- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tetua Masyarakat Adat yang Perjuangkan Tanahnya Didenda Rp 1 Miliar


TS
lupineprince
Tetua Masyarakat Adat yang Perjuangkan Tanahnya Didenda Rp 1 Miliar
Hidup di Rumah Kayu Berlantai Tanah, Tetua Masyarakat Adat yang Perjuangkan Tanahnya Didenda Rp 1 Miliar

Sorbatua Siallagan dijatuhi vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena mempertahankan hutan adatnya.
Oleh
NIKSON SINAGA
Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan (65), mendengarkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (14/8/2024).
DOKUMENTASI KELUARGA SORBATUA
Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan (65), mendengarkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (14/8/2024).
Tangis warga masyarakat adat pecah mendengar putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun yang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Sorbatua Siallagan (65). Sepanjang hidupnya tinggal di rumah kayu berlantai tanah, Sorbatua diminta juga membayar denda Rp 1 miliar, uang yang tak pernah dia bayangkan.
Sorbatua yang mempertahankan hutan adatnya dinyatakan bersalah karena menduduki konsesi kawasan hutan milik PT Toba Pulp Lestari. Sorbatua berdiri tertunduk lesu mendengarkan putusan yang dibacakan majelis hakim yang diketuai Dessy Ginting dengan hakim anggota Anggreana E Roria Sormin dan Agung CFD Laia di Simalungun, Rabu (14/8/2024).
Putusan majelis hakim itu menambah panjang daftar masyarakat adat yang harus dihukum karena mempertahankan hak ulayatnya. Siang itu, warga masyarakat adat memenuhi ruang sidang memberi dukungan kepada Sorbatua. Sorbatua merupakan tetua adat dan Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Simalungun.
Jerni Elida Siallagan, anggota masyarakat adat Oppu Umbak, mengatakan, warga adat merasakan miris atas hukum di negara ini. Mereka dipaksa bersalah karena mempertahankan tanah ulayatnya.
”Bapak Sorbatua tinggal di rumah kayu berukuran 4 meter x 5 meter dengan lantai tanah. Namun, diminta membayar Rp 1 miliar dan harus dipenjara selama dua tahun karena mempertahankan tanah adat,” kata Jerni.
Masyarakat adat melakukan unjuk rasa atas kriminalisasi pejuang hak ulayat masyarakat adat, Sorbatua Siallagan, di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Senin (10/6/2024).
DOKUMENTASI BAKUMSU
Masyarakat adat melakukan unjuk rasa atas kriminalisasi pejuang hak ulayat masyarakat adat, Sorbatua Siallagan, di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Senin (10/6/2024).
Masyarakat adat Oppu Umbak Siallagan sudah ratusan tahun hidup di Desa Sihaporas di dataran tinggi sisi barat kawasan Danau Toba. Mereka hidup selaras dengan alam dari hasil hutan adat dan perladangan di tanah ulayat seluas 851 hektar.
Hidup mereka mulai terusik saat sebagian hutan adat itu diserahkan negara kepada PT Toba Pulp Lestari pada tahun 1993 melalui hak konsesi. Sejak itu, masyarakat adat di Desa Sihaporas ataupun desa lain di sekeliling Danau Toba menghadapi konflik agraria tanpa henti, sebagaimana dialami Sorbatua.
Dalam usia 65 tahun, Sorbatua harus ditangkap, dipenjara, dan menjalani proses hukum karena mempertahankan tanah ulayat warisan nenek moyangnya. Sorbatua ditangkap saat membeli pupuk bersama istrinya. Dia dipaksa masuk ke mobil oleh enam polisi berpakaian preman.
Negara juga seharusnya melindungi keberadaan masyarakat adat yang sudah turun-temurun menduduki hutan adat.
Majelis hakim menyatakan Sorbatua terbukti menduduki dan membakar kawasan hutan yang konsesinya dimiliki PT Toba Pulp Lestari. Sorbatua disebut ingin memiliki tanah itu dengan menebang pohon eukaliptus yang ditanam PT Toba Pulp Lestari.
Terdakwa Sorbatua juga membersihkan sisa potongan kayu dengan cara membakar. Sorbatua lalu menanami lahan tersebut dengan tanaman ubi, tomat, jagung, dan cabai.
Masyarakat adat yang dipimpin Sorbatua disebut mengetahui lahan yang dikuasai dan dikelola merupakan kawasan hutan yang konsesinya dikuasai PT Toba Pulp Lestari sejak 1993. Hingga 2019, di lokasi itu masih tumbuh pohon eukaliptus. Setelah PT Toba Pulp Lestari memanen kayu itu, masyarakat tetap menduduki kawasan hutan itu.
Majelis hakim menimbang, klaim tanah ulayat sebagaimana yang diterangkan terdakwa Sorbatua Siallagan tidak terbukti berdasarkan keterangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Putusan itu menyisakan sedikit angin segar. Salah satu hakim anggota, Agung CFD Laia, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dia mengatakan Sorbatua seharusnya bebas. Alasannya, hingga kini belum ada penetapan kawasan hutan di Sumut.
”Negara juga seharusnya melindungi keberadaan masyarakat adat yang sudah turun-temurun menduduki hutan adat,” kata Agung saat membacakan pendapatnya yang merupakan bagian dari putusan.
Anggota masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan, Jonris Simanjuntak (49) dan Sarno Simamora (37), beraktivitas di hutan adat kemenyan mereka di Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jumat (17/11/2023). Mereka mendapatkan kembali 1.586 hektar hutan adat yang telah turun-temurun menjadi sumber penghidupan masyarakat adat setelah menjadi konsesi hutan tanaman industri PT Toba Pulp Lestari.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Anggota masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan, Jonris Simanjuntak (49) dan Sarno Simamora (37), beraktivitas di hutan adat kemenyan mereka di Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jumat (17/11/2023). Mereka mendapatkan kembali 1.586 hektar hutan adat yang telah turun-temurun menjadi sumber penghidupan masyarakat adat setelah menjadi konsesi hutan tanaman industri PT Toba Pulp Lestari.
Apa yang dikatakan Agung menjadi gambaran perjuangan masyarakat adat saat ini. Masyarakat adat sudah belasan tahun meminta pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. UU itu seharusnya menjadi landasan melahirkan produk hukum daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Keberadaan masyarakat telah diakui dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Jhontoni Tarihoran mengatakan, UUD 1945 sudah mengamanatkan perlindungan masyarakat adat untuk diturunkan ke dalam UU. ”Perlindungan masyarakat adat dari tindakan kesewenang-wenangan negara atas hak masyarakat adat adalah perintah konstitusi,” katanya.
Akan tetapi, mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono sampai Joko Widodo, RUU Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan. RUU Masyarakat Adat diusulkan oleh AMAN bersama jejaring masyarakat sipil lain ke DPR sejak 2012.
”RUU Masyarakat Adat sudah tiga kali masuk dalam Program Legislasi Nasional, tetapi hingga saat ini tidak ada kejelasan,” kata Jhontoni.
Ia menilai, masyarakat adat rentan mengalami kriminalisasi karena RUU Masyarakat Adat yang menjamin perlindungan dan pengakuan masyarakat adat tidak kunjung disahkan. AMAN mencatat telah terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat selama lima tahun ini.
Ketiadaan perlindungan hukum juga membuat masyarakat adat setiap hari hidup dalam ancaman kriminalisasi atas pengelolaan hutan dan hilangnya identitas masyarakat adat itu sendiri.
Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Janpatar Simamora mengatakan, negara mengakui keberadaan masyarakat adat, tetapi urung melindunginya. ”Penangkapan Sorbatua menunjukkan negara mengakui Sorbatua sebagai ketua komunitas masyarakat adat. Hanya saja, negara tidak mau melindungi masyarakat adat melalui kebijakan UU,” katanya.
Janpatar menuturkan, RUU Masyarakat Adat sangat mendesak untuk disahkan. Jika tidak, daftar kasus kriminalisasi masyarakat adat yang memperjuangkan tanah ulayatnya akan terus bertambah panjang.
Koordinator Divisi Bantuan Hukum Badan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu) Nurleli Sihotang menyesalkan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan hak ulayat masyarakat adat.
Masyarakat adat dari Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, melakukan ritual membakar kemenyan dalam unjuk rasa di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019).
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Masyarakat adat dari Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, melakukan ritual membakar kemenyan dalam unjuk rasa di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019).
”Masyarakat adat sudah turun-temurun hidup di hutan adat itu jauh sebelum PT Toba Pulp Lestari mendapat konsesi. Namun, majelis hakim malah menyebut hutan adat hanya cerita nenek moyang,” kata Nurleli, yang juga menjadi kuasa hukum Sorbatua.
Setelah putusan itu, masyarakat adat di Desa Sihaporas setiap hari hidup dalam ancaman kriminalisasi. Sorbatua adalah tokoh penting bagi mereka. Dia memimpin ritual-ritual adat masyarakat yang hingga kini masih dijaga kelestariannya.
Tidak hanya di sekitar Danau Toba, masyarakat adat lain di Indonesia juga membutuhkan perlindungan untuk menjalani hidup dan memanfaatkan warisan nenek moyangnya. Jangan sampai masyarakat adat hanya diingat lewat busana petinggi negara di hari bangsa ini mengecap kemerdekaannya.
Editor:
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Harian Kompas
12 tahun RUU nggak kelar hasilnya berantakan gini, tapi kalau serius kan bisa masuk tuh barang cuma 7 jam
Atau karena....🤔
You better start believing in cyberpunk dystopia
You're living in one

Sorbatua Siallagan dijatuhi vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena mempertahankan hutan adatnya.
Oleh
NIKSON SINAGA
Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan (65), mendengarkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (14/8/2024).
DOKUMENTASI KELUARGA SORBATUA
Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan (65), mendengarkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (14/8/2024).
Tangis warga masyarakat adat pecah mendengar putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun yang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Sorbatua Siallagan (65). Sepanjang hidupnya tinggal di rumah kayu berlantai tanah, Sorbatua diminta juga membayar denda Rp 1 miliar, uang yang tak pernah dia bayangkan.
Sorbatua yang mempertahankan hutan adatnya dinyatakan bersalah karena menduduki konsesi kawasan hutan milik PT Toba Pulp Lestari. Sorbatua berdiri tertunduk lesu mendengarkan putusan yang dibacakan majelis hakim yang diketuai Dessy Ginting dengan hakim anggota Anggreana E Roria Sormin dan Agung CFD Laia di Simalungun, Rabu (14/8/2024).
Putusan majelis hakim itu menambah panjang daftar masyarakat adat yang harus dihukum karena mempertahankan hak ulayatnya. Siang itu, warga masyarakat adat memenuhi ruang sidang memberi dukungan kepada Sorbatua. Sorbatua merupakan tetua adat dan Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Simalungun.
Jerni Elida Siallagan, anggota masyarakat adat Oppu Umbak, mengatakan, warga adat merasakan miris atas hukum di negara ini. Mereka dipaksa bersalah karena mempertahankan tanah ulayatnya.
”Bapak Sorbatua tinggal di rumah kayu berukuran 4 meter x 5 meter dengan lantai tanah. Namun, diminta membayar Rp 1 miliar dan harus dipenjara selama dua tahun karena mempertahankan tanah adat,” kata Jerni.
Masyarakat adat melakukan unjuk rasa atas kriminalisasi pejuang hak ulayat masyarakat adat, Sorbatua Siallagan, di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Senin (10/6/2024).
DOKUMENTASI BAKUMSU
Masyarakat adat melakukan unjuk rasa atas kriminalisasi pejuang hak ulayat masyarakat adat, Sorbatua Siallagan, di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Senin (10/6/2024).
Masyarakat adat Oppu Umbak Siallagan sudah ratusan tahun hidup di Desa Sihaporas di dataran tinggi sisi barat kawasan Danau Toba. Mereka hidup selaras dengan alam dari hasil hutan adat dan perladangan di tanah ulayat seluas 851 hektar.
Hidup mereka mulai terusik saat sebagian hutan adat itu diserahkan negara kepada PT Toba Pulp Lestari pada tahun 1993 melalui hak konsesi. Sejak itu, masyarakat adat di Desa Sihaporas ataupun desa lain di sekeliling Danau Toba menghadapi konflik agraria tanpa henti, sebagaimana dialami Sorbatua.
Dalam usia 65 tahun, Sorbatua harus ditangkap, dipenjara, dan menjalani proses hukum karena mempertahankan tanah ulayat warisan nenek moyangnya. Sorbatua ditangkap saat membeli pupuk bersama istrinya. Dia dipaksa masuk ke mobil oleh enam polisi berpakaian preman.
Negara juga seharusnya melindungi keberadaan masyarakat adat yang sudah turun-temurun menduduki hutan adat.
Majelis hakim menyatakan Sorbatua terbukti menduduki dan membakar kawasan hutan yang konsesinya dimiliki PT Toba Pulp Lestari. Sorbatua disebut ingin memiliki tanah itu dengan menebang pohon eukaliptus yang ditanam PT Toba Pulp Lestari.
Terdakwa Sorbatua juga membersihkan sisa potongan kayu dengan cara membakar. Sorbatua lalu menanami lahan tersebut dengan tanaman ubi, tomat, jagung, dan cabai.
Masyarakat adat yang dipimpin Sorbatua disebut mengetahui lahan yang dikuasai dan dikelola merupakan kawasan hutan yang konsesinya dikuasai PT Toba Pulp Lestari sejak 1993. Hingga 2019, di lokasi itu masih tumbuh pohon eukaliptus. Setelah PT Toba Pulp Lestari memanen kayu itu, masyarakat tetap menduduki kawasan hutan itu.
Majelis hakim menimbang, klaim tanah ulayat sebagaimana yang diterangkan terdakwa Sorbatua Siallagan tidak terbukti berdasarkan keterangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Putusan itu menyisakan sedikit angin segar. Salah satu hakim anggota, Agung CFD Laia, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dia mengatakan Sorbatua seharusnya bebas. Alasannya, hingga kini belum ada penetapan kawasan hutan di Sumut.
”Negara juga seharusnya melindungi keberadaan masyarakat adat yang sudah turun-temurun menduduki hutan adat,” kata Agung saat membacakan pendapatnya yang merupakan bagian dari putusan.
Anggota masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan, Jonris Simanjuntak (49) dan Sarno Simamora (37), beraktivitas di hutan adat kemenyan mereka di Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jumat (17/11/2023). Mereka mendapatkan kembali 1.586 hektar hutan adat yang telah turun-temurun menjadi sumber penghidupan masyarakat adat setelah menjadi konsesi hutan tanaman industri PT Toba Pulp Lestari.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Anggota masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan, Jonris Simanjuntak (49) dan Sarno Simamora (37), beraktivitas di hutan adat kemenyan mereka di Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jumat (17/11/2023). Mereka mendapatkan kembali 1.586 hektar hutan adat yang telah turun-temurun menjadi sumber penghidupan masyarakat adat setelah menjadi konsesi hutan tanaman industri PT Toba Pulp Lestari.
Apa yang dikatakan Agung menjadi gambaran perjuangan masyarakat adat saat ini. Masyarakat adat sudah belasan tahun meminta pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. UU itu seharusnya menjadi landasan melahirkan produk hukum daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Keberadaan masyarakat telah diakui dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Jhontoni Tarihoran mengatakan, UUD 1945 sudah mengamanatkan perlindungan masyarakat adat untuk diturunkan ke dalam UU. ”Perlindungan masyarakat adat dari tindakan kesewenang-wenangan negara atas hak masyarakat adat adalah perintah konstitusi,” katanya.
Akan tetapi, mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono sampai Joko Widodo, RUU Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan. RUU Masyarakat Adat diusulkan oleh AMAN bersama jejaring masyarakat sipil lain ke DPR sejak 2012.
”RUU Masyarakat Adat sudah tiga kali masuk dalam Program Legislasi Nasional, tetapi hingga saat ini tidak ada kejelasan,” kata Jhontoni.
Ia menilai, masyarakat adat rentan mengalami kriminalisasi karena RUU Masyarakat Adat yang menjamin perlindungan dan pengakuan masyarakat adat tidak kunjung disahkan. AMAN mencatat telah terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat selama lima tahun ini.
Ketiadaan perlindungan hukum juga membuat masyarakat adat setiap hari hidup dalam ancaman kriminalisasi atas pengelolaan hutan dan hilangnya identitas masyarakat adat itu sendiri.
Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Janpatar Simamora mengatakan, negara mengakui keberadaan masyarakat adat, tetapi urung melindunginya. ”Penangkapan Sorbatua menunjukkan negara mengakui Sorbatua sebagai ketua komunitas masyarakat adat. Hanya saja, negara tidak mau melindungi masyarakat adat melalui kebijakan UU,” katanya.
Janpatar menuturkan, RUU Masyarakat Adat sangat mendesak untuk disahkan. Jika tidak, daftar kasus kriminalisasi masyarakat adat yang memperjuangkan tanah ulayatnya akan terus bertambah panjang.
Koordinator Divisi Bantuan Hukum Badan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu) Nurleli Sihotang menyesalkan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan hak ulayat masyarakat adat.
Masyarakat adat dari Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, melakukan ritual membakar kemenyan dalam unjuk rasa di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019).
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Masyarakat adat dari Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, melakukan ritual membakar kemenyan dalam unjuk rasa di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019).
”Masyarakat adat sudah turun-temurun hidup di hutan adat itu jauh sebelum PT Toba Pulp Lestari mendapat konsesi. Namun, majelis hakim malah menyebut hutan adat hanya cerita nenek moyang,” kata Nurleli, yang juga menjadi kuasa hukum Sorbatua.
Setelah putusan itu, masyarakat adat di Desa Sihaporas setiap hari hidup dalam ancaman kriminalisasi. Sorbatua adalah tokoh penting bagi mereka. Dia memimpin ritual-ritual adat masyarakat yang hingga kini masih dijaga kelestariannya.
Tidak hanya di sekitar Danau Toba, masyarakat adat lain di Indonesia juga membutuhkan perlindungan untuk menjalani hidup dan memanfaatkan warisan nenek moyangnya. Jangan sampai masyarakat adat hanya diingat lewat busana petinggi negara di hari bangsa ini mengecap kemerdekaannya.
Editor:
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Harian Kompas
12 tahun RUU nggak kelar hasilnya berantakan gini, tapi kalau serius kan bisa masuk tuh barang cuma 7 jam
Atau karena....🤔
You better start believing in cyberpunk dystopia
You're living in one
Diubah oleh lupineprince 24-08-2024 21:12






7zd8q7v48h333 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
373
24


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan