Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #98 : Pahlawan
Short Story #98 : Pahlawan

Ini adalah kisah tentang seorang pahlawan.

Pahlawan. Setidaknya begitulah mereka menulis namanya di koran.

Dulu di suatu hari, ayahku tak sengaja melihat seorang nenek dan cucunya hendak menyebrang jalan. Mereka tidak menyebrang saat lampu merah, jadi tak heran jika ada mobil ngebut yang tak sempat mengerem saat melihat mereka melintas. Akhirnya Ayah dengan heroik berlari dan mendorong mereka keluar dari jangkauan tabrak.

Nenek dan cucunya selamat, tapi Ayah harus masuk rumah sakit dan mendapati kedua kakinya diamputasi. Kisah heroik itu pun diliput oleh banyak media. Ayah menjadi terkenal dan mendapat banyak undangan dari TV dan orang-orang penting, tapi semua itu tak berlangsung lama. Dalam satu bulan, semua sudah kembali seperti semula.

Namun, kedua kaki Ayah tak pernah kembali.
Meski rekan kerja dan bosnya mengapresiasi tindakan Ayah, tapi Ayah tak mungkin bisa bekerja sebagai sales dengan kedua kaki seperti itu. Akhirnya, dia pun diberhentikan dengan pesangon yang lumayan.

Meski sempat terkenal, tapi tetap saja dunia kerja tak begitu ramah kepada orang yang harus mengendarai kursi roda. Sadar bahwa dia tak bisa mendapat pekerjaan dengan keadaannya, Ayah menggunakan uang pesangonnya untuk membuka toko. Dia menyewa tempat dan mempekerjakan beberapa pegawai.

Mungkin Ayah mengira pengalamannya sebagai sales akan membantunya menjadi wirausaha, tapi ternyata toko itu tidak sesukses yang diharapkan. Ditambah lagi salah seorang pegawainya membawa kabur uang penjualan. Akhirnya toko itu pun ditutup kurang dari setahun sejak dibuka.

Dengan istri dan tiga orang anak yang masih sekolah, keadaan keluarga kami jadi amat berantakan. Ibu terpaksa mencari kerja sementara Ayah yang tak punya pekerjaan cuma bisa diam di rumah. Bahkan di rumah pun Ayah tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Ayah si Pahlawan … benar-benar tidak berguna.

Aku pun melihat Ibu mengurus semua pekerjaan rumah sembari bekerja setiap hari. Kami mencoba membantu, tapi namanya juga anak kecil, menjemur baju saja harus pijak kursi. Dibanding membantu, kami lebih banyak menambah masalah.

Kukira yang namanya penderitaan tak bisa lebih kejam lagi, tapi ternyata Ayah si Pahlawan memutuskan tak ada lagi gunanya hidup di dunia ini. Mungkin dia tak tahan menjadi beban bagi istri dan anak-anaknya, makanya dia memilih mengambil pisau dan mengiris pergelangan tangannya sendiri.

Saat mengingat kembali semua itu, aku penasaran apa sebenarnya yang ada di benak ayahku. Mungkin, dia menyesal sudah menjadi pahlawan.

***


Dua puluh tahun berlalu sejak kematian Ayah. Aku sekarang bekerja sebagai wartawan untuk koran lokal provinsi. Kebetulan, hari ini ada berita tentang seseorang yang menyelamatkan pasangan suami istri dari kecelakaan kereta sampai harus mengorbankan tangannya.

“Kita taruh fotonya yang besar di halaman utama!” seru bosku saat menjelaskan pekerjaan padaku. “Dia di tengah, dua korban di sebelahnya. Judulnya … “Pahlawan di Tengah Kita!”

Aku berhenti menulis saat mendengar kata pahlawan. Kugelengkan kepala dan kutelan semua yang ingin kuucapkan. Kalau tidak pekerjaanku yang akan jadi berita utama di kantor ini besok pagi.

Membunuh emosi adalah salah satu syarat untuk jadi wartawan. Kau harus mengikuti apa kata bos meski itu tidak bermoral, atau menutup-nutupi fakta untuk memancing reaksi lebih banyak pembaca. Bahkan meski suatu berita membangkitkan rasa trauma, seorang wartawan cuma boleh menulis apa yang diperintahkan padanya.

Sesi wawancara itu berlangsung lebih cepat dari dugaanku. Kedua korban tak bisa berlama-lama karena pekerjaan jadi mereka pergi setelah sesi foto. Aku yang masih harus bertanya ini-itu ditinggal berdua dengan penyelamat mereka.

Setelah kulihat lagi, keadaannya bahkan jauh lebih mengenaskan dari yang kukira. Tangan hingga lengan dominannya sudah tak ada. Katanya dia bekerja sebagai supir truk. Akan bagaimana hidupnya setelah ini?

“Mas? Mas wartawan?”

Lambaian tangannya di depan wajahku membuyarkan lamunanku. Mungkin karena belum terbiasa menggunakan lengan kirinya, lambaiannya terlihat seperti gerakan orang mengelap jendela.

“Iya?”

“Mas nggak apa-apa? kok bengong?”

Dia tak terlihat lebih tua dariku, belum berkeluarga, mungkin itu alasannya dia masih bisa tersenyum.

“Umm, Mas, kalau boleh tahu rencana ke depannya apa ya?”

Aku tak bisa menghentikan diriku untuk bertanya. Kututup buku catatan karena ini tidak akan mungkin lulus sensor halaman utama. Pembaca tak suka pertanyaan yang tidak menyenangkan.

“Rencana? Umm ….”

Dia menatap tempat di mana tangannya dulu berada. Sudah kuduga, dia tak tahu harus apa. Tatapannya saat menyadari masa depan itu benar-benar mengingatkanku dengan ayahku dulu. Tatapan bingung sekaligus takut.

“Mungkin mau buka usaha,” jawabnya setelah ragu-ragu.

“Punya modal?”

“Ugghh ….”

“Punya pengalaman? Partner? Kalau nggak hati-hati bisa ketipu lo.”

Aku tahu aku tak seharusnya memojokkannya, tapi emosi itu terus meluap-luap dalam diriku. Pahlawan apanya? Dia … mereka adalah korban yang sebenarnya.

“Harusnya sih Mas nggak perlu nolong mereka,” bisikku pelan. “Mereka bahkan nggak bersyukur. Cuma ngasih uang terus pergi. Tapi Mas harus hidup begini selamanya. Mas bakal menganggur, jadi beban keluarga, terus ….”

Aku tak melanjutkan ucapanku. Bahkan cuma begitu saja dia tampak ingin menangis. Dengan tangannya yang kini cuma sebelah dia mengusap kedua matanya lalu memaksakan diri untuk tersenyum.

“Dulu waktu aku kecil, nenekku ngajak aku nyebrang jalan. Aku nurut aja, tapi rupanya ada mobil ngebut. Kami pasti mati kalau nggak ditolong waktu itu. Aku nggak tahu siapa yang nolong kami, tapi nggak mungkin aku ngabaikan orang yang butuh setelah ditolong begitu. Kalau kita aja nggak mau nolong orang, siapa yang bakal nolong kita?”

Mulutku terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Kutatap wajahnya dalam-dalam sementara pikiranku merajut liar ke masa lalu. Tanpa sadar, tetes demi tetes air membasahi kasur rumah sakit. Tanpa sadar, aku menangis. Bagaimana bisa seorang pria dewasa menangis? Ini sungguh memalukan.

“Mas? Mas Wartawan? Ada yang salah, Mas?”

“Nggak kok. Nggak ada. Semua … pasti baik-baik aja.”

Aku tak akan bilang tentang ayahku. Dia tak perlu tahu. Aku senang bahwa tindakan Ayah masih membawa perubahan pada dunia hingga sekarang. Meski demikian, itu tak mengubah fakta yang telah dan akan terjadi. Terkadang kemalangan pun bisa datang dari tindakan mulia.

“Jadi, Mas nggak nyesal nolong mereka?” tanyaku perlahan-lahan.

“Nggak sedikit pun,” jawabnya tanpa ragu.
Kira-kira, apakah Ayah akan mengatakan hal yang sama jika kutanya? Jika dia tidak menyesal lalu mengapa dia bunuh diri? Dia sudah menolong orang, dan orang ini menolong orang lain. Tapi … siapa yang menolong Ayah di akhir hidupnya? Siapa?

“Kalau begitu, saya permisi dulu Mas,” ucapku padanya dan bangkit dari dudukku. Kubuka lagi buku catatanku dan menulis sesuatu di sana sebelum merobek halaman itu.

“Ini nomor saya. Kalau butuh apa pun, telpon aja. Lowongan kerja, uang, atau apa pun, telpon aja. Saya pasti bantu.”

Aku bukan pahlawan. Aku tak yakin aku bisa merelakan tangan atau kakiku untuk menolong orang lain. Tapi setidaknya aku bisa meringankan penderitaannya. Bahkan pahlawan pun selalu mendapat dukungan dari orang lain. Meski tak bisa menjadi pahlawan, aku masih bisa menjadi orang lain itu.

Keesokan harinya, berita itu pun terbit. Kata PAHLAWAN tercetak jelas dengan huruf besar. Di tengah-tengah kita memang selalu ada pahlawan dan mereka berhak mendapat yang terbaik. Entah apa yang akan terjadi di masa depan, tapi pahlawan baru akan terus muncul.

Dan pahlawan-pahlawan itu akan menyelamatkan calon-calon pahlawan lain.

***TAMAT***
namakuveAvatar border
viensiAvatar border
bonek.kamarAvatar border
bonek.kamar dan 14 lainnya memberi reputasi
15
372
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan