Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #81 : Teman Lama
Short Story #81 : Teman Lama

Aguero tengah sekarang di tempat tidurnya. Dia membuka mata dan menyadari tak ada siapa pun menemaninya. Anak-anaknya pastilah sibuk. Toh dia cuma orang tua renta yang tinggal menunggu kematian. Tak ada juga gunanya menungguinya terus menerus.

Aguero sudah hidup selama 80 tahun, sudah waktunya dia untuk mati. Tak ada lagi yang ingin dia lakukan. Lagipula tubuhnya juga tak lagi kuat melakukan apa pun. Yang dia inginkan hanyalah tidur panjang yang nyaman.

“Hei, apa kabar?”

Dia merasa mendengar suara yang familiar. Saat membuka mata Aguero tersenyum lebar. Senyum pertamanya sejak sepuluh tahun yang lalu.

“Firmi. Sungguh sebuah kejutan.”

Mata biru dan rambut pirang pemuda itu masih sama seperti terakhir kali dia melihatnya. kulit putih kencang yang bercahaya di bawah matahari serta gigi putih yang terekspos di balik senyum lebarnya, semua masih sama.

“Sudah berapa lama? Enam puluh … empat,” ucap Aguero mengerahkan seluruh sisa ingatannya.

“Ya. Anak muda pencuri rambutan itu kini tengah sekarat. Aku kebetulan lewat daerah sini, untung kau belum mati.”

Firmi duduk di tepi tempat tidur. Aroma kamar itu terasa familiar baginya. Aroma kematian. Umur Aguero benar-benar sudah di ujung rambut.

“Apa kau takut?” tanya Firmi. Entah sudah berapa juta kali dia menanyakan itu dalam hidupnya.

“Takut? Entahlah. Kurasa tidak. Kalau aku bisa bebas dari tubuh yang sakit dan lemah ini, apa yang harus kutakutkan? Kematian kedengarannya sangat indah.”

“Padahal kau tak tahu akan ke mana.”

“Memangnya kau pernah tahu akan ke mana?”

Firmi menggeleng. Dia seorang pengelana. Pergi ke mana pun angin membawanya.

“Kurasa itu akan jadi perjalanan panjang, tapi yang jelas kau tak akan kembali lagi,” ucap Firmi. “Hei, kalau kau bertemu Nia, titip salamku padanya.”

“Cinta pertamamu itu? Ahh, aku sampai bosan mendengarnya. Baiklah, akan kulihat apa kami bisa bertemu.”

Firmi terdiam. Aguero mulai merasa napasnya memberat. Sudah lama dia tak bicara sebanyak ini, tapi dia masih ingin bicara lebih banyak lagi.

“Sudah berapa orang yang kau minta seperti itu?” tanya Aguero.

“Entahlah. Aku tak lagi menghitung. Sekarang itu sudah jadi kebiasaan. Aku bahkan tak yakin aku masih peduli.”

“Kau selalu peduli. Ingat waktu Rea jatuh dari pohon? Padahal cuma lecet di lutut, tapi kau menggendongnya sampai rumah sakit.”

“Ahh, Rea. Hmm … kau nggak nikah sama dia ya?”

“Yah, namanya juga hidup. Siapa yang tau?”

Keduanya tertawa kecil.

“Aku udah lihat banyak orang mati cuma gara-gara luka kecil. Orang kayak kau yang mati di usia tua sebenarnya jarang. Nyawa manusia itu … rapuh.”

Dia menatap langit-langit seolah melihat sesuatu yang jauh di atas sana. Aguero terbatuk kecil untuk membawa Firmi kembali ke Bumi.

“Jadi, bagaimana hidupmu? Apa kau bahagia?” tanya Firmi kemudian.

“Aku tak yakin aku bisa menjawab pertanyaan itu. Kau sendiri bagaimana? Sudah mendapat kebahagiaan yang hilang?”

Firmi terdiam. Matanya melihat ke arah jam dinding seolah menghitung berapa banyak lagi sisa waktu yang dia punya sementara Aguero menunggu dengan sabar meski waktunya tak lagi banyak tersisa.

“Dulu ada orang kaya yang bilang dia ingin hidup selamanya,” ucap Firmi pelan setelah beberapa saat. “Ada terlalu banyak yang ingin dia lakukan di Bumi jadi dia mencoba melawan kematian. Dia menghabiskan puluhan tahun meneliti, tapi akhirnya dia mati. Pada akhirnya, dia mati tanpa mewujudkan satu pun mimpinya.”

Dia berhenti sebentar, memandang masa lalu. Aguero tidak mendesaknya, tapi saat dia terbatuk parah, Firmi sadar dia tak boleh mengulur waktu lebih lama.

“Aku tak yakin sejak kapan semua terasa hambar, tapi setiap hari selalu ada hal baru yang membuatku penasaran. Sekarang semua berubah serba cepat. Mungkin tak lama lagi akan ada suatu hal yang bisa membuatku merasa hidup. Kurasa dibanding terus mencari cara untuk mati, akan lebih baik aku mencoba lebih menikmati hidup. Mungkin … suatu hari nanti ….”

Aguero terbatuk lagi. Kali ini batuknya benar-benar kering seolah semua cairan dan udara sudah keluar dari dalam tubuhnya. Hanya jiwanya yang tersisa.

“Kurasa waktuku sudah dekat. Aku ingin sendirian.”

Firmi mengangguk dan bangkit berdiri. Pertemuan terakhir ini sama sekali tidak membuatnya sedih. Perasaan itu sudah hilang sejak lama. Malah, dia bersyukur melihat kematian masih memberi kesempatan mereka untuk bertemu sekali lagi.

“Kira-kira apa yang ada di sana?” Firmi bertanya kepada dirinya sendiri. “Sangat misterius, sangat menakutkan, tapi mungkin cuma itu yang bisa diharapkan orang-orang baik. Dunia memang kejam, tapi semoga di sana tidak.”

“Kalau kita bertemu lagi, Firmi, akan kuajak kau memetik rambutan yang kutanam di sana. Kurasa di sana kita akan punya waktu untuk membicarakan semua kisahmu.”

“Ya, akan kunantikan hari itu.”

Entah mengapa Firmi bisa merasakan dewa kematian memasuki kamar begitu dia meninggalkannya. Namun Firmi tidak berbalik dan menunggu. Kematian hanya satu dari sekian banyak hal di bumi dan itu cuma perpisahan yang lain.

Tapi apa yang ada di balik kematian? Bahkan puluhan ribu tahun pun tak cukup untuk mengungkap misteri itu. Adakah dunia lain yang menunggu mereka? Apakah dunia itu begitu luas sampai bisa menampung semua yang pernah hidup di Bumi? Firmi sangat menantikannya.

Namun sebelum itu dia akan terus hidup. Bertemu, berpisah, lahir, mati, meski harus melalui jutaan putaran Firmi akan terus hidup. Dia percaya kematian menunggunya di ujung jalan dan dia akan bergabung bersama jutaan orang yang pernah dia kenal dan cintai.

Jika dia berhenti percaya, apa lagi gunanya hidup?

***TAMAT***
spaghettimiAvatar border
riodgarpAvatar border
itkgidAvatar border
itkgid dan 17 lainnya memberi reputasi
18
889
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan