- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sebelum Terlambat, Jokowi Masih Bisa Selamatkan Kelas Menengah RI


TS
mabdulkarim
Sebelum Terlambat, Jokowi Masih Bisa Selamatkan Kelas Menengah RI

Foto: Pedagang di pusat perbelanjaan ITC Mangga Dua hari ini, Senin (22/7/2024), terpantau beraktivitas normal. Terlihat sibuk menawarkan barang dagangannya kepada pengunjung atau calon pembeli yang melintasi tokonya. (CNBC Indonesia/Martya Sari)
Jakarta, CNBC Indonesia - Penurunan daya beli tengah dirasakan masyarakat Indonesia, termasuk kelas menengah. Ekonom menilai pemerintah dapat melakukan sejumlah upaya untuk menyelamatkan kelas ini supaya tidak terjun ke jurang kemiskinan.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan para konsumen Indonesia semakin menuntut adanya kebijakan yang dapat memberikan keamanan fiskal dan menjauhkan masyarakat dari kekhawatiran yang berlebihan terhadap kondisi ekonomi mereka. Dia mengatakan kebijakan-kebijakan tersebut bisa selaras dengan upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kebijakan yang mungkin dilakukan mencakup dukungan fiskal, jaring pengaman, dukungan terhadap usaha kecil dan lapangan kerja, serta penyesuaian kebijakan moneter," kata Andry dalam analisisnya, dikutip Jumat, (26/7/2024).
Andry mengatakan untuk jangka pendek, pemerintah perlu memikirkan penguatan tunjangan pengangguran dan jaring pengaman sosial lainnya untuk melindungi konsumen dari ketidakpastian keuangan. Menurutnya, kebijakan jangka pendek ini bisa mengurangi kekhawatiran masyarakat mengenai pendapatan dan dapat mendorong mereka untuk berbelanja.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga perlu mempertahankan subsidi yang lebih tepat sasaran, misalnya bantuan langsung tunai atau insentif pajak rumah tangga berpendapatan rendah dan menengah. "Hal ini dapat meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan dan mendorong konsumsi," katanya.
Upaya penguatan daya beli dinilai mendesak karena banyaknya kelas masyarakat dengan pendapatan sedang yang turun ke kelas ekonomi yang berada di bawahnya. Mengacu pada standar Bank Dunia, proporsi kelas menengah di Indonesia menciut dari 21,4% sebelum pandemi menjadi 17,4% dari populasi setelah pandemi Covid-19. Kebanyakan dari mereka jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah, yaitu aspiring middle class (AMC) dan kelas rentan.
Menurunnya proporsi kelas menengah ini ditengarai disebabkan karena merosotnya pendapatan hingga PHK yang terjadi selama pandemi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia sempat melonjak 2,67 juta menjadi 9,77 juta (7,07%) per Agustus 2020 dari 7,1 juta orang (5,35) per Agustus 2019 atau sebelum pandemi.
PHK ini membuat masyarakat kemudian beralih dari pekerja formal ke informal. Data BPS menunjukkan proporsi pekerja informal Indonesia saat ini tercatat 59,17%, melesat dibandingkan per Agustus 2019 yakni 55,88%.
Andry Asmoro mengatakan selain kebijakan jangka pendek, pemerintah juga perlu menyiapkan kebijakan jangka sedang dan panjang untuk mengatasi daya beli kelas menengah ini. Caranya dengan menciptakan lapangan kerja, berinvestasi di proyek infrastruktur, teknologi ramah lingkungan dan sektor lain yang menghasilkan lapangan kerja. Dia menilai peningkatan pada sektor ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan konsumen.
Dia menuturkan pengembangan sektor pariwisata juga cukup menjanjikan di Indonesia. Dia bilang potensi pariwisata di Indonesia sangat besar dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi karena dampak langsungnya ke masyarakat.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan insentif dari pemerintah untuk kelas menengah selama ini sangat minim. Di lain sisi, kata dia, kelas masyarakat miskin mendapatkan bantuan sosial dan kelas atas memperoleh insentif berupa tax holiday dan semacamnya.
Dia menilai insentif yang bisa diberikan kepada kelas menengah ini sebenarnya sederhana. Pemerintah cukup membuat aturan yang tepat agar daya beli kelas ini tidak tertekan. "Insentif yang bisa diberikan ke kelas menengah adalah dia jangan diganggu-ganggu pendapatannya," kata Abdul Manap.
Abdul Manap mencontohkan kebijakan yang dapat menjaga daya beli kelas ini adalah dengan cara pemerintah tidak menaikan tarif tol dan listrik. Selain itu, kebijakan yang harus dipikir ulang oleh pemerintah, kata dia, adalah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.
Dia menilai kenaikan itu bisa saja dilakukan ketika perekonomian sedang baik-baik saja. Masalahnya, kata dia, saat ini tekanan terhadap daya beli masyarakat adalah nyata. "Kita itu belum pulih terutama dari pandemi, masih bisa kita lihat sektor tenaga kerja belum membaik, terus ada inflasi yang melonjak signifikan," kata dia.
https://www.cnbcindonesia.com/news/2...as-menengah-ri
permasalahan kelas menengah






aldonistic dan 2 lainnya memberi reputasi
3
834
52


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan