Kaskus

News

nekoyashikkiAvatar border
TS
nekoyashikki
Presiden Jokowi Didesak Cabut PP 25/2024 Soal Izin Tambang Ormas
Presiden Jokowi Didesak Cabut PP 25/2024 Soal Izin Tambang Ormas
Karena sejumlah pasal dalam PP 25/2024 bertentangan dengan UU Minerba.
Presiden Jokowi Didesak Cabut PP 25/2024 Soal Izin Tambang Ormas
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara untuk memberikan izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas) menuai kritik publik luas. Salah satunya berasal dari koalisi masyarakat sipil yang mendesak Presiden Jokowi segera membatalkan kebijakan tersebut.

Koordinator Nasional Publish What Yo Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho menjelaskan dalam Pasal 83A PP 25/2024 memberlakukan penawaran prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) kepada badan usaha milik organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan.

Kemudian, pada Pasal 195B ayat (2), mengatur  pemerintah dapat memberikan perpanjangan bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak/Perjanjian selama ketersediaan cadangan dan dilakukan evaluasi setiap 10 tahun.

Di mana, kedua pasal tersebut bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). “Kami mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut PP Nomor 25 Tahun 2024 karena pasal-pasalnya bertentangan dengan UU Minerba,” ujarnya melalui keterangan persnya, Rabu (5/6/2024).

Dia menjabarkan Pasal 83A PP 25/2024 bertentangan dengan Pasal 75 ayat (2) dan (3) UU Minerba di mana prioritas pemberian IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Selain itu, Pasal 74 Ayat (1) UU Minerba juga menyebutkan bahwa pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah.

Tidak ada satupun pasal dalam UU Minerba, yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk memberikan prioritas pemberian IUPK kepada ormas. Ini jelas-jelas pelanggaran terhadap UU Minerba secara terang benderang,” ujarnya.

Aryanto melanjutkan, Pasal 195B Ayat (2) PP 25/2024 bertentangan Pasal 169A UU Minerba, di mana seharusnya Kontrak karya (KK) dan  PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak /Perjanjian setelah memenuhi dua persyaratan.

Pertama, kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B.

Kedua, kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B.

“Perpanjangan kepada IUPK tidak boleh serampangan dan ugal-ugalan dengan memberikan selama ketersediaan cadangan, yang berarti bisa beroperasi sampai cadangan habis. Janganlah menggunakan jargon nasionalisme atas kepemilikan saham Indonesia di PT Freeport Indonesia untuk melakukan pembenaran pelanggaran terhadap UU Minerba,” ujarnya.

Dia mengingatkan pemerintah untuk belajar kembali tentang filosofi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Mulai  dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sejarah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan, UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, hingga UU Minerba saat ini.

Selain itu, dia menjelaskan UU Minerba pemberian prioritas IUPK kepada BUMD, BUMD dan swasta melalui mekanisme lelang WIUPK secara bertahap, dan bukan kepada Ormas Keagamaan. Sebab hal tersebut bagian dari pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

”Yang kita khawatirkan, menteri pengusul Pasal 83A dalam PP 25/2024 tidak paham konteks ini, dan hanya berupaya menjalankan wacana presiden Jokowi. Seharusnya menteri-menteri pembantu presiden bisa memberikan advice kepada presiden, bukan malah menjerumuskan presiden untuk meneken PP yang melanggar UU,” katanya.

Aryanto menilai terdapat berbagai risiko yang pemerintah tidak siap untuk  mengimplementasikan pasal ini. Mulai dari resiko teknis dan mekanisme lelang WIUPK, teknis pertambangan, lingkungan, konflik horizontal, konflik kepentingan, korupsi dan lain-lainya.

“Ini bukan soal apakah Ormas Keagamaan  dan Ormas lain tidak punya kapasitas dan tidak boleh memiliki amal usaha. Karena, dalam praktiknya banyak Ormas memiliki amal usaha dan berhasil dengan baik. Yang menjadi persoalan adalah pelanggaran atas UU MInerba dan mekanisme Penawaran secara prioritas-nya. Kami justru khawatir Ormas keagamaan terjebak dengan aturan bermasalah ini” ungkap Aryanto.

Kekhawatiran lainnya ini akan menjadi preseden bagi Pemerintah untuk bagi-bagi proyek secara prioritas kepada Ormas di sektor lain, seperti infrastruktur misalnya, meskipun melanggar aturan UU. PWYP Indonesia juga menyoroti tidak transparan dan tidak partisipatifnya pembahasan revisi PP 96/2021.

“Ini problem lama, berulang dan akut di masa Pemerintahan Presiden Jokowi” jelas Aryanto.

Sementara itu, Koordinator Pokja 30 Kalimantan Timur, Buyung Marajo, menambahkan terdapat ribuan lubang bekas tambang termasuk batubara tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar lebih dari 1.735 lubang tambang batubara berada di Kaltim. Dia menyampaikan lubang itu lebih menyerupai danau yang berukuran mulai dari ratusan meter persegi hingga puluhan hektar.

Melihat kondisi tersebut, dia menegaskan lebih baik selesaikan dulu persoalan-persoalan buruknya tata kelola pertambangan ini alih-alih menawarkan WIUPK kepada Ormas keagamaan. Buyung mengingatkan penawaran WIUPK eks PKP2B secara prioritas kepada Ormas Keagamaan juga bisa memicu potensi konflik kepada masyarakat lingkar tambang, masyarakat adat serta dengan ormas-ormas kesukuan yang ada di daerah.

”Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah bukan sekedar bagi-bagi konsesi saja,” pungkasnya.

SUMBER



akankah PP ini ikut masuk ke meja MK menyusul PP Tapera, dari awal sudah aneh sekali dan terkesan maksa, realitanya ternyata juga tumpang tindih aturannya emoticon-Cendol (S)
0
347
27
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan