DiNa853Avatar border
TS
DiNa853
Ketika Cemburu Menjadi Racun


Di sudut ruang dengan cahaya temaram, aku berusaha menyulam hati yang terlanjur tertikam. Kepala terbenam di antara dua kaki yang tertekuk, teringat perlakuan seseorang berhati busuk. Tumpah sudah mendung berisi buliran air mata yang tak lagi terbendung.

Dengan sadarnya dia yang kuanggap saudara tega halalkan segala cara. Mulanya dia memang hanya teman biasa, tetapi rasa sayangku sangat luar biasa. Kedua orang tuanya sudah tiada, tinggal dirinya sebatang kara. Karena aku anak tunggal, maka aku memaksa dia untuk tinggal. Ayah dan ibuku sama sekali tak keberatan, bahkan rela menganggapnya sebagai anak.

Sejak saat itulah, aku dan Talita menjadi sangat dekat. Kian hari hubunganku dengannya kian rekat. Aku merasa tak sendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya hanya berteman sepi. Bagaimana tidak, ayah dan ibu sibuk dengan pekerjaan, hingga terkadang lupa ada aku yang butuh perhatian. Memang ada Mbok Sumi yang setia menemani. Namun, wanita paruh baya itu tak bisa setiap waktu berada di sisi.

Talita adalah gadis periang, sehingga bersama dirinya aku tak pernah merasa bosan. Dia menemaniku tumbuh hingga dewasa, seperti sekarang. Tak ada pun satu firasat buruk tentang dirinya, karena kami memang saling terbuka.

"Pokoknya, kita harus sama-sama terus, Lit," kataku kala itu. Kala kami sedang bersepeda bersama di taman kota.

"Haha, ya, kalau kita udah berumah tangga masa sama-sama terus, si, Ran," sanggahnya tak terima.

"Ya, minimal kita tetanggaan, kan, biar bisa saling sapa, terus anak-anak kita bisa main bareng gitu ... kan, seru, " timpalku sambil mengkhayalkan masa depan.

"Ah, aku mah ogah, bosen sama-sama mulu. Ada baiknya kita pisahan, biar kalau ketemu ada kangen-kangennya gitu."

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapannya. "Iya, bener juga, sih, tapi kok, aku nggak pernah bosen, ya, deket sama kamu, Lit."

Dia mencebik, "Ah, lebay kamu, Ran! Mending kita pulang," sahut Talita, lalu mengayuh kembali sepedanya.

Aku pun berusaha mengejarnya ditemani dengan udara yang hangat pagi itu. Namun, semakin aku mengejarnya, Talita justru semakin cepat melajukan sepedanya.

"Lit, tunggu!!!" teriakku sekencang mungkin.

Talita terlihat mengerem sepedanya, lalu menoleh ke arahku. "Ayo, kejar! Payah kamu, Ran," cibirnya, kemudian mengayuh sepedanya kembali.

"Hiiih, Talitaaa ...," teriakku lagi, kali ini aku putuskan untuk mengayuh sebisaku, membiarkan dirinya pulang terlebih dahulu. Ah, aku memang tak selincah Talita yang hobi bersepeda itu.

Sampai di gang menuju rumah, aku sudah tak mendapati siluet Talita. Dia mungkin sudah sampai di rumah sedari tadi, pikirku. Namun, sampai di depan rumah sudah banyak tetangga berkerumun. Aku pun meletakkan sepeda asal, lalu berlari ke dalam melihat apa yang terjadi. Beberapa petugas kepolisian sudah berada di sana. Mereka harus membawa jenazah ayah dan ibu untuk diautopsi.

"Lit ... Ayah sama Ibu kenapa?" cecarku sembari mengguncang tubuhnya.

"Aku juga, nggak tahu, Ran, aku pulang rumah sudah ramai," jelasnya dengan nada bergetar. Aku pun menggeleng frustasi, tangisku pecah seiring sesak yang memenuhi dada.

Mbok Sumi adalah orang pertama yang mengetahui ayah dan ibu telah tiada. Orang-orang berdatangan seiring teriakan minta tolong wanita sepuh itu. Tetangga yang hadir, termasuk Pak RT yang dengan sigap segera melapor kejadian itu kepada petugas yang berwajib.

Mau tidak mau Mbok Sum adalah orang pertama yang harus ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dugaan sementara, orang tuaku meninggal karena keracunan makanan dan minuman yang dikonsumsinya saat sarapan. Tubuhku mendadak lemas, mendengar keterangan dari salah seorang petugas kepolisian itu. Aku akan sangat kecewa jika ternyata pelakunya adalah wanita yang sejak kecil sudah menemaniku itu.

Setelah dilakukan penelusuran dan terkumpul beberapa bukti, ternyata semua mengarah pada Mbok Sum. Sekuat apa pun wanita itu mengelak tidak melakukan apa pun, di kamarnya ditemukan botol kosong cairan Arsenik. Di mana Arsenik adalah racun paling mematikan dan sulit terdeteksi, sebab tidak berbau, tidak berwarna dan tidak berasa. Meskipun aku sempat sangsi, tetapi polisi sudah menetapkan Mbok Sumi sebagai tersangka.

Talita memeluk, mengusap-usap punggungku seolah berusaha meredam kekecewaanku. "Kenapa Mbok Sumi tega, Lit?" Aku meracau di tengah derasnya air mata yang sudah membasahi pipi.

"Sudahlah, Rania, aku juga tak menyangka, tapi apa boleh buat? Kita ikuti proses hukum yang berlaku saja," ujar Talita menenangkan.

"Apa motifnya meracuni ayah dan ibu, Lit?" tanyaku lirih, masih belum percaya dengan kenyataan yang sedang berseliweran.

Talita terlihat mengendikkan bahu, "Entahlah, Ran," sahutnya lemah, "Oh, ya, nanti ada pengacara datang yang akan bantu kita urusin kasus ini, aku mau ke toko dulu," lanjutnya, lalu pergi untuk mengurus toko bangunan mililk ayah dan butik milik ibu yang beberapa hari ini menjadi tugas Talita.

Sementara itu, aku hanya menatap nanar kepergiannya. Dia dengan gagah tak ingin menutup bisnis kedua orang tuaku dengan dalih ada karyawan yang butuh makan. Oleh sebab itu, dia rela bolak-balik toko dan rumah, demi nasib para karyawan dan juga aku tentunya yang masih sangat terpukul. Sungguh, bila tidak ada Talita mungkin aku juga ikut mati saja bersama ayah dan ibu.

Sesaat kemudian, aku memutuskan untuk mandi agar lebih segar. Namun ketika bangkit dari duduk, aku melihat smartphone milik Talita masih dalam mode pengisian daya di atas meja dekat televisi. "Ah, Talita lupa, ini," gumamku sembari melepas kabel yang masih menancap di sana.

Aku bergegas menyusulnya hingga ke depan rumah. Namun, dia sudah terlebih dahulu pergi dengan mengendarai motornya. Aku mendesah pelan, lalu berjalan untuk mengembalikan ponsel Talita ke tempat semula. Akan tetapi, sebuah notifikasi dari sebuah market place tentang barang belanjaan yang telah diterima beberapa hari lalu, begitu menggelitik rasa penasaranku.

Dia yang tidak pernah menerapkan sandi untuk mengunci layar, memudahkan diriku membuka gawainya. Aku terkesiap kala mendapati barang yang diterimanya adalah sebotol Arsenik. Tanpa pikir panjang, aku segera menghubungi pengacara yang akan datang untuk bertemu saja di kantor polisi.

***
"Aku iri denganmu yang selalu mendapatkan segalanya, Ran, sedangkan aku? Aku tak pernah bisa mengambil hati Ayah dan Ibumu, meskipun mereka sudah menganggapku anak. Aku nggak mau terus-terusan dinomorduakan, Ran," ucap Talita datar, ketika dia sudah tak bisa mengelak lagi dari perbuatannya.

Aku benar-benar kecewa, saat mengetahui kenyataan pahit ini. Orang yang sangat kupercaya ternyata adalah musuh yang sebenarnya. Aku masih di sini, menangisi kebodohan terbesar dalam hidupku. Serangkaian cerita indah bersama Talita, hangus terbakar oleh api cemburunya yang berlebihan.

Suara ketukan pintu kamar, menyudahi tangisku. Dengan gontai, aku melangkah memenuhi panggilan Mbok Sumi yang masih setia menemaniku setelah tuduhan yang sempat dilayangkan padanya.

"Iya, Mbok?" sambutku saat pintu kamar terbuka.

"Non, di depan ada Mas pengacara," katanya memberi tahu.

"Erkan, pengacara muda yang bantuin kita itu, Mbok?" tanyaku memastikan, lalu dijawab anggukan oleh Mbok Sumi.

Dahiku mengernyit, "Ngapain dia ke sini, Mbok? Bukankah urusannya udah se--"

"Saya datang bukan sebagai pengacara, kok. Saya cuma mau ngajakin jalan, jika Rania berkenan," sela seseorang yang baru saja kami bicarakan.

Simbok tampak senyum-senyum memerhatikan Erkan yang berjalan mendekat dengan pakaian casual, lalu berdiri di samping simbok sambil tersenyum ramah. Penampilannya terlihat fresh, tidak ada lagi pakaian formal seperti saat aku menjadi kliennya. Aku akui dia lebih tampan dengan gayanya yang sekarang.

"Em, maaf, ya, jika terkesan sopan," ucap Erkan dengan sedikit membungkuk.

Aku tercenung untuk beberapa saat, mungkinkah dia dikirimkan Tuhan untuk mengobati luka-lukaku. Buru-buru aku menggeleng mengenyahkan pikiran itu.

"Ah, sebaiknya kita ngobrol di depan aja dulu, ya, Mas," balasku ramah. Bukan tidak setujua dengan ajakannya, karena jujur aku memang butuh hiburan. Akan tetapi, aku butuh waktu agar tidak gegabah lagi dalam bertindak.

End____
Demak, 22 Januari 2024















makgendhis
bonek.kamar
pulaukapok
pulaukapok dan 4 lainnya memberi reputasi
5
328
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan