap ke hati. Sesaat, gue merasa segalanya menjadi lebih ringan, lebih tenang, seperti semua masalah gue menghilang.

Setelah satu hisapan itu, dunia di sekitar gue mulai berubah. Awalnya, semuanya terasa lebih ringan, seolah beban yang gue pikul setiap hari—masalah, stres, tuntutan hidup—semua perlahan menghilang. Tapi, semakin lama, sensasi aneh mulai muncul. Mata gue masih terbuka, tapi dunia di sekitar gue nggak lagi sama seperti sebelumnya.

Langit yang tadinya biru cerah mulai berubah warna, perlahan menjadi ungu tua dengan corak yang bergerak seperti ombak. Daun-daun pohon di sekitar kami tampak seperti berbisik, bergerak lebih cepat dari biasanya, seolah mereka punya hidup sendiri. Suara-suara dari keramaian sekolah yang sebelumnya biasa saja, mulai terdengar jauh dan terdistorsi, seperti suara yang diputar ulang dalam slow motion.

"Apa-apaan ini?" gumam gue pelan. Suara gue terdengar asing di telinga sendiri, seperti keluar dari mulut orang lain. Gue memandang ke arah Faqih, berharap menemukan pegangan atau penjelasan, tapi wajahnya pun mulai berubah. Senyumnya yang tadi santai kini tampak aneh—terdistorsi, seperti ditarik-tarik oleh tangan tak terlihat. Mata Faqih jadi lebih besar dari biasanya, bola matanya berputar, seolah tak bisa diam.

"Gila, Ahmad, lo oke kan?" Faqih tertawa pelan, tapi suaranya terdengar seperti datang dari dalam gua, jauh dan bergaung. Gue mencoba fokus, tapi rasanya seperti terjebak di dua dunia yang saling tumpang tindih—satu dunia nyata, dan satu lagi dunia halusinasi yang makin menggila.

Tubuh gue mulai terasa berat, tapi pikiran gue melayang entah ke mana. Gue merasakan perasaan kosong, seperti ada yang hilang dalam diri gue. Tangan gue gemetar, dan jantung gue berdegup semakin cepat, nyaris nggak terkendali. Napas gue tersengal-sengal, padahal gue cuma duduk diam di situ. Ruangan mulai terasa lebih kecil, seakan-akan dinding-dinding yang nggak ada di tempat terbuka itu mulai menutup gue perlahan.

Gue memejamkan mata, berharap hal ini akan berhenti, tapi justru di sanalah semua makin parah. Kegelapan di balik kelopak mata gue mulai dipenuhi dengan bayangan-bayangan yang nggak masuk akal. Wajah-wajah tanpa bentuk muncul di antara bayang-bayang, menertawakan gue, mengejek setiap langkah yang baru saja gue ambil. Gue melihat diri gue sendiri, duduk di sudut ruangan yang gelap, sendirian, tapi bukan gue yang sebenarnya—hanya bayangan samar yang terus menghilang dan muncul kembali.

Gue membuka mata dengan cepat, mencoba keluar dari perasaan itu, tapi dunia di sekitar gue nggak lagi sama. Semuanya terasa surreal. Wajah-wajah orang yang lewat di sekitar kami berubah jadi topeng-topeng kosong, tanpa ekspresi, hanya bola mata yang melirik ke gue dengan tatapan dingin.

Faqih menatap gue lagi, kali ini dengan raut yang lebih serius. "Santai, Ahmad. Ini cuma efek awal, lo bakal enak abis ini." Tapi, kata-katanya terdengar jauh, seperti suara yang tenggelam di bawah air. Gue nggak percaya sama apa yang dia bilang. Dalam hati, gue tahu ada yang salah. Sangat salah.

Pijakan di bawah gue mulai terasa seperti menghilang. Gue merasakan tubuh gue terjatuh, meski sebenarnya gue masih duduk di sana. Jatuh ke dalam kehampaan. Gue mencoba meraih sesuatu, apa saja yang bisa gue pegang untuk menghentikan perasaan ini, tapi semuanya terasa lepas, seolah-olah gue nggak punya kendali lagi atas tubuh dan pikiran gue.

"Faqih… gue nggak baik-baik aja, bro." Suara gue terdengar lemah, hampir nggak keluar dari mulut gue. "Gue mau keluar dari sini…"

Dalam sekejap, gue tahu, ini bukan sekadar halusinasi. Ini peringatan. Gue udah melangkah ke jalan yang salah, dan sekarang, gue terjebak di dalamnya. Tapi yang lebih menakutkan adalah… gue nggak tahu bagaimana cara untuk keluar.

Setelah beberapa saat terjebak dalam perasaan panik, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Perlahan, perasaan cemas dan takut itu memudar. Tubuh gue yang tadi kaku, tiba-tiba menjadi lebih ringan. Kepala gue, yang sebelumnya penuh dengan pikiran kacau, mulai terasa kosong, tapi dengan cara yang anehnya menenangkan. Gue masih bisa mendengar suara-suara dari sekitar, tapi mereka terdengar jauh, seolah-olah gue mendengarkan semuanya dari ujung terowongan yang panjang.

Gue menatap Faqih, yang masih duduk di sebelah gue sambil menikmati batang ganja di tangannya. Gue nggak bisa mengerti bagaimana, tapi wajahnya yang tadi tampak menyeramkan kini berubah menjadi sesuatu yang lebih akrab dan menenangkan. Rasanya seperti melihat teman lama yang selama ini selalu ada di sisi lo, tapi lo nggak pernah benar-benar menyadari keberadaannya.

"Nah, kan gue bilang lo bakal enak," kata Faqih sambil tertawa pelan. Kali ini tawanya nggak terdengar aneh lagi. Bahkan, gue merasakan kehangatan yang muncul dari tawa itu, seperti semuanya jadi lebih baik sekarang. Gue nggak tahu kenapa, tapi perlahan gue mulai merasa bahwa mungkin, apa yang gue lakukan ini nggak seburuk yang gue pikirkan sebelumnya.

Perlahan gue merebahkan badan di tanah berumput di belakang sekolah, menatap langit yang kembali cerah. Warna-warna ungu aneh yang tadi gue lihat sudah menghilang, digantikan dengan birunya langit yang bersih. Awan-awan bergerak lambat di atas kepala gue, dan gue merasakan kedamaian yang nggak pernah gue rasakan sebelumnya. Seakan-akan semua masalah dan beban yang selama ini menghantui hidup gue hilang begitu saja.

Gue memejamkan mata, menikmati hembusan angin yang menyentuh wajah gue. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue nggak merasa terjebak. Gue nggak merasa harus berjuang untuk mengejar apa yang orang lain harapkan dari gue. Semua kekhawatiran tentang masa depan, tentang siapa gue sebenarnya, hilang begitu saja.

"Apa lo pernah mikir," kata gue tanpa membuka mata, "kalo hidup kita ini terlalu ribet? Semua orang ngomong soal masa depan, karir, sukses... Tapi apa itu semua penting?"

Faqih diam sejenak, seolah memikirkan pertanyaan gue. "Yah, gue nggak tahu, bro. Yang penting, kita hidup buat happy aja dulu, kan?" jawabnya akhirnya.

Gue mengangguk pelan. Kata-katanya yang biasanya terasa dangkal, kali ini masuk akal bagi gue. Kenapa kita selalu merasa harus memikirkan hal besar dalam hidup, sementara mungkin yang sebenarnya kita butuhkan hanyalah momen-momen sederhana kayak gini—rebahan di bawah langit, ngobrol sama teman, tanpa khawatir tentang apa yang terjadi besok.

Angin kembali berhembus, membawa aroma segar rumput dan tanah basah. Gue merasa benar-benar rileks. Tubuh gue seolah-olah melebur dengan bumi di bawah gue, dan gue bisa merasakan setiap helai rumput yang menyentuh kulit gue. Gue nggak merasa perlu lari dari kenyataan lagi. Justru, gue merasa nyaman di dalamnya.

Dalam momen itu, gue menyadari satu hal: mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue merasa bebas. Bebas dari tekanan, bebas dari ekspektasi, dan bebas dari semua hal yang selama ini mengikat gue.

Tapi di balik rasa rileks dan santai itu, ada bisikan halus di dalam hati gue. Sesuatu yang gue coba abaikan, tapi tetap muncul di ujung kesadaran. "Ini cuma sementara, Ahmad," bisik suara itu. "Kenyataan akan kembali, dan lo nggak akan bisa lari selamanya."

Gue menepis pikiran itu, memilih untuk menikmati ketenangan ini sedikit lebih lama. Toh, buat apa khawatir sekarang?
Diubah oleh xsopin 31-10-2024 15:11
warindreamAvatar border
pulaukapokAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 9 lainnya memberi reputasi
10
733
38
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan