- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
10 Tahun Jokowi Kemiskinan Makin Sulit Turun, Bansos-Subsidi Tak Cukup


TS
ganesha09part7
10 Tahun Jokowi Kemiskinan Makin Sulit Turun, Bansos-Subsidi Tak Cukup
https://www.cnbcindonesia.com/news/2...sidi-tak-cukup
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketergantungan pemerintah terhadap program bantuan sosial dan subsidi untuk menuntaskan kemiskinan mendapat kritikan dari sejumlah ekonom.
Ekonom menilai ketergantungan ini membuat penurunan tingkat kemiskinan makin lambat 10 tahun terakhir dibanding 10 tahun lalu. Hal ini mengingat bantuan sosial dan subsidi bersifat sementara alias tidak berkelanjutan. Bansos dan subsidi dianggap sebagai penopang, sementara kebijakan yang mengarah pada pengentasan kemiskinan masih minim.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan satu dekade terakhir atau pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tingkat kemiskinan hanya turun 2,2% poin dari posisi 11,25% (28,2 juta orang) pada 2014 menjadi 9,03% (25,2 juta orang) pada 2024.
Sementara itu, pada satu dekade sebelumnya, tingkat kemiskinan mampu turun 5,41% poin, dari posisi 16,66% atau setara 36,2 juta jiwa pada 2004 menjadi sebesar 11,25% atau 28,2 juta jiwa pada 2014. Sebagaimana diketahui, satu dekade itu merupakan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ekonom senior dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, semakin sulit turunnya tingkat kemiskinan itu disebabkan banyak hal. Salah satunya ialah sudah terlalu dalamnya tingkat kemiskinan di Indonesia. Disebabkan acuan level garis kemiskinan yang tak pernah diubah pemerintah sesuai standar internasional.
Baca:
Warisan Utang Era Jokowi: Prabowo Harus Bayar Rp800 T Tiap Tahun
"Karena kemiskinan dengan standar yang rendah itu adalah kemiskinan yang sulit dibantu, keparahan dan kedalamannya luar biasa. Jadi mereka yang masuk kategori miskin itu untuk bisa capai level garis kemiskinan itu bantunya sulit," kata Wijayanto saat ditemui CNBC Indonesia, Jakarta, seperti dikutip Senin (12/8/2024).
Sebagaimana diketahui, Bank Dunia atau World Bank telah mengubah perhitungan ukuran paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) pada 2017 untuk menentukan jumlah masyarakat yang masuk kategori miskin ekstrem atau miskin saja. Ukuran ini telah diadopsi sejak 2022 melalui angka PPP 2017 dari sebelumnya PPP 2011.
Pada basis perhitungan baru, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 per orang per hari atau Rp 32.745 per hari (kurs Rp 15.230 per US$). Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem ada di angka US$ 1,90, dan angka ini yang masih menjadi acuan di Indonesia.
Adapun, batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan menjadi US$ 3,65 atau Rp 55.590 per orang per hari dari sebelumnya US$ 3,20 atau Rp 48.740. Adapun, batas kelas berpenghasilan menengah ke atas menjadi US$ 6,85 atau Rp 104.325 per hari dari sebelumnya US$ 5,50 atau Rp 83.675 per hari.
Di sisi lain, Wijayanto mengatakan, pemerintah selama ini terlalu mengandalkan pada program bantuan sosial atau bansos dan subsidi untuk menangani kemiskinan di Indonesia. Padahal, bansos dan subsidi idealnya diberikan pada saat masa krisis saja. Hal ini untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat pada program yang sifatnya sebatas santunan.
Baca:
Dunia Masih Kacau, Ekonomi RI Akhir Tahun Bakal Diselamatkan Pilkada
"Kemiskinan itu turun tapi kan karena digelontorkan bansos, kalau bansosnya disetop mereka miskin lagi, sementara bansos sumbernya utang," tegas Wijayanto.
"Jadi ini kan pendekatan memberi ikan, bukan memberi kail. Bansosnya dicopot langsung timpang, dan bansos sumbernya utang," tuturnya.
Senada dengan Wijayanto, Ekonom Senior & Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Ryan Kiryanto juga mengatakan hal serupa. Menurut dia program bansos memang tidak cocok untuk menjadi alat untuk menangani kemiskinan. Program itu hanya sementara menjaga daya beli masyarakat.
"Tidak hanya cukup diberikan ikan nya, tapi jauh lebih penting bagaimana memberikan kail, sehingga mengedukasi masyarakat lapis bawah untuk mau bergerak naik dan mereka bosan untuk selalu peroleh santunan, tentu mereka ingin naik kelas," ucap Ryan.
Wijayanto dan Ryan satu suara bahwa yang paling penting untuk mengentaskan kemiskinan ialah memudahkan masyarakat untuk mendapat akses pendidikan, bukan seperti saat ini biaya pendidikan menjadi kesulitan masyarakat karena sangat mahal. Selain itu, mereka juga menyarankan masyarakat perlu diberdayakan, selain dengan pemberian bantuan modal usaha dengan terbukanya akses pembiayaan.
"Karena tanpa pendidikan lebih baik mustahil kita mengangkat harkat derajat masyarakat miskin ini, kedua kemudahan untuk bisa akses pembiayaan ke lembaga keuangan," ucap Ryan.
Di negara yang ekonominya setara dengan Indonesia seperti Brazil, Wijayanto mengatakan, program bansos juga tidak digelontorkan serta merta, melainkan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi masyarakat, seperti wajibnya anak penerima bansos masuk ke sistem pendidikan. Kebijakan ini dikenal dengan Bolsa Familia
"Catatannya kamu dibantu tapi anaknya harus sekolah, kamu dibantu anaknya harus ini itu, ada pemantauannya. Dan yang namanya bansos itu harusnya temporer, enggak boleh permanen, kalau permanen membuat rakyat malas. Jadi subsidi, bansos itu sebetulnya temporer diperlukan ketika kondisi sedang buruk," tutur Wijayanto.
"Kalau menjadi permanen ini yang salah, kita sedang mengedukasi mayoritas rakyat Indonesia untuk bermentalitas tangan di bawah," ungkapnya.
Meski catatan penurunan tingkat kemiskinan semakin lambat, pemerintah menilai, angka kemiskinan yang kini di posisi 9,03% merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir. Pemerintah mengklaim, kondisi ini ditopang oleh solidnya aktivitas ekonomi domestik dan berbagai program bantuan sosial Pemerintah, khususnya dalam merespons kenaikan inflasi pangan pada awal 2024.
"Penurunan tingkat kemiskinan ini memberikan harapan di tengah stagnasi perekonomian global. Pemerintah akan terus berkomitmen menjaga stabilitas inflasi sehingga dapat mendorong peningkatan daya beli masyarakat, yang selanjutnya dapat mengakselerasi penurunan tingkat kemiskinan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat." ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Komen ts : walau ngasih bansos mulu dalam 10 tahun...yg penting bakso dari jaman pki hingga sekarang tetap 10 rebu dan antrian di ibox mengular seperti antri sembako
Komen ts
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketergantungan pemerintah terhadap program bantuan sosial dan subsidi untuk menuntaskan kemiskinan mendapat kritikan dari sejumlah ekonom.
Ekonom menilai ketergantungan ini membuat penurunan tingkat kemiskinan makin lambat 10 tahun terakhir dibanding 10 tahun lalu. Hal ini mengingat bantuan sosial dan subsidi bersifat sementara alias tidak berkelanjutan. Bansos dan subsidi dianggap sebagai penopang, sementara kebijakan yang mengarah pada pengentasan kemiskinan masih minim.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan satu dekade terakhir atau pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tingkat kemiskinan hanya turun 2,2% poin dari posisi 11,25% (28,2 juta orang) pada 2014 menjadi 9,03% (25,2 juta orang) pada 2024.
Sementara itu, pada satu dekade sebelumnya, tingkat kemiskinan mampu turun 5,41% poin, dari posisi 16,66% atau setara 36,2 juta jiwa pada 2004 menjadi sebesar 11,25% atau 28,2 juta jiwa pada 2014. Sebagaimana diketahui, satu dekade itu merupakan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ekonom senior dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, semakin sulit turunnya tingkat kemiskinan itu disebabkan banyak hal. Salah satunya ialah sudah terlalu dalamnya tingkat kemiskinan di Indonesia. Disebabkan acuan level garis kemiskinan yang tak pernah diubah pemerintah sesuai standar internasional.
Baca:
Warisan Utang Era Jokowi: Prabowo Harus Bayar Rp800 T Tiap Tahun
"Karena kemiskinan dengan standar yang rendah itu adalah kemiskinan yang sulit dibantu, keparahan dan kedalamannya luar biasa. Jadi mereka yang masuk kategori miskin itu untuk bisa capai level garis kemiskinan itu bantunya sulit," kata Wijayanto saat ditemui CNBC Indonesia, Jakarta, seperti dikutip Senin (12/8/2024).
Sebagaimana diketahui, Bank Dunia atau World Bank telah mengubah perhitungan ukuran paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) pada 2017 untuk menentukan jumlah masyarakat yang masuk kategori miskin ekstrem atau miskin saja. Ukuran ini telah diadopsi sejak 2022 melalui angka PPP 2017 dari sebelumnya PPP 2011.
Pada basis perhitungan baru, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 per orang per hari atau Rp 32.745 per hari (kurs Rp 15.230 per US$). Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem ada di angka US$ 1,90, dan angka ini yang masih menjadi acuan di Indonesia.
Adapun, batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan menjadi US$ 3,65 atau Rp 55.590 per orang per hari dari sebelumnya US$ 3,20 atau Rp 48.740. Adapun, batas kelas berpenghasilan menengah ke atas menjadi US$ 6,85 atau Rp 104.325 per hari dari sebelumnya US$ 5,50 atau Rp 83.675 per hari.
Di sisi lain, Wijayanto mengatakan, pemerintah selama ini terlalu mengandalkan pada program bantuan sosial atau bansos dan subsidi untuk menangani kemiskinan di Indonesia. Padahal, bansos dan subsidi idealnya diberikan pada saat masa krisis saja. Hal ini untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat pada program yang sifatnya sebatas santunan.
Baca:
Dunia Masih Kacau, Ekonomi RI Akhir Tahun Bakal Diselamatkan Pilkada
"Kemiskinan itu turun tapi kan karena digelontorkan bansos, kalau bansosnya disetop mereka miskin lagi, sementara bansos sumbernya utang," tegas Wijayanto.
"Jadi ini kan pendekatan memberi ikan, bukan memberi kail. Bansosnya dicopot langsung timpang, dan bansos sumbernya utang," tuturnya.
Senada dengan Wijayanto, Ekonom Senior & Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Ryan Kiryanto juga mengatakan hal serupa. Menurut dia program bansos memang tidak cocok untuk menjadi alat untuk menangani kemiskinan. Program itu hanya sementara menjaga daya beli masyarakat.
"Tidak hanya cukup diberikan ikan nya, tapi jauh lebih penting bagaimana memberikan kail, sehingga mengedukasi masyarakat lapis bawah untuk mau bergerak naik dan mereka bosan untuk selalu peroleh santunan, tentu mereka ingin naik kelas," ucap Ryan.
Wijayanto dan Ryan satu suara bahwa yang paling penting untuk mengentaskan kemiskinan ialah memudahkan masyarakat untuk mendapat akses pendidikan, bukan seperti saat ini biaya pendidikan menjadi kesulitan masyarakat karena sangat mahal. Selain itu, mereka juga menyarankan masyarakat perlu diberdayakan, selain dengan pemberian bantuan modal usaha dengan terbukanya akses pembiayaan.
"Karena tanpa pendidikan lebih baik mustahil kita mengangkat harkat derajat masyarakat miskin ini, kedua kemudahan untuk bisa akses pembiayaan ke lembaga keuangan," ucap Ryan.
Di negara yang ekonominya setara dengan Indonesia seperti Brazil, Wijayanto mengatakan, program bansos juga tidak digelontorkan serta merta, melainkan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi masyarakat, seperti wajibnya anak penerima bansos masuk ke sistem pendidikan. Kebijakan ini dikenal dengan Bolsa Familia
"Catatannya kamu dibantu tapi anaknya harus sekolah, kamu dibantu anaknya harus ini itu, ada pemantauannya. Dan yang namanya bansos itu harusnya temporer, enggak boleh permanen, kalau permanen membuat rakyat malas. Jadi subsidi, bansos itu sebetulnya temporer diperlukan ketika kondisi sedang buruk," tutur Wijayanto.
"Kalau menjadi permanen ini yang salah, kita sedang mengedukasi mayoritas rakyat Indonesia untuk bermentalitas tangan di bawah," ungkapnya.
Meski catatan penurunan tingkat kemiskinan semakin lambat, pemerintah menilai, angka kemiskinan yang kini di posisi 9,03% merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir. Pemerintah mengklaim, kondisi ini ditopang oleh solidnya aktivitas ekonomi domestik dan berbagai program bantuan sosial Pemerintah, khususnya dalam merespons kenaikan inflasi pangan pada awal 2024.
"Penurunan tingkat kemiskinan ini memberikan harapan di tengah stagnasi perekonomian global. Pemerintah akan terus berkomitmen menjaga stabilitas inflasi sehingga dapat mendorong peningkatan daya beli masyarakat, yang selanjutnya dapat mengakselerasi penurunan tingkat kemiskinan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat." ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Komen ts : walau ngasih bansos mulu dalam 10 tahun...yg penting bakso dari jaman pki hingga sekarang tetap 10 rebu dan antrian di ibox mengular seperti antri sembako
Komen ts






aldonistic dan 3 lainnya memberi reputasi
2
442
63


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan