- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Short Story #90 : Jatuh Cinta


TS
ih.sul
Short Story #90 : Jatuh Cinta
“Aku penasaran, kenapa namanya jatuh cinta? Kenapa jatuh? Kenapa nggak naik aja?”
Pertanyaan tiba-tiba dari pacarku Deva membuatku berhenti mengunyah. Baru kemarin kami resmi berpacaran dan entah kenapa aku punya firasat hubungan kami akan berakhir jika pembicaraan ini tidak mencapai konklusi yang memuaskan.
“Ya … karna bahasa inggrinnya falling love. Kalau diterjemahkan ya jatuh.”
“Ya kenapa fall? Kenapa nggak up … love? Atau flying love?”
Otak manusia membutuhkan gula untuk bekerja dengan maksimal. Sayangnya teh manis pesananku belum datang, pantas saja otakku macet tanpa bisa memikirkan jawaban.
“Jatuh itu kan dari atas ke bawah. Berarti orang yang jatuh cinta itu sebenarnya turun posisinya jadi lebih rendah. Dengan kata lain, cinta itu hanya merendahkan harkat manusia itu sendiri.”
Entah apakah logikanya benar atau salah, mulutku tertutup tanpa bisa memberi balasan. Kok teh manisku belum datang juga sih?
“Jadi apa gunanya jatuh cinta? Bukannya itu sebuah kejatuhan?”
Akhirnya teh manis yang kutunggu-tunggu pun datang. Tanpa memperdulikan panas aku menyesap teh manis itu agar aku punya alasan untuk tidak menjawab pertanyaan Deva.
“Kita putus aja yuk.”
Tersedak, nyaris saja aku memuntahkan semua yang sudah kumakan siang ini. Apa semua pemikiran filosofis tadi cuma kedok untuk minta putus?
Kutatap mata Deva dalam-dalam. Dia punya kilau mata yang cantik, mirip kilauan berlian. Kedua mata indah itu ditopang dengan wajah yang sempurna. Deva adalah salah satu perempuan tercantik di sekolah. Nilai-nilainya bagus dan dia juga anak orang kaya. Sebenarnya aku sendiri heran kok dia mau pacaran denganku.
Apa jangan-jangan dia cuma pacaran denganku karena tak enak hati menolak?
“Maksudmu, karena jatuh cinta itu buruk makanya kita lebih baik nggak pacaran?” Deva mengangguk. “Tapi semua manusia pasti merasakan jatuh cinta. Kalau itu buruk, kenapa itu masih bertahan selama ribuan tahun?”
“Aku nggak bilang itu buruk, aku cuma bilang itu nggak baik. Ada perbedaan di situ.”
“Tapi intinya sama. Kau nggak suka jatuh cinta, terus kau minta putus. Kau nggak suka jatuh cinta atau nggak suka samaku?”
“Aku suka kau, kok. Kalau nggak suka ngapain aku mau pacaran?”
Perkataannya membuatku lega, tapi itu membuat permintaannya malah jadi lebih membingungkan.
“Memangnya kalau kita putus kau otomatis jadi nggak jatuh cinta? Aku nggak paham logikamu.”
“Memang nggak otomatis, tapi cinta yang nggak disiram nggak akan tumbuh besar kan?”
Tiba-tiba aku jadi teringat orangtuaku. Keduanya sibuk bekerja dan nyaris tak pernah bertemu. Tiba-tiba tak ada angin tak ada hujan mereka sudah bercerai.
“Tapi kok kau setakut itu sih? Toh jatuh cinta nggak akan membunuhmu.”
“Perang dunia ninja keempat dimulai gara-gara ada yang jatuh cinta,” balasnya datar. Aku tak tahu ternyata dia suka anime. “Candi prambanan, gunung tangkuban perahu, bahkan Romeo dan Juliet bunuh diri gara-gara jatuh cinta. Cinta membuat orang jadi bodoh. Aku nggak mau jadi orang bodoh.”
Aku ingin bilang kalau itu semua cuma cerita karangan, tapi aku tak bisa menyangkalnya. Dulu saat masih Sd aku rela menabung semua uang jajanku untuk membelikan coklat mahal pada gebetanku. Dia berterima kasih lalu membagi dua coklat itu dengan gebetannya. Mereka pun jadian hari itu juga. Kurang bodoh apa aku saat itu?
“Jatuh cinta membuat kita bodoh … ya, aku setuju.”
Tampaknya pacar pertama yang kupunya akan resmi menjadi mantan pacar kurang dari 24 jam sejak berpacaran.
“Jadi … kita putus?”
Dia melimpahkan keputusan padaku. Kalau aku bilang tidak kira-kira akan seperti apa reaksinya? Aku cinta Deva. Aku tak ingin dia pergi, tapi keputusan orang yang tengah jatuh cinta itu memang cenderung bodoh.
“Tunggu sebentar,” tiba-tiba aku mendapat pencerahan. “Kau bilang orang yang jatuh cinta cenderung jadi bodoh?” Deva mengangguk. “Kalau gitu keputusanmu untuk tidak lanjut pacaran juga keputusan yang bodoh dong?”
Kelopak matanya melebar terkejut. Fakta yang diputar balik ini jelas tak pernah terlintas di kepalanya. Bukankah kadang pasangan yang terpisah justru malah semakin jatuh cinta? Bukannya Romeo dan Juliet juga seperti itu?
“Itu … betul juga ya,” ucap Deva dengan berbisik.
“Iya. Coba pikir begini: jatuh itu memang merendahkan, tapi atlet lompat jauh pasti harus mundur dulu untuk bisa melompat lebih jauh kan? Jadi kita yang jatuh ini sebenarnya sedang bersiap untuk lompat lebih tinggi.”
Deva pun terdiam memikirkan paradoks dari logikanya sendiri. Dia sedang jatuh cinta yang berarti dia sedang jadi bodoh. Jika dia membuat keputusan berarti itu keputusan yang bodoh. Meskipun keputusannya adalah untuk berhenti jadi bodoh, tapi itu adalah keputusan bodoh. Dengan kata lain menjadi pintar adalah keputusan bodoh. (???)
“Terus kalau gitu aku harus apa?” tanyanya setelah diam lama. “Masa harus jadi bodoh terus?”
“Ya … kita jalani aja dulu. Kalau cinta kita hilang kita pasti bisa buat keputusan yang benar nantinya. Kalau nggak hilang, mungkin kita bisa saling bantu untuk naik. Nggak apa-apa jatuh, yang penting kita terus berusaha bangkit.”
Dia bisa saja ikut bilang kalau jawabanku adalah jawaban bodoh karena aku sedang jatuh cinta, tapi Deva memilih diam dan mulai memakan nasinya lagi. Aku tersenyum, kurasa ini bisa dihitung kesimpulan yang memuaskan.
Cinta bisa hilang, dan kita juga bisa jatuh cinta lagi. Selama masih hidup, proses ini akan terus berulang. Suatu hari nanti Deva akan mempertanyakan lagi keputusannya, tapi itu adalah tugasku untuk membuatnya terus bodoh. Atau dengan kata lain, membuatnya terus jatuh cinta padaku.
***TAMAT***






riodgarp dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1K
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan