- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sederet Artis Indonesia Ikut Gaungkan All Eyes on Papua


TS
mabdulkarim
Sederet Artis Indonesia Ikut Gaungkan All Eyes on Papua

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah artis Indonesia ramai-ramai mengunggah poster bertuliskan All Eyes on Papua di media sosial. Itu sebagai bentuk dukungan mereka terhadap masyarakat Papua yang tengah berjuang untuk menolak pembangunan perkebunan sawit di Boven Digoel, Papua Selatan seluas 36 ribu hektar.
Masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan keduanya kini sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Mereka datang menggelar doa dan ritual di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat pada Senin pagi, 27 Mei 2024. "Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari tanah Papua ke Jakarta untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan,” kata pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, Hendrikus Woro, pekan lalu.
Lembaga peradilan tertinggi tersebut menjadi harapan terakhir masyarakat Suku Awyu untuk bisa mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhur dan menghidupi marga Woro turun-temurun.
Artis Indonesia Ramaikan All Eyes on Papua
Sebagai upaya untuk melindungi hutan adat Papua yang terancam dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, sejumlah artis ternama Indonesia ikut bersuara dengan mengunggah foto kampanye bertuliskan All Eyes on Papua.
Ada Luna Maya, Atta Halilintar, Aurel Hermansyah, Nikita Mirzani, Febby Rastanty, Pandji Pragiwaksono, Kiky Saputri, Tantri Kotak, Shireen Sungkar, Zaskia Adya Mecca, dan masih banyak lagi. Mereka juga mengajak jutaan pengikutnya untuk menandatangani petisi dari link yang tertera.
Sampai berita ini ditulis, poster tersebut sudah dibagikan oleh lebih dari 2,2 juta pengguna Instagram. Poster berlatar hitam putih dengan gambar mata di tengah itu tidak hanya bertuliskan All Eyes on Papua, namun lebih dari itu. Berisi penjelasan panjang mengenai alasan-alasan masyarakat Indonesia perlu bersama-sama membantu menyuarakan hak-hak warga Papua, berikut isinya:
"Just in case buat yang belum tau, jadi hutan di Papua tepatnya di Boven Digul Papua yang luasnya 36 ribu atau lebih dari separuh luas Jakarta, akan dibabat habis dan dibangun perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari."
"Pada 27 Mei 2024, masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya berdemo di depan Mahkamah Agung dan menolak pembabatan hutan ini, karena hutan ini adalah hutan adat tempat mereka hidup secara turun temurun, serta sumber penghidupan, pangan,budaya, dan sumber air akan hilang jika hutan ini dibangun perkebunan sawit."
"Selain berpotensi menghilangkan hutam alam, proyek perkebunan sawit ini juga menghasilkan emisi 25 juta ton CO2. Jumlah emisi ini sama dengan menyumbang 5 persen dari tingkat emisi karbon tahun 2030. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh seluruh warga Papua, tetapi berdampak ke seluruh dunia."
"Maka dari itu, ayo kita bantu menyuarakan hak-hak warga Papua dan dukung terus perjuangan suku Awyu dalam mempertahankan hutan adat mereka. Kalian juga bisa mendukung penyelamatan hutan adat Papua dengan cara mengisi petisi di bawah ini: https://www.change.org/p/hutan-selua...-sawit-pt-ial.
https://seleb.tempo.co/read/1875480/...-eyes-on-papua
ancaman kerusakan lingkungan akibat pembukaan perkebunan sawit..
Suku Moi dan Awyu Gugat Pemprov Papua, Mengadu ke MA soal Korporasi Monopoli Kebun Sawit

zoom-inlihat fotoSuku Moi dan Awyu Gugat Pemprov Papua, Mengadu ke MA soal Korporasi Monopoli Kebun Sawit
KOMPAS.COM/FAQIHAH MUHARROROH
Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, serta sejumlah aktivis menggelar aksi damai di depan Mahmakah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024), berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.
TRIBUNSORONG.COM, SORONG - Masyarakat adat suku Moi dan Awyu mengadu ke Mahkamah Agung (MA) perihal adanya korporasi yang diduga mengambil hutan tempat tinggal mereka di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.
Mereka juga mendesak agar MA memberi putusan hukum dan membatalkan izin perusahaan sawit yang mengambil tanah adat.
Agar keluhannya didengar, perwakilan suku Moi dan Awyu menggelar aksi damai, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan organisasi masyarakat sipil di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat pada Senin, 27 Mei 2024.
Mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor MA, sembari mengenakan busana khas suku masing-masing.
Seruan ini disampaikan Suku Awyu dan Moi saat menggelar aksi damai, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan organisasi masyarakat sipil di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024).
Mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor MA, sembari mengenakan busana khas suku masing-masing.
Masyarakat Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan Moi di Sorong, Papua Barat Daya, menggugat pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka.
"Kami datang dari Tanah Papua ke ibu kota Jakarta untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan,” ujar perwakilan dari suku Awyu, Hendrikus 'Franky' Woro.
Adapun perjuangan masyarakat adat Papua ini telah dilakukan sejak 2023.
Setelah bolak-balik ke pengadilan, gugatan keduanya saat ini sampai tahap kasasi di MA.
"Undang-undang Dasar 1945 dan semua prosedur undang-undang itu sudah ada. Yang pertama, kami hanya minta penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan kepada kami masyarakat kecil," seru Hendrikus.
Berjuang atas hak hidup dan lingkungan
Hendrikus menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL) dengan konsesi lingkungan seluas 36.094 hektar, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta.
Izin tersebut berada di hutan adat marga Woro-woro, bagian dari suku Awyu.
Namun, gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua.

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, usai menyerahkan surat kepada Mahkamah Agung di Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024). (KOMPAS.COM/FAQIHAH MUHARROROH)
Oleh karena itu, ia mengajukan permohonan kasasi kepada MA terkait perkara tersebut.
Melalui aksi damai ini, ia berharap MA dapat mengabulkan kasasi tersebut sehingga hutan yang diwariskan turun-temurun tetap terjaga.
Pasalnya, kehadiran hutan dan tanah adat telah dijadikan sebagai pusat penghidupan bagi mayoritas masyarakat adat di Papua.
Mereka berburu, berkebun, membangun rumah, mengolah pangan, hingga menghasilkan obat-obatan di sana.
"Saya ingin hidup aman dan damai. Kami berjuang tentang harkat dan martabat manusia, jati diri. Kami mau hidup di hutan aman, cari makan bebas, tidak mau konflik. Coba lihat di lapangan, apa yang saya perjuangkan ini kebenaran," papar Hendrikus.
Tak hanya bagi masyarakat adat Papua, alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit akan menghilangkan daya dukung lingkungan alam.
Selain kasasi perkara PT IAL, sejumlah masyarakat adat Awyu juga mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel.
PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata perwakilan perempuan adat Awyu, Rikarda Maa.

Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, serta sejumlah aktivis menggelar aksi damai di depan Mahmakah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024), berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka. (KOMPAS.COM/FAQIHAH MUHARROROH)
Sementara itu, sub suku Moi Sigin saat ini tengah melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektar hutan adat untuk perkebunan sawit.
PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40.000 hektar di Kabupaten Sorong.
Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha.
Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.
Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin kemudian melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023.
Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat kembali mengajukan kasasi ke MA pada 3 Mei 2024.
“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu, hutan adalah apotek bagi kami, kebutuhan kami semua ada di hutan," ujar perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi, Fiktor Klafiu.
"Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” imbuhnya.
https://sorong.tribunnews.com/2024/0...awit?page=all.
itu pemberian izin sama Pemprov jangan-jangan peninggalannya Lukas Enembe kah





aldonistic dan mubafirs memberi reputasi
2
600
26


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan