- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Short Story #95 : Rokok Itu Menghidupimu


TS
ih.sul
Short Story #95 : Rokok Itu Menghidupimu

“Beliii!!!”
“Beli apa?”
“Beli rokok.”
“Rokok apa?”
“Rokok Smaparna.”
“Beli berapa?”
“Satu batang aja.”
“Oke, dua ribu lima ratus.”
“Hutang dulu, Bang!”
Dan demikianlah aku sudah menyia-nyiakan sepuluh detik dalam hidupku. Apa sih susahnya bilang, “Hutang Smaparna sebatang!”? Kenapa repot-repot membuang waktu, tenaga, dan emosi untuk basa-basi macam itu?
Namun kutelan semua uneg-uneg itu dan menyerahkan sebatang rokok ke Parjo. Dia memang suka berhutang, tapi dia selalu bayar semua hutangnya saat gajian.
“Belum gajian Jo?” tanyaku.
“Harusnya hari ini sih. Siang atau sore, mungkin.”
Kulihat dia menyalakan rokoknya dan menghisap sebanyak mungkin napas sampai paru-parunya penuh sebelum menghembuskan gumpalan asap besar yang akan bertahan cukup lama di dalam toko.
“Makin hari rokok makin mahal aja,” ucapnya dengan nada yang lebih rileks setelah nikotin memasuki peredaran darahnya.
“Udah mahal, pajaknya naik, ngapain sih pemerintah bikin susah masyarakat mulu?”
“Ya buat uang lah,” jawabku simpel. “Toh walaupun harganya makin mahal kau tetap beli kan?”
Parjo memasang raut wajah tak senang, tapi besok dia akan kembali dan hutang sebungkus rokok lagi. itu sudah jadi kebiasaan. Dia dan juga puluhan orang lain.
“Ngomong-ngomong, anakmu apa kabar?” tanya Parjo setelah menghembuskan segumpal asap berbentuk lingkaran.
“Aman di rumah neneknya. Kata dokter cuma perlu cek rutin aja.”
“Baguslah kalau gitu. Emangnya sakit apa sih?”
“Biasalah, namanya juga balita. Tiap minggu bisa sakit.”
Buru-buru aku mengubah topik sampai satu batang rokok yang dihisap Parjo habis. Dia menyalakan sebatang lagi lalu berangkat ke tampat kerja. Lebih banyak pembeli berdatangan. Seperti Parjo, kebanyakan di antara mereka membeli rokok.
Rokok memang barang yang paling banyak dicari. Meski mereka mengeluh dengan harga rokok yang terus naik, mereka tetap membelinya meski harus mengorbankan uang jajan anak mereka. Setiap hari semakin banyak orang yang kecanduan, sedangkan yang berhasil berhenti cuma sedikit. Dalam kebanyakan kasus, kematianlah yang menghentikan mereka untuk menghisap satu batang lagi.
Menjelang tengah hari, sekelompok remaja datang ke toko. Aku tahu mereka bukan pembeli, makanya aku tak repot-repot memasang senyum ramah.
“Halo Om, kami dari—”
“Iya, udah tahu. Aku masih jualan rokok, dan nggak ada rencana buat stop. Paham?”
Senyum sopannya menghilang digantikan senyuman sedih. Anak ini … siapa ya namanya? Dia dan teman-temannya sudah datang beberapa kali untuk sosialisasi bahaya merokok. Aku tak peduli kalau mereka menempel brosur di depan toko, tapi lama kelamaan mereka jadi terasa mengganggu.
“Kami paham kok, Om. Cuma … ada nggak anak di bawah umur yang beli rokok? Secara hukum itu dilarang buat menjual rokok ke anak di bawah umur.”
“Oh ya? Kok aku nggak pernah dengar ada yang ditangkap gara-gara jual rokok ke anak di bawah umur? Kalau kau lapor polisi pun, mereka mana mau gerak buat hal sepele kayak gitu.”
“Sepele?”
Anak berbadan paling besar maju ke depan. Aku baru pertama kali lihat anak ini. Wajahnya mirip preman sekolah yang hobi sembunyi di wc untuk merokok. Bibirnya juga hitam. kok bisa dia masuk kelompok ini?
“Kau tau nggak berapa banyak orang mati gara-gara rokok tiap tahun?” tanyanya tak sopan. Gaya bicaranya juga mirip preman.
“Biar kutebak. Bapakmu mati gara-gara rokok, makanya sekarang kau berhenti.”
Kedua matanya melebar dan bergetar. Apa aku menebak dengan benar?
“KAU—”
“STOPSTOPSTOP!”
Sebelum anak itu bisa mengangkat tangannya, teman-temannya langsung menyeretnya keluar. Anak pertama-yang-entah-siapa-namanya tinggal dan memohon maaf.
“Maaf ya, Om. Dia memang kasar, tapi orangnya baik kok.”
“Nggak apa-apa. Aku juga yang salah.”
Dia tersenyum tipis. Kukira dia akan langsung pergi, tapi ternyata dia punya cerita lain untuk disampaikan.
“Tapi Om memang benar, ayahnya meninggal gara-gara TBC. Dia dulu ngerokok gara-gara ngikutin ayahnya, makanya sekarang dia gigih buat ngelawan rokok. Semua anak di sekolah kami sukses berhenti berkat dia.”
Aku bertepuk tangan tiga kali demi kesopanan. Jika aku anak kecil aku mungkin bisa terpesona dengan cerita macam itu, tapi orang dewasa punya masalah yang jauh lebih pelik dibanding sekedar memikirkan moral dan kebenaran. Bahkan jika hal-hal itu melawan moral, ada hal yang bagi kami jauh lebih penting daripada itu.
“Kalau kalian memang punya masalah sama rokok, mending komplain ke pemerintah. Asalkan itu nggak ilegal, aku bakal tetap jualan rokok. Kalau kau nggak suka rokok ya jangan ngerokok, jauh-jauh dari perokok, biarin aja semua perokok itu mati kena kanker. Aku nggak pernah maksa siapa pun buat ngerokok, kita semua pilih jalan kita masing-masing. Hidup memang begitu, nggak ada gunanya kau mengeluh.”
Dan sekali lagi dia tersenyum. Kali ini cuma senyuman hampa.
“Om, om bukan perokok, kan?”
Aku tidak menjawab.
“Mungkin lebih tepatnya … om udah berhenti ngerokok. Pasti ada alasannya kan?”
Aku mengibaskan tanganku menyuruhnya pergi, dan dia pergi dengan patuh. Saat malam tiba, aku menutup toko dan menghitung kembali pendapatanku. Sejak memperbanyak jenis rokok yang kujual, pendapatanku meningkat pesat.
Aku mengantongi semua lalu bergegas pergi ke apotik. Di sana aku menebus obat-obatan sesuai resep dokter lalu pergi ke rumah ibuku.
Nabila sudah tertidur saat aku sampai di sana. Kuelus rambutnya yang sudah kembali panjang dan mengecup keningnya tanpa membangunkannya.
“Gimana Nabila, Bu? Masih batuk?”
“Udah mendingan kok. Yang penting jangan keluar dulu. Mungkin minggu depan kamu bisa bawa dia ke Puncak atau ke mana yang udaranya segar.”
Aku mengangguk mendengar sarannya. Secara refleks aku meraih barang di saku untuk mengeluarkan sebatang rokok, tapi barang itu tak lagi ada di sana.
“Masih susah berhenti?” tanya ibuku, aku pun mengangguk. “Nih, makan permen aja.”
Permen dan rokok rasanya sangat berbeda. Permen itu manis dan rokok itu pahit, tapi entah kenapa permen ini terasa jauh lebih pahit dibanding ingatanku tentang rokok.
Namun, itu tak lebih manis dibanding kesehatan anakku.
Sudah tiga bulan sejak Nabila terkena bronkitis sampai-sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Ternyata kebiasaanku untuk merokok 24 jam sehari membuat paru-parunya meradang dan nyaris saja tewas. Namun, ternyata aku masih diberi kesempatan.
Sejak saat itu aku mulai membenci rokok. Pernah terpikir untuk berhenti menjual rokok, tapi biaya rumah sakit dan obat-obatan yang kubutuhkan membuatku harus menelan kebencian itu bulat-bulat.
Rokok itu membunuh, tapi sangat menguntungkan. Aku tak peduli apa yang terjadi pada orang lain, toh itu memang pilihan mereka sendiri, tapi aku tak mau Nabila menderita akibat kelakuanku. Aku tak bisa menolong semua orang, tapi setidaknya aku bisa menyelamatkan buah hati yang telah dititipkan padaku.
Karena itulah aku tak peduli meski orang-orang bilang rokok itu membunuh. Itulah caraku untuk terus menghidupi putriku.
***TAMAT***






itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
575
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan