- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Waswas Tim Pengawas Media Sosial Kominfo
TS
surya.paloh69
Waswas Tim Pengawas Media Sosial Kominfo
Senin, 24 Juli 2023 - Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi berencana membentuk tim pengawas media sosial. Pernyataan itu disampaikan tak sampai enam jam setelah Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) itu dilantik Presiden Jokowi untuk menggantikan Johnny G Plate, yang didakwa korupsi penyediaan base transceiver station (BTS) 4G.
Meski masih dalam proses penggodokan, Budi mengungkapkan, tim pengawasan media sosial tersebut dibentuk untuk mengawasi konten-konten di berbagai platform, seperti Twitter, TikTok, dan Instagram.
“Perlu ada pengawasan social media. Jadi usul juga namanya dewan media sosial atau komisi pengawas internet atau apalah ini belum selesai. Tapi, yang pasti, kita ingin ini harus tetap berbasis masyarakat, berbasis partisipasi masyarakat ya, kontrol juga harus dari masyarakat, bukan cuma dari pemerintah,” ujar Budi saat ditemui tim detikX di ruang kerjanya pada Jumat (21/7/2023).
Sebelumnya, Budi menyebutkan gagasan tim pengawas media sosial sebenarnya datang dari buah pemikiran Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md, yang sempat menjadi Pelaksana Tugas Menteri Komunikasi dan Informatika.
Di sisi lain, pengawasan media sosial sudah dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika bahkan hingga saat ini. Kominfo memiliki Tim AIS Kominfo, yang disebut Cyber Drone 9. Sistem berbasis artificial intelligence (AI) tersebut aktif mengawasi media sosial selama 24 jam nonstop dan menyasar konten-konten yang bermuatan negatif, seperti konten pornografi, perjudian, penipuan, persekusi, hoaks, serta ideologi radikal.
Bukan hanya oleh Kominfo, pengawasan di media sosial dan internet juga dilakukan oleh Badan Reserse Kriminal atau Bareskrim Polri melalui polisi virtual (virtual police) yang diluncurkan 2021. Bukan hanya menapis konten, polisi virtual bertugas mengawasi konten yang melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Pengawasan tersebut terutama ditujukan untuk diproses secara hukum.
Selain polisi virtual, Polri sebenarnya juga memiliki divisi cyber crime, yang bekerja mendeteksi konten-konten yang menerabas UU ITE untuk selanjutnya diproses hukum.
Adapun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) turut memiliki program pengawasan konten media sosial dalam ranah tindak pidana pemilu di media sosial.
Sayangnya, ketika dimintai konfirmasi apa perbedaan signifikan tim pengawas media sosial yang hendak dibentuk ini dengan yang sudah ada sebelumnya, Budi tidak menjawab secara gamblang.
“Tim pengawas socmed ini kan ide formulasi untuk bagaimana menjadikan ruang publik ini (menjadi) lebih sejuk, lebih produktif, lebih bersahaja. Kalau cuma media sosial yang dipakai ajang caci maki yang nggak memberi arti apa-apa bagi proses kemajuan dan kemanusiaan, buat apa? Karena itu, ide pengawasan socmed itu (agar) semuanya saling berdialog dengan lebih baik,” terangnya.
Budi juga menegaskan tim pengawas media sosial ini tidak akan berbenturan dengan kepentingan masyarakat untuk bebas berekspresi di media sosial. Sebab, katanya, ia menjamin akan melibatkan masyarakat serta berbagai stakeholder, seperti akademisi, ahli, maupun lembaga swadaya masyarakat, sebagai anggota tim pengawas media sosial tersebut.
“Kalaupun itu terwujud, nanti kita lihat formulanya. Karena lembaga ini terus terang bukan hanya untuk men-judge, bukan untuk memberikan pengawasan dalam pengertian yang apa ya. Ini kan golnya untuk membuat semuanya semakin dewasa dalam menggunakan social media,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai wacana dibentuknya tim pengawas media sosial oleh Budi Arie tidaklah tepat. Sebab, menurutnya, tim yang sudah ada sekarang sudah cukup untuk melakukan tugas-tugas tersebut.
“Wacana pembentukan badan pengawas media sosial itu justru akan semakin memperluas dan semakin memperbesar wewenang pemerintah itu sendiri, padahal yang kita perlukan tidak demikian,” ungkap Wahyudi kepada reporter detikX pekan lalu.
Situasi yang sekarang terjadi, kata Wahyudi, tidak berbeda jauh kala periode akhir Menteri Kominfo Tifatul Sembiring pada 2014. Saat itu Kominfo mengeluarkan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.
Peraturan tersebut, menurut Wahyudi, menyisakan suatu polemik lantaran tidak ada prosedur maupun acuan yang jelas terkait dengan jenis konten yang diblokir. Akibatnya, terjadi over blocking konten, termasuk konten-konten yang sebenarnya sah atau legitimate expression.
Selain itu, ada dampak dari terbentuknya tim pengawas media sosial yang tak boleh disepelekan. Sebab, ini membuka peluang terjadinya mass surveillance atau pengawasan massal.
“Karena logikanya, setiap hari badan ini akan melakukan pemantauan terhadap konten-konten media sosial. Ini yang kemudian justru malah mengganggu hak atas privasi karena orang selalu merasa dipantau ya oleh badan ini,” jelasnya.
Ini bisa berujung memunculkan chilling effect, yakni ketika seseorang menjadi ketakutan untuk mengekspresikan pendapatnya melalui media sosial, karena mereka merasa setiap hari pemerintah memantau mereka.
Alih-alih melakukan pembentukan tim pengawas media sosial, Wahyudi menuturkan, mestinya pemerintah berfokus terhadap regulasi tata kelola konten dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Karena ketentuan yang ada dalam UU ITE hari ini, ketentuan Pasal 40 ayat 2 huruf p UU ITE yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan konten internet itu terlalu luas dalam artian bahwa wewenang pemerintah itu terlalu absolut, terlalu mutlak begitu,” terangnya.
Senada, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menilai sudah terlalu banyak tim pengawas media sosial dari pemerintah. Namun adanya tim pengawas medsos yang baru akan memiliki potensi penting jika dibersamai dengan konteks pembentukannya, seperti konteks Pemilu 2024.
“Kalau kita lihat konteksnya (Pemilu 2024), kita tahu bahwa ruang-ruang digital itu juga dipakai untuk kontestasi politik, bahkan dari tahun-tahun sebelumnya ya, Pemilu 2014, 2019, sudah dipakai. Sekarang dipakai lagi dan tidak diatur secara baik,” kata Damar kepada reporter detikX, Minggu (23/7/2023).
Tetapi Damar menyarankan, tim pengawas media sosial harus berfokus pada konten-konten yang sifatnya abu-abu, bukan konten ilegal, yang sudah diawasi oleh berbagai tim pengawas media sosial yang sudah ada.
Konten abu-abu yang dimaksud adalah konten berbahaya yang menyesatkan opini serta mengarah pada serangan-serangan berbasis diskriminasi, menyangkut perbedaan agama, suku, ras, dan antargolongan. Sebab, konten abu-abu seperti itu biasanya dipakai dalam pemilu untuk mendulang maupun menjatuhkan dukungan.
“Kita dorong Pak Menteri untuk memperjelas. Ini konteksnya (tim pengawasan media sosialnya) apa, lalu tugasnya apa, sehingga fungsi-fungsi pengawasan ini bukan fungsi yang disalahgunakan,” terangnya.
Damar memberikan contoh, pada Pemilu 2019, sentimen anti-China digunakan untuk menstigma salah satu calon presiden yang dituduh membiarkan tenaga kerja China masuk ke Indonesia. Serta dituduh menerima investasi dari China dalam rangka membuat tunduk Indonesia kepada negara tersebut.
“Tahun 2024, kurang lebih mirip ya, jadi ada sentimen anti-China dibangun terhadap salah satu capres. Bila tidak diawasi dengan baik, itu bisa menjadi konten berbahaya bilamana dipakai untuk menyudutkan masyarakat yang beretnis Tionghoa,” ujarnya.
https://news.detik.com/x/detail/spot...osial-Kominfo/
Quote:
Kominfo saat ini udah punya tim pengawas cyber.. POLRI juga udah punya.. Bawaslu juga punya.. Trus buat apa pak menteri mau bikin lagi tim baru yg lingkup kerjanya sami mawon??..
Quote:
Diubah oleh surya.paloh69 24-07-2023 07:17
BALI999 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
875
51
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan