Kaskus

News

ganesha09part7Avatar border
TS
ganesha09part7
Sinyal 'Vibecession', Ekonomi RI Tidak Baik-Baik Saja
https://www.bloombergtechnoz.com/det...baik-baik-saja


Bloomberg Technoz, Jakarta - Perekonomian Indonesia pada tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo setelah dua periode berkuasa, terlihat suram. Pendapatan negara merosot pada April terutama karena kelesuan sektor usaha yang terseret imbas pelemahan harga komoditas global ditambah daya beli masyarakat yang semakin tertekan.

Pada saat yang sama, belanja negara terlihat ekspansif ketika laju pembiayaan bersih pemerintah tidak ekspansif di awal tahun. Hal itu memunculkan risiko 'penumpukan' kebutuhan pembiayaan belanja negara di semester dua yang besar (backloading).

Di tengah masih tingginya ketidakpastian global terutama terkait arah bunga acuan Amerika dan ketegangan geopolitik Timur Tengah yang bisa berdampak pada lonjakan harga minyak dunia dan instabilitas nilai tukar rupiah, ada risiko fiskal yang lebih besar di sisa tahun ini yang perlu dicermati.


Terlebih belakangan makin banyak sinyalemen rencana kenaikan harga barang-barang yang diatur oleh pemerintah (administered price) yang dapat mengerek ekspektasi inflasi dan mendorong Bank Indonesia kembali menaikkan bunga acuan.

Belanja pemerintah yang ekspansif tidak diimbangi oleh pembiayaan yang bergegas yang terindikasi dari rendahnya nilai pembiayaan bersih, dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) alias utang. Hanya sekitar 13,6% dari target tahun ini. Rendahnya angka pembiayaan bersih itu terutama karena kebutuhan pembayaran bunga utang yang tinggi dan pembiayaan kembali (refinancing) utang jatuh tempo yang juga tinggi.

Waspadai risiko pembiayaan dari 'backloading' penerbitan SBN yang mengimplikasikan akan ada tekanan fiskal lebih besar pada semester dua tahun ini bila bunga acuan kembali naik," kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan dalam catatan yang dilansir, Selasa (28/5/2024).

Dalam publikasi APBNKita awal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan, penerimaan negara turun 7,6% year-on-year pada April 2024. Penurunan itu terutama akibat kelesuan penerimaan pajak dari badan usaha atau korporasi di mana Pajak Penghasilan (PPh) badan anjlok hingga 35,5%. Sementara setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga turun 13,9%.


Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri atas pembayaran dividen dan royalti dari BUMN dan industri sektor minyak dan gas juga turun 6,7% year-on-year. Setoran pajak dari industri pengolahan juga turun 13,8% padahal industri ini menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak negara dalam empat bulan terakhir dengan persentase mencapai 26%.

Pada sisi belanja, pemerintah terlihat masih ekspansif dengan kenaikan hingga 11% terutama untuk pembayaran THR para PNS. Stimulus THR itu membawa pertumbuhan ekonomi kuartal 1 lalu cukup terungkit berkat belanja masyarakat yang terdongkrak musim Lebaran.

Namun, perlu dicermati juga belanja di sektor lain yang mungkin imbas ke sektor riil tidak terlihat. Pada April, belanja barang negara naik 30,3% terutama untuk pengadaan kebutuhan pemilu yang mencapai Rp19,8 triliun, lalu belanja alutista untuk Kementerian Pertahanan sebesar Rp11,3 triliun dan Kepolisian RI sebesar Rp9,5 triliun.

Saat ini, anggaran negara memang masih mencatat surplus Rp75,7 triliun meski penerimaan lesu. Namun, dengan masih besarnya ketidakpastian global ke depan yang bisa memacu harga minyak dunia makin mahal dan mengancam nilai tukar rupiah, ditambah potensi kenaikan ekspektasi inflasi akibat sinyalemen kenaikan harga barang-barang yang diatur pemerintah, menempatkan kondisi keuangan negara dalam risiko lebih besar. "Ketegangan fiskal ini menandakan ada 'vibecession' dalam perekonomian," kata Satria.

Vibecession, sebuah istilah yang populer sejak 2022, untuk menyebut adanya keterputusan antara perekonomian suatu negara dengan persepsi umum masyarakat yang cenderung pesimistis.

Indikator pertumbuhan ekonomi dan inflasi mungkin masih sesuai harapan di mana Produk Domestik Bruto (PDB) masih tumbuh 5,11% pada kuartal 1-2024, sedangkan inflasi juga masih dalam batas proyeksi Bank Indonesia di 3% pada April lalu.
Akan tetapi bila dicermati lebih dalam, pertumbuhan ekonomi RI secara kuartalan pada kuartal 1-2024 mencatat kontraksi dengan penurunan pertumbuhan di angka -0,83% dibanding kuartal IV-2023. Penyebabnya adalah penurunan pertumbuhan beberapa sektor usaha seperti sektor konstruksi yang mencatat penurunan -2,57%, lalu sektor jasa pendidikan yang minus 10,34%, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang turun -7,48%.

Beberapa sektor penyerap tenaga kerja banyak (padat modal), seperti industri pengolahan juga mencatat kontraksi di kuartal satu tahun ini -0,35%, sedang sektor pertanian hanya tumbuh 0,01% begitu juga sektor perdagangan yang cuma tumbuh 0,12%.

Pelemahan sektor usaha yang menyerap tenaga kerja banyak perlu mendapat perhatian agar tidak berlanjut di sisa tahun dan memicu lonjakan angka pengangguran. Data terakhir yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang, masih lebih tinggi dibanding masa prapandemi di 6,9 juta orang.

Mengacu pada hasil Survei Konsumen terakhir yang dilansir oleh BI, ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan masih meningkat terindikasi dari Indeks Ekspektasi Konsumen per April yang naik ke zona optimistis di 136 dibanding Maret di 133,8.

Sementara bila melihat data lain seperti Mandiri Spending Index yang mengukur laju belanja dan tabungan per individu, terlihat ada tekanan terutama di kelompok menengah.

Indeks tabungan kelompok menengah, konsumen dengan rata-rata tabungan Rp1 juta hingga Rp10 juta, terlihat menurun hingga di bawah 100 pada Mei di mana terlihat laju penurunan telah berlangsung sejak November tahun lalu, persis ketika harga beras terbang tinggi. Pada saat yang sama, indeks belanja turun tajam setelah Lebaran berlalu.

Berbagai sinyalemen kenaikan harga barang yang diatur pemerintah (administered price), mulai dari harga minyak goreng bersubsidi, harga beras hingga tiket pesawat, dapat menaikkan ekspektasi inflasi.

Bila kebijakan itu benar-benar direalisasikan terutama akibat tertekannya kondisi keuangan negara, inflasi domestik bisa naik melampaui batas atas proyeksi bank sentral. Ujung-ujungnya BI rate kembali naik yang akan semakin menekan sektor riil. Kesemuanya bisa jadi lingkaran setan tak berujung yang perlu diwaspadai.


Komen ts : namanya harusnya plongocession


0
752
48
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan