ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #6 : Nasi Jumat


Di kompleks perumahan A ada dua masjid yang biasa digunakan untuk kepentingan beribadah. Tak ada yang khusus dari kedua masjid itu. Ukurannya sama besar, jemaahnya juga sama banyak. Hanya saja masjid A populer karena setiap salat Jumat ada sedekah makanan yang lumayan untuk mengganjal perut. Karena itulah, khusus salat Jumat, masjid A punya jamaah yang jauh lebih banyak dibanding masjid B.

Seto sangat suka mengincar nasi berkah setiap Jumat di masjid A. Jumlah nasi yang terbatas selalu membuat Seto mengincar shaf belakang agar bisa langsung berlari menuju pintu keluar tempat nasi berkah dijajarkan. Hanya sedetik setelah salam dia sudah berlari bersama bocah-bocah kompleks dan berperang mengambil sebanyak mungkin nasi kotak. Biasanya Seto kembali ke kosan dengan dua nasi kotak di tangan. Satu untuk makan siang dan satu untuk makan malam.

Aku sih tak pernah ikut-ikutan. Malu rasanya bersaing dengan anak Sd hanya demi nasi kotak. Karenanya aku selalu salat Jumat di masjid B. Jemaahnya lebih sedikit jadi aku bisa salat lebih tenang.

Awalnya aku tak terlalu memikirkan perbedaan masjid ini. Toh ujung-ujungnya tetap salat. Meski demikian belakangan ini Seto mulai sedikit aneh. Entah kenapa dia jadi lebih sering bicara tentang politik. Pemilu memang semakin dekat, tapi Seto yang kukenal tak pernah peduli pada siapa yang jadi presidan. Yang penting perutnya kenyang.

“Paslon yang itu nggak bagus,” ucapnya keras-keras saat kami melewati baliho salah satu paslon. “Kerjanya bohong terus. Suka ingkar janji.”

Apa yang dia katakan bukanlah opini yang tidak populer, tapi tetap saja aneh karena Seto yang bercerita.

“Kalau paslon yang itu baru bagus. Peduli sama rakyat kecil. Mengayomi, bukan memanfaatkan.”

Pasti ada yang sudah membayarnya agar jadi buzzer, pikirku. Secara ajaib dia bisa tau semua kelebihan paslon A dan semua kejelekan paslon B. Sebagai orang yang menghargai kebebasan bicara, aku tak berkomentar apa pun, tapi saat dia mulai membujukku untuk memilik paslon A aku pun harus mengambil tindakan tegas.

“To, kau tahu semua ini dari mana sih?”

“Dari Pak Hajo Sodik,” jawabnya enteng. “Makanya kalau jumatan di masjid A. Dapat nasi kotak plus dapat ilmu.”

Entah kenapa aku merasa tak enak saat tahu khotbah Jumat membahas tentang politik. Kalau cuma sekedar politik ya tidak masalah, tapi kalau sudah menggiring opini ke salah satu paslon ….

Karena penasaran aku pun memilih salat di masjid A pada hari Jumat berikutnya. Benar kata Seto, khotbahnya membahas tentang ciri-ciri pemimpin yang baik. Memang tidak terang-terangan, tapi tetap saja arah opininya bisa terlihat.

Dalam sekejap benang merahnya pun tersambung begitu saja. konspirasi demi konspirasi terhubung dan membentuk garis lurus dalam pikiranku.

Bagaimana kalau nasi Jumat itu merupakan sumbangan dari sebuah partai? Nasi Jumat menarik jemaah dan jemaah yang banyak pelan-pelan digiring dengan narasi di setiap khotbah? Kalau benar begitu ….

Aku tak yakin apa yang harus kulakukan. Bahkan jika itu merupakan sebuah pelanggaran aku tak punya bukti untuk melaporkan. Cuma gara-gara nasi Jumat, banyak hal sudah dirusak. Politik, agama, dan orang-orang bodoh seperti Seto.

Akhirnya aku pun pulang dengan nasi kotak di tangan. Nasi kotak yang enak dengan ayam goreng sebagai lauknya. Banyak orang yang datang bukan untuk mencari pahala, tapi mencari nasi kotak. Tanpa mereka sadari mereka pulang bersama dengan sugesti yang entah akan merubah pemikiran mereka atau tidak.

Aku hanya berharap, sebuah harapan kecil, bahwa masa depan negara ini tak akan ditentukan hanya dengan seporsi nasi kotak.

***TAMAT***
sormin180
makgendhis
Yoayoayo
Yoayoayo dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan