Mancing dilaut kata teman saya itu menyenangkan, tapi buat yang gak biasa mungkin mengerikan. Begitu bayangan saya ketika ditengah laut berada disebuah perahu nelayan dari malam sampai dini hari, selintas sepertinya damai tapi terbayang kalo ada hiu tiba tiba. Ungkapan saya soal hiu membuat teman teman saya tertawa.


Obrolan malam saat saya dan teman teman sedang membakar ikan hasil mancing dilaut. Suasananya syahdu sekali dipinggir sawah dengan cahaya bulan purnama, suara suara jangkrik, dan kodok membuat aroma pedesaan jadi makin terasa kala malam hari.





Bicara soal percintaan bukanlah golongan kami, biasanya kita ngobrol soal kegiatan, keluarga, pekerjaan atau bercanda dengan jokes bapack bapack yang agak cringes. Saya dulu gak akan ngira bisa dapat teman banyak setelah saya pindah tinggal dari bekasi ke kuningan. Karena saya gak terlalu fasih buat pakai bahasa sunda, tapi sudah jalan 4 tahun saya beradaptasi mulai ngobrol pake bahasa sunda malah banyak yang bilang saya gak cocok buat ngomong dengan logat ala ala bekasi.

“Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Saya mencoba untuk berdaptasi dengan segala perbedaan kultur dan budaya. Entah mengapa ketemu dan bergaul bersama orang baru membuat saya makin berkesan, karena setiap pertemuan ada cerita cerita baru, budaya baru, latarbelakang baru yang membuat saya tidak jenuh dengan hal itu.

Begitu pula dengan fase hidup saya saat ini, saya merasa menjadi baru dari fase anak remaja alay tanggung menjadi laki laki yang siap menghadapi kehidupan dimasa depan. “bagai nelayan mencari ikan ditengah laut. kita gak tau angin apa yang bakal menerjang perahu kita, atau ikan hiu makan yang siap melahap, tapi nelayan tetap survive berapapun hasil tangkapannya itulah hasil dari jerih payah yang kita bawa untuk keluarga”