- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Aku Juga Pengen Hamil Dan Punya Anak, Bu!


TS
devankafla
Aku Juga Pengen Hamil Dan Punya Anak, Bu!
"Sudah isi belum, Nis?"
"Kok belum isi sih? Itu ... anak Pak RT yang baru kemarin nikah saja udah isi lho?"
"Bisa gak sih buat anaknya?"
"Pengen punya anak gak sih kalian itu?"
"Periksa ke dokter sana, jangan-jangan kamu mandul lagi?"
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mengenai momongan yang dilemparkan kepadaku. Sakit? Tentu! Siapa yang tidak sakit hati jika menerima perlakuan seperti itu?
Bukan hanya dari mulut para tetangga saja, bahkan yang lebih menyakitkan lagi, keluarga suamiku sendiri yang berbicara seperti itu. Bukankah seharusnya mereka menyemangatiku? Tapi ini? Tidak!
Mereka seolah senang menghina keadaanku, seakan ada bahan gunjingan kalau mereka sedang berkumpul. Kondisi seperti itu membuatku semakin stress.
***
Perkenalkan … namaku Annisa Rahmawati, orang memanggilku Nisa. Ini adalah tahun keduaku menjalani rumah tangga dengan Mas Agung—suamiku. Walaupun umur kami terpaut jauh yaitu lima belas tahun, tapi pernikahan kami bisa dibilang bahagia.
Di awal pernikahan, aku merasa pertanyaan semacam itu hanyalah angin lalu. Bagaimana tidak, saat itu bisa dibilang usia pernikahan kami yang masih terbilang baru, dan kami sedang giat-giatnya merintis usaha baru.
Usia yang terpaut jauh, tidaklah menjadi penghalang bagi kami untuk hidup dan bekerja bersama. Kala itu, kami memutuskan untuk membuka usaha fotokopi dan alat tulis, karena kebetulan rumah mertua dekat dengan sekolah dan satu kampus.
Pertengkaran dan perdebatan kecil di awal pernikahan menjadi hal wajar bagi kami. Karena, di masa-masa itu memang kami sedang mengenal satu sama lain. Perkenalan sebelum menikah yang singkat menjadi alasannya.
Ya … Aku dan Mas Agung dekat sekitar sepuluh bulan lamanya, dan di bulan kesebelas, kami sepakat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Alhamdulillah, walaupun sempat ada keraguan dari keluarga besar, tetapi pada akhirnya mereka semua setuju kami menikah.
***
Sepekan setelah acara pernikahan di rumah orangtuaku, aku diboyong Mas Agung ke rumah orangtuanya. Di sana tidak ada acara mewah, hanya pengajian dengan mengundang beberapa perwakilan warga kampung.
Tiga bulan setelah menikah kami tidak ada pekerjaan apapun, karena memang untuk mendapatkan mesin fotokopi yang bagus kala itu agak sulit. Tepat di bulan keempat, segala hal yang berkaitan dengan usaha kami beres. Akhirnya di bulan itu juga kami resmi membukanya.
Alhamdulillah … biarpun bisa dibilang baru, jasa fotokopi kami sudah banyak pelanggannya. Bulan berganti bulan dan tahun pertama kami lewati dengan mudah. Hingga akhirnya datang sebuah masalah.
Saat usaha kami mulai ramai, mertua menganggap kami sudah banyak uang. Jadi, setiap apapun keperluan mertua, entah itu mendesak atau tidak pasti selalu suamiku yang harus mengeluarkan uang. Bukannya aku melarang itu, karena memang kewajiban anak laki-laki ke orang tua terlebih ibu tetap wajib hukumnya walaupun sudah menikah. Tetapi kalau intensitas memintanya sudah tidak wajar, apa aku sebagai istri tidak boleh protes?
"Mas … tadi Ibu minta uang lagi! aduku pada Mas Agung.
"Ibu minta berapa, Dek?" jawab Mas Agung sambil merapikan tumpukan kertas fotokopian.
"Dua ratus ribu, Mas. Katanya buat belanja sama mau ke tempat teman Ibu yang ada di pasar. Padahal aku tiap hari belanja lho, Mas. Masa sih masih kurang juga?" protesku, karena merasa uang segitu termasuk besar.
"Gak apa-apa, Dek, mungkin memang Ibu lagi butuh." Mas Agung melirikku sambil tersenyum.
Kuhela panjang nafas ini, "Kan kemarinnya juga sudah minta tiga ratus ribu, Mas! Gimana kita bisa nabung kalau begini terus? Kalau gak dikasih nanti aku yang dikira pelit dan menguasai uangmu, Mas!" Kucoba menahan sesak di dada. Karena semenjak menikah, aku sudah jarang memberikan uang kepada orang tuaku, mungkin bisa dihitung dengan jari.
"Sabar, Sayang! Insyaa Allah akan diganti yang berlipat. Aamiin." ucap Mas Agung seraya mengusap muka dengan kedua tangannya.
Seperti itulah hari-hari kulalui. Satu sisi pusing memikirkan nasib usaha kami kalau Ibu terus menerus begitu, dan di sisi lain pusing memikirkan nasib orang tuaku di kampung yang masih harus membiayai adikku sekolah.
Orang tuaku sebenarnya tidak mewajibkan aku untuk memberi mereka uang. Setiap kali aku memberi mereka uang, mereka selalu berkata,
"Ditabung saja uangnya, Bapak sama Ibu masih kuat cari uang sendiri."
Sebagai seorang anak yang sudah dibesarkan dan di sekolah sampai tinggi, mendengarkan penuturan seperti itu tak jarang membuatku meneteskan air mata.
Cerita selengkapnya ada di KBM App.
Judul : Pesona Janda Muda
Penulis : flam_boyan
Link : https://read.kbm.id/book/detail/4011...f-58e150898de9
"Kok belum isi sih? Itu ... anak Pak RT yang baru kemarin nikah saja udah isi lho?"
"Bisa gak sih buat anaknya?"
"Pengen punya anak gak sih kalian itu?"
"Periksa ke dokter sana, jangan-jangan kamu mandul lagi?"
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mengenai momongan yang dilemparkan kepadaku. Sakit? Tentu! Siapa yang tidak sakit hati jika menerima perlakuan seperti itu?
Bukan hanya dari mulut para tetangga saja, bahkan yang lebih menyakitkan lagi, keluarga suamiku sendiri yang berbicara seperti itu. Bukankah seharusnya mereka menyemangatiku? Tapi ini? Tidak!
Mereka seolah senang menghina keadaanku, seakan ada bahan gunjingan kalau mereka sedang berkumpul. Kondisi seperti itu membuatku semakin stress.
***
Perkenalkan … namaku Annisa Rahmawati, orang memanggilku Nisa. Ini adalah tahun keduaku menjalani rumah tangga dengan Mas Agung—suamiku. Walaupun umur kami terpaut jauh yaitu lima belas tahun, tapi pernikahan kami bisa dibilang bahagia.
Di awal pernikahan, aku merasa pertanyaan semacam itu hanyalah angin lalu. Bagaimana tidak, saat itu bisa dibilang usia pernikahan kami yang masih terbilang baru, dan kami sedang giat-giatnya merintis usaha baru.
Usia yang terpaut jauh, tidaklah menjadi penghalang bagi kami untuk hidup dan bekerja bersama. Kala itu, kami memutuskan untuk membuka usaha fotokopi dan alat tulis, karena kebetulan rumah mertua dekat dengan sekolah dan satu kampus.
Pertengkaran dan perdebatan kecil di awal pernikahan menjadi hal wajar bagi kami. Karena, di masa-masa itu memang kami sedang mengenal satu sama lain. Perkenalan sebelum menikah yang singkat menjadi alasannya.
Ya … Aku dan Mas Agung dekat sekitar sepuluh bulan lamanya, dan di bulan kesebelas, kami sepakat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Alhamdulillah, walaupun sempat ada keraguan dari keluarga besar, tetapi pada akhirnya mereka semua setuju kami menikah.
***
Sepekan setelah acara pernikahan di rumah orangtuaku, aku diboyong Mas Agung ke rumah orangtuanya. Di sana tidak ada acara mewah, hanya pengajian dengan mengundang beberapa perwakilan warga kampung.
Tiga bulan setelah menikah kami tidak ada pekerjaan apapun, karena memang untuk mendapatkan mesin fotokopi yang bagus kala itu agak sulit. Tepat di bulan keempat, segala hal yang berkaitan dengan usaha kami beres. Akhirnya di bulan itu juga kami resmi membukanya.
Alhamdulillah … biarpun bisa dibilang baru, jasa fotokopi kami sudah banyak pelanggannya. Bulan berganti bulan dan tahun pertama kami lewati dengan mudah. Hingga akhirnya datang sebuah masalah.
Saat usaha kami mulai ramai, mertua menganggap kami sudah banyak uang. Jadi, setiap apapun keperluan mertua, entah itu mendesak atau tidak pasti selalu suamiku yang harus mengeluarkan uang. Bukannya aku melarang itu, karena memang kewajiban anak laki-laki ke orang tua terlebih ibu tetap wajib hukumnya walaupun sudah menikah. Tetapi kalau intensitas memintanya sudah tidak wajar, apa aku sebagai istri tidak boleh protes?
"Mas … tadi Ibu minta uang lagi! aduku pada Mas Agung.
"Ibu minta berapa, Dek?" jawab Mas Agung sambil merapikan tumpukan kertas fotokopian.
"Dua ratus ribu, Mas. Katanya buat belanja sama mau ke tempat teman Ibu yang ada di pasar. Padahal aku tiap hari belanja lho, Mas. Masa sih masih kurang juga?" protesku, karena merasa uang segitu termasuk besar.
"Gak apa-apa, Dek, mungkin memang Ibu lagi butuh." Mas Agung melirikku sambil tersenyum.
Kuhela panjang nafas ini, "Kan kemarinnya juga sudah minta tiga ratus ribu, Mas! Gimana kita bisa nabung kalau begini terus? Kalau gak dikasih nanti aku yang dikira pelit dan menguasai uangmu, Mas!" Kucoba menahan sesak di dada. Karena semenjak menikah, aku sudah jarang memberikan uang kepada orang tuaku, mungkin bisa dihitung dengan jari.
"Sabar, Sayang! Insyaa Allah akan diganti yang berlipat. Aamiin." ucap Mas Agung seraya mengusap muka dengan kedua tangannya.
Seperti itulah hari-hari kulalui. Satu sisi pusing memikirkan nasib usaha kami kalau Ibu terus menerus begitu, dan di sisi lain pusing memikirkan nasib orang tuaku di kampung yang masih harus membiayai adikku sekolah.
Orang tuaku sebenarnya tidak mewajibkan aku untuk memberi mereka uang. Setiap kali aku memberi mereka uang, mereka selalu berkata,
"Ditabung saja uangnya, Bapak sama Ibu masih kuat cari uang sendiri."
Sebagai seorang anak yang sudah dibesarkan dan di sekolah sampai tinggi, mendengarkan penuturan seperti itu tak jarang membuatku meneteskan air mata.
Cerita selengkapnya ada di KBM App.
Judul : Pesona Janda Muda
Penulis : flam_boyan
Link : https://read.kbm.id/book/detail/4011...f-58e150898de9
action
adult
chick-lit
comedy
fan-fiction
fiction
horror
mystery
poetry
romance
science-fiction
spiritual
supernatural
true-story






bukhorigan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
272
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan