- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pasar Kecewa BI Remehkan Risiko Fiskal


TS
jaguarxj220
Pasar Kecewa BI Remehkan Risiko Fiskal

Bloomberg Technoz, Jakarta - Pelemahan rupiah hingga menyentuh level terlemah baru dalam empat tahun tidak membuat Bank Indonesia (BI) bereaksi dengan mengerek bunga acuan BI rate. Dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur yang berakhir kemarin Kamis (20/6/2024), BI memutuskan menahan bunga acuan di 6,25%, sesuai ekspektasi mayoritas ekonom.
Namun, reaksi pasar setelah itu menunjukkan kekecewaan. Rupiah melemah hingga ditutup di level rekor terlemah baru Rp16.430/US$ kemarin sore.
Investor asing juga terlihat kecewa terlihat dari pergerakan rupiah di pasar offshore di mana kontrak forward NDF rupiah memecahkan rekor terlemah baru di semua tenor. NDF rupiah 1 bulan bahkan ditutup di Rp16.507/US$ semalam di pasar New York.
Menurut analis, pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yang menyebut rupiah berpotensi menguat di masa mendatang di bawah Rp16.000/US$ didukung fundamental ekonomi RI yang kuat, terlalu meremehkan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang berisiko makin menyeret rupiah ke depan.
"Akibatnya, rupiah spot terdepresiasi 0,4% dan di pasar forward melemah 0,6% ke Rp16.507/US$. Investor asing menilai BI menganggap enteng risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang bisa melemahkan rupiah," kata tim riset Mega Capital Sekuritas dalam catatannya, Jumat (21/6/2024).
Pasar hari ini diprediksi akan menunjukkan reaksi mereka terhadap keputusan itu. "Kami memprediksi yield 10Y INDON dan IndonesiaB naik menuju rentang masing-masing 7,15%-7,25% dan 5,10%-5,0%. Kami juga perkirakan yield FR0100, FR0098 dan FR0097 naik ke rentang 7,15%-7,20%, lalu FR0101 7,00%-7,05%, dan FR0086 6,75%-6,80%. Tekanan depresiasi akan mewarnai pergerakan Rupiah hari ini dengan target rentang Rp16.450-Rp16.550/US$," kata Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi.
Dalam pernyataannya pada konferensi pers kemarin, Perry bilang, BI rate di 6,25% masih memadai di mana investor asing sejauh ini masih melakukan pembelian instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp39,96 triliun pada 22 Mei-19 Juni lalu sehingga total kepemilikan asing di instrumen jangka pendek berbunga tinggi itu kini mencapai Rp179,86 triliun.
Perry juga menyatakan keyakinannya bahwa rupiah akan menguat di masa mendatang di bawah Rp16.000/US$ didukung oleh fundamental ekonomi RI yaitu inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi relatif baik, pertumbuhan kredit bank yang double digit serta imbal hasil investasi yang menarik di atas 7%.
Dalam pandangan Bahana Sekuritas, peluang penguatan rupiah terbuka bila melihat penyebab kejatuhan rupiah belakangan ini. Tekanan yang dialami rupiah saat ini salah satunya adalah karena permintaan dolar AS yang memuncak di mana kuartal dua memang secara historis menjadi masa padat demand valas.
Baru-baru ini ada kontrak forward (DNDF) yang jatuh tempo senilai US$600 juta yang tidak bisa diperpanjang. Itu menggiring para pelaku pasar menyerbu pasar spot untuk mencari dolar AS di tengah perburuan dolar juga oleh korporasi yang terdesak kebutuhan membayar dividen, lalu belanja rutin valas Pertamina untuk impor migas.
Pada saat yang sama, para hedge fund dan bank asing yang membangun posisi jual (short) USD/IDR terpaksa melakukan shortcover posisi mereka.
"Posisi itu dibangun pada akhir Mei ketika indeks dolar AS turun 1% dalam sepekan dengan imbal hasil Treasury yang sedikit lebih rendah. Berkebalikan dengan ekspektasi para trader, rupiah tidak menguat dibanding valuta emerging market lain bahkan melemah dari Rp16.090/US$ menjadi Rp16.400/US$ karena tingginya permintaan valuta asing di dalam negeri," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas.
Faktor-faktor itu sifatnya jangka pendek sehingga begitu hal itu berakhir, rupiah berpeluang menguat seiring permintaan valas yang menurun. Hanya saja, bila dolar AS terus menguat akibat situasi di pasar global, BI sebaiknya tetap waspada karena hal yang terjadi pada Oktober lalu bisa kembali terulang.
Untuk sementara mengimbangi tekanan global, langkah BI mengoptimalkan SRBI dengan mengimingi level bunga tinggi masih menjadi pilihan paling masuk akal, selain mengintervensi pasar spot, DNDF juga pasar surat utang negara.
BI mencatat, per 14 Juni, mereka telah menerbitkan SRBI senilai Rp666,5 triliun, lalu SVBI dan SUVBI sebesar US$2,03 miliar dan US$935 juta. Asing menguasai 27% total outstanding SRBI.
"Instrumen ini memang memicu efek crowding out likuiditas di pasar karena menggeser kurva imbal hasil dan menaikkan yield di pasar sekunder. Namun, sepertinya saat ini instrumen-instrumen inilah yang menjadi pilihan paling mungkin sekarang," kata Satria.
Source: https://www.bloombergtechnoz.com/det...-risiko-fiskal
Potensi menguat sih ada, potensi melemah lebih ada lagi...

Sok kepedean sih ga mau naikin suku bunga, padahal SRBI udah 7%
Pede juga nih Wowo ga mau nambah utang?
0
408
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan