Kaskus

News

ebenezer10Avatar border
TS
ebenezer10
Mengapa Pemerintah Setega Itu kepada Kelas Menengah?




Terlihat segerombolan orang berlari-lari menaiki tangga. Mereka masuk, berdesak-desakan antarsesama lainnya. Di dalamnya penuh sesak. Aroma keringat tercium begitu menyengat. Sembari berdiri, lelah dan kantuk terlihat jelas di wajah mereka. Mereka yang kebagian tempat duduk, ada yang sudah tertidur pulas. 

Meski begitu, tangan mereka tetap awas menggenggam erat tas dan barang bawaannya. Kepala mereka bersandar di kaca, sebagian dari mereka mulutnya terlihat menganga, ada pula yang kepalanya menunduk. 

Jelas, mereka begitu lelah.


Gambaran atas sebuah situasi sosial yang selalu terlihat setiap kali saya menaiki commuter line di Jakarta. Mayoritas mereka adalah kelas menengah yang hidupnya sangat bergantung dengan fasilitas publik, yang sumbernya tentu dari pendapatan mereka yang dipotong oleh pajak. 

Mulai dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak mobil dan kendaraan bermotor, serta pajak bumi dan bangunan. Itu adalah sedikit restribusi yang mereka relakan dengan harapan bisa mendapatkan kemudahan terhadap akses-akses kebutuhan dasar, misalnya transportasi publik.

Belakangan, kita tahu, mulai tahun depan pajak pertambahan nilai dinaikkan menjadi 12% dalam setiap pengeluaran yang dilakukan oleh kelas menengah. Selain pajak, kelas menengah juga menanggung berbagai iuran sosial. Misalnya iuran jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan keselamatan kerja, kemudian Tapera, adalah sederet kewajiban kelas menengah yang dalam realisasinya, harus dipotong dari pendapatan tiap bulan yang mereka peroleh.

Tentu semua iuran itu mereka keluarkan dengan harapan mendapatkan pengaman sosial yang memadai dari negara. Tapi, harapan itu nyatanya tak pernah diwujudkan dengan optimal oleh pemerintah. Kelas menengah seperti diminta mengalah di saat para taipan kelas atas mendapat insentif pajak seperti family office.


Jumlah yang Sangat Tinggi

Indonesia, dengan lebih dari 250 juta penduduk, memiliki komposisi kelas menengah yang sangat tinggi. Jika diakumulasikan, persentase kelas menengah dan kelas menengah rentan per Februari 2024 menurut data BPS mencapai 66,35% atau 178.35 juta penduduk. Jumlah itu mengalami kenaikan yang signifikan selama lima tahun terakhir karena ketidakpastian ekonomi, ditandai dengan lesunya sektor manufaktur melalui fenomena PHK yang besar-besaran.


Jumlahnya yang sangat tinggi ditambah dengan basis perekonomian Indonesia yang berorientasi pada konsumsi rumah tangga membuat kelas menengah jadi penopang bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ironisnya, pendapatan kelas menengah di Indonesia terbilang rendah. Interval pendapatan yang masuk kategori kelas menengah adalah yang berpendapat Rp 1,2 juta - Rp 6 juta. Sementara kelas menengah rentan di kisaran Rp 532 ribu – Rp 1,2 juta.

Dengan gaji segitu, mereka harus menanggung pengeluaran yang tinggi tiap bulannya. Data Mandiri Spending Index (MSI) mengemukakan bahwa pengeluaran untuk groceries (bahan makanan) kelas menengah telah meningkat dari sebelumnya 13,9% menjadi 27,4% dari total pengeluaran. Perhatikan, hampir 30% gaji mereka hanya untuk makanan. Porsi itu belum dihitung dengan kebutuhan non pangan.

Selain itu, yang tidak kalah penting, mereka adalah kelas ekonomi yang mempunyai tanggungan kredit yang cukup tinggi, baik dengan perbankan, leasing, maupun lembaga keuangan lainnya. Hal itu karena perilaku mereka yang berorientasi pada prinsip time preference of consumption yang mendorong mereka mengambil kredit untuk komoditas penting karena harganya yang tidak dapat dijangkau oleh gaji mereka.


Semua itu kemudian harus ditambah dengan berbagai iuran dan retribusi yang menggunung. Nestapanya, mereka adalah kelas ekonomi yang tidak dijangkau oleh program sosial seperti halnya bantuan Keluarga Harapan atau Bantuan Langsung Tunai. Mereka dipaksa membayar berbagai komoditas sosial seperti BBM dan listrik non subsidi.

Wajar apabila sepanjang 2024, BPS mencatat bahwa perekonomian dalam negeri mengalami deflasi --penurunan harga barang-- yang cukup parah. Hal itu karena kelas menengah mencoba mengencangkan ikat pinggang dan mulai selektif dalam membeli barang. Mereka menahan uang mereka untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi sekaligus ketidakpastian politik yang tercermin dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak punya daya dukung sosial bagi mereka. Imbasnya, barang-barang yang dijual oleh pedagang jadi tidak laku dan harganya pun menurun drastis.


Masih Terus Usil

Di tengah kondisi yang terhimpit, pemerintah justru masih terus usil dan tega dengan mengeluarkan rencana pemotongan gaji bagi karyawan untuk kebutuhan dana pensiun tambahan. Program ini tentu menuai reaksi penolakan dari masyarakat, utamanya kelas menengah. Program ini dihadirkan dengan dalih sebagai pengaman sosial bagi pekerja di masa depan. Kebijakan ini tentu memiliki cacat nalar dan empati karena seolah menutup mata dengan kondisi ekonomi saat ini.

Daya beli yang menurun sudah seharusnya diatasi dengan kebijakan yang berorientasi pada penguatan daya beli masyarakat, misalnya dengan peningkatan insentif atau pendapatan. Bukan dengan memalak kembali kelas menengah yang membuat porsi pendapatan mereka makin berkurang. Praktik ini justru membuat daya beli makin menurun sehingga memperlambat perekonomian di dalam negeri.


Terlebih, tentu kita tidak lupa bagaimana buruknya campur tangan pemerintah dalam pengelolaan dana dari masyarakat. Sebut saja soal Asabri, Jiwasraya, dan Taspen yang semua kasusnya menguap hanya menyisakan para nasabahnya yang hanya jadi residu-residu yang tidak dianggap. Bahkan, pengelolaan dana haji pun disorot terkait transparansi pemanfaatannya.

Track record yang sedemikian tidak profesionalnya membuat banyak ahli dan praktisi curiga dengan pemerintah. Mereka seolah begitu gagap dan tergesa-gesa mengusulkan kebijakan tanpa menelisik secara komprehensif implikasinya secara multidimensional. Mengapa harus terburu-buru? Kenapa tidak menunggu situasi ekonomi membaik terlebih dahulu? Apa yang sedang dikejar? Atau, pertanyaan yang lebih relevan, kenapa pemerintah setega itu dengan kelas menengah?

Pemerintah, dengan model komunikasi publik pejabatnya yang acap bikin pusing, tentu punya seribu alasan untuk membenarkan kebijakan aneh yang dikeluarkan.

 Sebagai masyarakat, apalagi kelas menengah, pada akhirnya saya dan kalian kembali ditekan. Ditekan sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi sekaligus mungkin sebagai sumber dana segar yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk proyek populis yang menelan anggaran yang tentu tidak sedikit.

Mungkin memang begini nasib kelas menengah. Menjalani hidup dengan berpanas-panasan dan bermacetan di jalan, berdesak-desakan di dalam kereta, serta selalu overthinking soal biaya hidup di masa depan. Semua itu harus dilalui dengan gaji pas-pasan yang diterima setelah dipotong dengan pajak dan retribusi yang manfaatnya tidak jelas dirasakan kapan.





detik.com)
gmc.yukonAvatar border
marooniaAvatar border
ariel1910Avatar border
ariel1910 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
729
45
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan