- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Derita WNI Diperbudak Industri Judi Online di Kamboja dan Myanmar


TS
Cupeake
Derita WNI Diperbudak Industri Judi Online di Kamboja dan Myanmar

Nama samarannya Nesi. Ia korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang pernah menjadi admin pada sebuah perusahaan judi online di Kamboja. Kepada kumparan, Jumat (2/8), ia menunjukkan fail berisi ribuan nomor telepon yang akan—atau sudah—diberondong iklan judi online. Semua kontak yang tersimpan di Google Drive tersebut berisi nomor berkode +62.
Daftar ribuan nomor itu diterima Nesi sesaat setelah dia tiba di Kamboja dan akan mulai bekerja sebagai admin judol. Fail kontak tersebut merupakan database bagi Nesi dan rekan-rekan di tempat kerjanya.
Nesi kemudian mengirimkan pesan secara brutal alias spam ke nomor-nomor tersebut, berisi penawaran judi slot hingga promosi situs gim berkedok judol. Setiap hari, Nesi akan mengirim sapaan ke nomor-nomor itu layaknya sales mengiklankan produk dengan iming-iming keuntungan dan diskon.
Sebagai admin, Nesi tak akan berhenti mengirim spam chat sampai si pemilik nomor membuka akun judi dan menaruh duit deposit atau depo.
“Kami spam dengan cara menyapa: ‘Halo, gimana kabarnya?’ Otomatis orang penasaran [dan balas], ‘Oh, ini siapa?’” kata Nesi menceritakan isi chat yang ia tebar ke nomor-nomor +62.

Nesi dilatih khusus menjadi admin judi online. Ia diajari cara menyampaikan pesan dan penawaran secara lembut namun meyakinkan. Nesi bahkan menggunakan profil perempuan untuk mengelabui calon pejudi.
“Setelah mereka respons, baru kami gunakan kata-kata marketing, ‘Kak, masih main slot nggak? Aku dari link [judi] ini, menawarkan nih dengan modal Rp 25 ribu, Kakak bisa withdraw atau tarik Rp 1 juta. Gimana, Kak?’” ujar Nesi, mencontohkan caranya merayu calon pelanggan judi, saat bertemu kumparan, Jumat (2/8).
Agar makin meyakinkan, Nesi menggunakan nomor WhatsApp dengan provider Indonesia. Pesan yang dikirim pun dalam bahasa Indonesia.
Pada bulan pertamanya bekerja, Nesi diberi database berisi 2.000 nomor telepon Indonesia. Ia tidak tahu dari mana data-data tersebut diperoleh. Yang jelas, ia kemudian bertugas menyortir nomor-nomor itu: mana yang terdaftar menggunakan WhatsApp, dan mana yang sudah tidak aktif.
Dua ribu kontak itu harus “habis” dalam sebulan. Artinya, Nesi harus menghubungi semua nomor itu untuk mengajak berjudi. Ia bukan cuma menawari dan merayu, tapi juga harus menggaet 8 pengguna baru per hari.
Quote:
- Nesi, mantan admin judol di Kamboja

Indonesia, Surganya Judi Online
Bila dihitung kasar, jika Nesi seorang saja setiap harinya memenuhi target 8 pengguna baru per hari, maka dalam sebulan setidaknya ada 240 orang Indonesia yang tergaet judi online. Itu baru Nesi, belum pekerja lainnya yang jumlahnya ratusan.
Nesi bekerja tiga bulan sebagai admin judol sebelum akhirnya kabur. Artinya, dalam tiga bulan itu, setidaknya ada 700-an nomor yang terpapar judi online “berkat” Nesi. Dan Nesi-Nesi lain tersebar di Sihanoukville—kota di Kamboja yang dikenal dengan sebutan Kompong Som (KSP).
Para “Nesi” di Kompong Som berjumlah ratusan. Mereka dipekerjakan tak layak oleh berbagai perusahaan judi online. Tempat kerja Nesi saja punya lebih dari tiga situs judol.
“Total empat bulan kerja, [saya] sudah kontak sekitar ada 3.000–4.000 nomor di database, pakai nomor WhatsApp Indonesia,” kata Nesi.

Situs-situs judi online mengepung Indonesia dalam berbagai macam bentuk. Analisis jejaring media sosial Drone Emprit tahun 2023 bahkan mengungkap Indonesia merupakan negara dengan pemain judol paling tinggi di dunia. Jumlahnya mencapai 201.122 pejudi. Bentuk judol yang dimainkan juga beragam: dari mesin slot, permainan kartu, gim dadu, sampai taruhan olahraga.
Tingginya angka pengguna judol di Indonesia itu sejalan dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa terdapat peningkatan nilai transaksi judol dari tujuh tahun lalu.
PPATK menemukan perputaran dana mencurigakan terkait judol pada 2017 sebanyak Rp 2,01 triliun; tahun 2018 naik jadi Rp 3,98 triliun; tahun 2019 naik lagi ke Rp 6,18 triliun; tahun 2020 jadi Rp 15,77 triliun; tahun 2021 melonjak ke Rp 57,91 triliun; tahun 2022 melesat jadi Rp 104,42 triliun, dan tahun 2023 menyentuh Rp 327 triliun.
Nilai transaksi judi online diperkirakan terus naik. Pada kuartal I tahun 2024 saja, kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, transaksi judol sudah lebih dari Rp 100 triliun. Yang mencengangkan, judol turut memapar anak-anak. Nilai transaksinya Rp 293 miliar dari 197.000 pengguna anak-anak.
"Secara keseluruhan, [berdasarkan] data terakhir tahun 2024, dari usia kurang dari 11 tahun sampai 19 tahun, ada 197.054 peserta anak dengan total depositnya Rp 293,4 miliar dan transaksi Rp 2,2 juta," kata Ivan di kantor KPAI, Jakarta Pusat, Jumat (26/7).

Pekerja Judi Online = Budak
Masyarakat Indonesia terkena dampak berlapis dari judi online karena dua kali menjadi korban: sebagai pengguna yang terjerat, dan sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) untuk dipekerjakan pada industri judi online di negara-negara tetangga.
Negara Indonesia juga rugi dua kali: uang masyarakat mengalir ke bandar, dan warganya dipekerjakan secara tak layak bahkan ada yang disiksa.
TPPO yang juga bertalian dengan industri judi online juga menelan banyak korban. Nesi salah satunya. Ia menyebut dirinya dan rekan-rekannya yang bekerja di sektor judi online sebagai korban perbudakan modern.

Nesi datang ke Kompong Som, Kamboja, dengan iming-iming gaji tinggi, bonus melimpah, mes, dan jaminan kerja yang serba-wah. Ia menerima tawaran kerja itu dari kawannya yang juga pernah bekerja di Kamboja.
Tergiur gaji dan bonus besar, Nesi mengikuti wawancara kerja via Zoom. Anehnya, si pewawancara tidak menampilkan wajah di room. Tapi Nesi kadung tergiur dengan iming-iming gaji Rp 17 juta per bulan.
Ia pun mengambil pekerjaan itu dan menyerahkan data pribadi serta KTP-nya melalui grup Telegram sebagai dokumen pembuatan paspor. Seminggu kemudian, paspor Nesi terbit. Ia diarahkan ke salah satu kantor Imigrasi di Jabodetabek untuk mengambil paspor.
Untuk pembuatan paspor, Nesi harus membayar Rp 5 juta. Uang ditransfer ke tim “penerima calon pekerja”. Pada hari keberangkatan, Nesi diarahkan—juga lewat Telegram—untuk berangkat ke Kamboja via Singapura.
Di Bandara Soekarno-Hatta, Nesi dan beberapa orang yang baru ia kenal—sesama calon pekerja di perusahaan yang sama—dipandu seorang laki-laki berpakaian kasual. Nesi menyebutnya “orang suruhan”.
Lelaki itu memandu Nesi dan rekan-rekan barunya masuk ke gate Imigrasi yang sudah ditentukan. Mereka tak boleh lewat gate pemeriksaan yang berbeda.
“Karena orang itu udah janjian. Jadi kami diarahin, ‘Nanti masuk ke gate nomor 07 untuk kasih e-ticket karena [di sana] itu orang kita.’ Nah, makanya kami langsung lewat situ, enggak lewat gate lain,” kata Nesi.

Agar lolos masuk Singapura, Nesi sudah dibekali tiket pergi-pulang dan bukti reservasi hotel untuk menginap semalam di Singapura sebelum lanjut terbang ke Kamboja. Semua berjalan lancar. Keesokannya, Nesi pun terbang ke Phnom Penh, ibu kota Kamboja.
Di Phnom Penh, Nesi dijemput mobil yang disopiri orang Kamboja untuk diantar ke Sihanoukville alias Kompong Som. Di sanalah lokasi mes kantor yang menjadi tempat tinggal Nesi.
“Mes saya itu seperti hotel yang udah enggak dipake, lalu kami pakai,” ujar Nesi.
Mes tersebut dijaga, diawasi, dan tidak bisa diakses secara bebas. Pagarnya tinggi, dan pintu dijaga ketat 24 jam. Sebelum dibagi kamar, Nesi lebih dulu dites urine. Esoknya, ia menjalani pelatihan sebagai pekerja baru.
Jarak kantor Nesi dengan mes sekitar 15 menit bermobil. Ia dan pekerja lainnya diantar-jemput menggunakan minibus ke kantor. Satu mobil berisi 25 pekerja.
Semua pekerja di tempat Nesi adalah orang Indonesia, termasuk petugas keamanan di mes sampai atasannya di kantor.
“Dari bawahan kami sebagai admin, customer service, sampai SPV, manajer, bahkan si master itu orang Indonesia semua,” kata Nesi.

Setelah tiga bulan mengikuti pelatihan, Nesi merasa ada yang salah. Apa yang dijanjikan tak kunjung datang, bonus tidak ada, gaji yang diterima juga hanya sekitar Rp 3 juta per bulan. Keinginan untuk pulang ke Indonesia pun menguat.
Nesi sempat menyampaikan protes ke SPV-nya karena sudah 3 bulan kerja, masa percobaan sudah dilaluinya, tapi gaji Rp 17 juta yang dijanjikan tak kunjung terwujud. Dia lalu meminta dipulangkan ke Indonesia.
Tapi untuk pulang dan menyudahi kontrak, Nesi diminta membayar denda senilai Rp 17 juta. Uang ganti tiket dan penebusan paspornya yang ditahan perusahaan.
“Saya dijanjikan untuk selama training saya dapat gaji full itu sekitar 10 juta. Dan ketika untuk bonusnya, ketika sudah kerja setelah 3 bulan. Tapi yang saya terima ketika saya sudah masuk ke 3 bulan, itu saya terima per bulan cuma di 3 juta lebih,” kata Nesi.
Selain gaji yang tak sesuai yang dijanjikan, kondisi kerja juga menguatkan niat Nesi pulang ke Indonesia. Mereka dipekerjakan selama 12 jam, ini di luar denda tambahan jam kerja bila tak memenuhi target 8 pengguna baru dalam sehari. Nesi pun tidak diberikan libur.
“Tujuh hari full kerja. Pokoknya di sana bener-bener diperbudak,” kata Nesi.
“12 jam [kerja]. Kalau misalkan kita enggak target, enggak dapet 10 new deposit itu bisa ditambah lagi 2 sampai 3 jam bisa sampai 15 jam [kerja],” tambahnya.
Sumber




aldonistic dan kakekane.cell memberi reputasi
2
890
35


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan