- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
PENGAGUM DARI JAUH


TS
Dheaafifah
PENGAGUM DARI JAUH
Pernahkah kamu bertemu seseorang yang membuatmu merasa kecil? Bukan karena mereka sengaja melakukannya, tapi karena mereka begitu mengagumkan, begitu luar biasa, sehingga keberadaan mereka saja cukup untuk membuatmu merasa minder? Aku punya cerita tentang seseorang seperti itu.

Dia adalah awan. Ya, aku menyebutnya awan, karena dia selalu tampak tinggi dan berada di atas segalanya. Dia tahu banyak hal, memiliki banyak keterampilan, dan dikelilingi oleh orang-orang baik. Kehidupannya tampak sempurna. Kadang aku berpikir, mungkin dia belum pernah merasakan kesulitan, mungkin hidupnya selalu mulus dan bahagia.
Sedangkan aku? Aku merasa seperti hujan. Bukan karena aku kagum padanya, tapi karena setiap kali melihatnya, aku merasa semakin kecil. Aku minder. Aku merasa dia memiliki segala yang dia butuhkan dan tak perlu keberadaanku. Keluarganya, teman-temannya, semuanya hebat. Aku khawatir jika aku ada di dekatnya, dia justru akan merasa malu.
Bayangkan saja, bersamaku, dia hanya bisa makan di tempat-tempat sederhana dan jalan-jalan di bawah terik matahari. Sementara dia terbiasa dengan kenyamanan dan kemewahan. Aku mulai menjauh, bukan karena aku tidak suka padanya, tapi karena aku sadar siapa diriku. Aku hanyalah anak kecil yang sedang berusaha menjadi dewasa, yang sehari-harinya bergulat dengan kelelahan dan kegagalan.
Namun, meski begitu, aku selalu mengingatnya saat aku merasa lelah. Aku tahu, pundaknya harus kuat karena banyak kebahagiaan yang bergantung padanya. Dia adalah manusia hebat yang selalu kuceritakan dalam puisi-puisiku.
Dia senang bercerita, berbagi pendapat, dan berpuisi. Bahkan puisi-puisinya sering menemani tidurku. Tapi aku merasa, terlalu berlebihan jika aku harus berada di dekatnya. Aku lebih memilih menjadi pengagumnya dari kejauhan. Mengaguminya terlalu dekat membuatku takut dia tidak bahagia, takut dia merasa kurang.
Cerita ini tentang dia, si awan, dan aku, si hujan. Kami berlawanan. Tapi sebelum hujan itu jatuh, aku senang karena pernah bertemu dengannya di tempat teduh yang ternyaman. Sebelum jatuh terlalu dalam dan menyakitkan, aku memilih untuk tetap menjadi pengagumnya dari kejauhan.
Aku ingat betul bagaimana awalnya aku mulai mengenalnya. Pertemuan pertama kami adalah momen yang tak terlupakan. Dia dengan segala pesonanya, dan aku dengan segala keraguanku. Dia selalu tahu apa yang harus dikatakan, selalu tahu cara membuat orang lain merasa nyaman di sekitarnya. Sementara aku, hanya bisa diam dan mendengarkan, terpesona oleh setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Waktu berlalu, dan kami semakin sering berinteraksi. Aku mulai mengenal lebih banyak tentangnya. Setiap kali dia berbicara, aku merasa ada dunia baru yang terbuka di hadapanku. Dia bercerita tentang mimpi-mimpinya, tentang harapannya, dan tentang banyak hal lain yang membuatku semakin kagum. Namun, semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa kecil.
Aku ingat malam-malam ketika aku pulang ke rumah dan merenungkan semua yang dia katakan. Aku merasa, betapa beruntungnya dia memiliki hidup yang seperti itu. Aku mulai membandingkan diriku dengannya, dan perasaan minder itu semakin kuat. Aku tahu, ini bukan salahnya. Dia tidak pernah bermaksud membuatku merasa demikian. Ini adalah perasaanku sendiri, perasaan yang muncul karena aku terlalu mengaguminya.
Ada saat-saat ketika aku berpikir untuk berhenti berinteraksi dengannya. Aku merasa, mungkin ini yang terbaik untukku. Namun, setiap kali aku mencoba menjauh, ada sesuatu yang menarikku kembali. Aku tidak bisa menjelaskan apa itu. Mungkin karena aku terlalu mengaguminya, atau mungkin karena aku berharap suatu hari bisa menjadi seperti dia.
Dia adalah orang yang selalu bisa melihat sisi positif dari segala sesuatu. Bahkan dalam situasi yang sulit, dia tetap bisa tersenyum dan menemukan hal-hal baik. Sementara aku, sering kali terjebak dalam pemikiran negatif dan kekhawatiran. Aku belajar banyak darinya, tentang bagaimana menghadapi hidup dengan sikap yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, aku merasa semakin tidak pantas berada di dekatnya.
Aku ingat suatu hari dia berkata padaku, "Jangan pernah meremehkan dirimu sendiri. Setiap orang punya keunikan dan kekuatan masing-masing." Kata-katanya itu terus terngiang di kepalaku. Aku tahu dia benar, tapi sulit untuk benar-benar meyakini hal itu ketika aku melihat betapa hebatnya dia.
Malam-malamku dipenuhi dengan pikiran tentangnya. Aku membayangkan bagaimana hidupku jika aku bisa menjadi seperti dia. Tapi kemudian, aku sadar, aku tidak bisa terus menerus hidup dalam bayang-bayangnya. Aku harus menemukan jalanku sendiri, harus belajar menerima diriku apa adanya. Tapi bagaimana caranya?
Aku mulai mencari cara untuk meningkatkan diriku. Aku mencoba hal-hal baru, belajar keterampilan baru, dan berusaha lebih keras dalam segala hal yang kulakukan. Tapi setiap kali aku merasa berhasil, bayangan tentangnya selalu menghantuiku. Aku merasa, usahaku tidak akan pernah cukup untuk menyamai dirinya.
Kemudian aku menyadari, mungkin aku tidak perlu menyamai dirinya. Mungkin aku hanya perlu menjadi diriku sendiri. Aku mulai menerima kenyataan bahwa aku dan dia berbeda. Kami memiliki perjalanan hidup yang berbeda, pengalaman yang berbeda, dan cara pandang yang berbeda. Tidak ada yang salah dengan itu.
Gambar: google

Dia adalah awan. Ya, aku menyebutnya awan, karena dia selalu tampak tinggi dan berada di atas segalanya. Dia tahu banyak hal, memiliki banyak keterampilan, dan dikelilingi oleh orang-orang baik. Kehidupannya tampak sempurna. Kadang aku berpikir, mungkin dia belum pernah merasakan kesulitan, mungkin hidupnya selalu mulus dan bahagia.
Sedangkan aku? Aku merasa seperti hujan. Bukan karena aku kagum padanya, tapi karena setiap kali melihatnya, aku merasa semakin kecil. Aku minder. Aku merasa dia memiliki segala yang dia butuhkan dan tak perlu keberadaanku. Keluarganya, teman-temannya, semuanya hebat. Aku khawatir jika aku ada di dekatnya, dia justru akan merasa malu.
Bayangkan saja, bersamaku, dia hanya bisa makan di tempat-tempat sederhana dan jalan-jalan di bawah terik matahari. Sementara dia terbiasa dengan kenyamanan dan kemewahan. Aku mulai menjauh, bukan karena aku tidak suka padanya, tapi karena aku sadar siapa diriku. Aku hanyalah anak kecil yang sedang berusaha menjadi dewasa, yang sehari-harinya bergulat dengan kelelahan dan kegagalan.
Namun, meski begitu, aku selalu mengingatnya saat aku merasa lelah. Aku tahu, pundaknya harus kuat karena banyak kebahagiaan yang bergantung padanya. Dia adalah manusia hebat yang selalu kuceritakan dalam puisi-puisiku.
Dia senang bercerita, berbagi pendapat, dan berpuisi. Bahkan puisi-puisinya sering menemani tidurku. Tapi aku merasa, terlalu berlebihan jika aku harus berada di dekatnya. Aku lebih memilih menjadi pengagumnya dari kejauhan. Mengaguminya terlalu dekat membuatku takut dia tidak bahagia, takut dia merasa kurang.
Cerita ini tentang dia, si awan, dan aku, si hujan. Kami berlawanan. Tapi sebelum hujan itu jatuh, aku senang karena pernah bertemu dengannya di tempat teduh yang ternyaman. Sebelum jatuh terlalu dalam dan menyakitkan, aku memilih untuk tetap menjadi pengagumnya dari kejauhan.
Aku ingat betul bagaimana awalnya aku mulai mengenalnya. Pertemuan pertama kami adalah momen yang tak terlupakan. Dia dengan segala pesonanya, dan aku dengan segala keraguanku. Dia selalu tahu apa yang harus dikatakan, selalu tahu cara membuat orang lain merasa nyaman di sekitarnya. Sementara aku, hanya bisa diam dan mendengarkan, terpesona oleh setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Waktu berlalu, dan kami semakin sering berinteraksi. Aku mulai mengenal lebih banyak tentangnya. Setiap kali dia berbicara, aku merasa ada dunia baru yang terbuka di hadapanku. Dia bercerita tentang mimpi-mimpinya, tentang harapannya, dan tentang banyak hal lain yang membuatku semakin kagum. Namun, semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa kecil.
Aku ingat malam-malam ketika aku pulang ke rumah dan merenungkan semua yang dia katakan. Aku merasa, betapa beruntungnya dia memiliki hidup yang seperti itu. Aku mulai membandingkan diriku dengannya, dan perasaan minder itu semakin kuat. Aku tahu, ini bukan salahnya. Dia tidak pernah bermaksud membuatku merasa demikian. Ini adalah perasaanku sendiri, perasaan yang muncul karena aku terlalu mengaguminya.
Ada saat-saat ketika aku berpikir untuk berhenti berinteraksi dengannya. Aku merasa, mungkin ini yang terbaik untukku. Namun, setiap kali aku mencoba menjauh, ada sesuatu yang menarikku kembali. Aku tidak bisa menjelaskan apa itu. Mungkin karena aku terlalu mengaguminya, atau mungkin karena aku berharap suatu hari bisa menjadi seperti dia.
Dia adalah orang yang selalu bisa melihat sisi positif dari segala sesuatu. Bahkan dalam situasi yang sulit, dia tetap bisa tersenyum dan menemukan hal-hal baik. Sementara aku, sering kali terjebak dalam pemikiran negatif dan kekhawatiran. Aku belajar banyak darinya, tentang bagaimana menghadapi hidup dengan sikap yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, aku merasa semakin tidak pantas berada di dekatnya.
Aku ingat suatu hari dia berkata padaku, "Jangan pernah meremehkan dirimu sendiri. Setiap orang punya keunikan dan kekuatan masing-masing." Kata-katanya itu terus terngiang di kepalaku. Aku tahu dia benar, tapi sulit untuk benar-benar meyakini hal itu ketika aku melihat betapa hebatnya dia.
Malam-malamku dipenuhi dengan pikiran tentangnya. Aku membayangkan bagaimana hidupku jika aku bisa menjadi seperti dia. Tapi kemudian, aku sadar, aku tidak bisa terus menerus hidup dalam bayang-bayangnya. Aku harus menemukan jalanku sendiri, harus belajar menerima diriku apa adanya. Tapi bagaimana caranya?
Aku mulai mencari cara untuk meningkatkan diriku. Aku mencoba hal-hal baru, belajar keterampilan baru, dan berusaha lebih keras dalam segala hal yang kulakukan. Tapi setiap kali aku merasa berhasil, bayangan tentangnya selalu menghantuiku. Aku merasa, usahaku tidak akan pernah cukup untuk menyamai dirinya.
Kemudian aku menyadari, mungkin aku tidak perlu menyamai dirinya. Mungkin aku hanya perlu menjadi diriku sendiri. Aku mulai menerima kenyataan bahwa aku dan dia berbeda. Kami memiliki perjalanan hidup yang berbeda, pengalaman yang berbeda, dan cara pandang yang berbeda. Tidak ada yang salah dengan itu.
Gambar: google






bukhorigan dan 8 lainnya memberi reputasi
9
949
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan