willialgifariAvatar border
TS
willialgifari
GANJAR-MAHFUD BERKUNJUNG TAPI TIDAK BELAJAR DARI JK


Pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo – Mahfud MD baru beberapa saat lalu berkunjung menemui mantan wakil presiden M Jusuf Kalla (JK). Pastinya bukan semata-mata untuk mendapatkan dukungan karena sudah menjadi rahasia umum bahwa JK adalah salah satu pendukung dan sponsor utama dari paslon nomor 1 yaitu Anies Baswedan-Muhaimim Iskandar (AMIN). Lebih tepatnya adalah untuk mendapatkan konfirmasi dan kesepakatan dari JK untuk menjadikan Paslon nomor urut 2 yaitu Prabowo-Gibran sebagai musuh bersama. Artinya siapapun yang lolos ke putaran kedua saat Pemilihan Presiden 2024 maka JK menjadi penghubung utama yang akan memastikan bahwa pendukung Paslon 1 dan 3 akan bergabung mengalahkan Prabowo – Gibran.
Kesepakatan tinggal kesepakatan, pilihan dan keputusan tetap ada di tangan rakyat. Sebenarnya ada yang jauh lebih penting daripada restu dan kesepakatan yang bisa didapatkan dari JK soal bersaing di pilpres. Bukan saja karena JK berpengalaman tiga kali berpartisipasi di Pilpres 2004, 2009, dan 2014. Dua kali sebagai Cawapres dan menang, serta satu kali kalah sebagai calon presiden.
Yang lebih bernilai untuk dipelajari dan diteladani dari pengalaman JK lebih terkait dengan karakter, rekam jejak dan narasi yang disampaikan. Ketiganya harus benar,  otentik dan selaras. Benar artinya tujuannya baik,  otentik artinya apa adanya,  dan selaras maksudnya antara apa yang dipikirkan,  dikatakan,  dan dilakukan adalah sama. 
Kebetulan memang itulah ciri-ciri pemimpin besar di seluruh dunia sejak jaman Romawi kuno, ke jaman Orde Lama di bawab Bung Karno, Orde Baru di bawah Presiden Soeharto,  sampai era reformasi dan jaman modern saat ini.  Mantan Presiden Soeharto bahkan memberi judul buku otobiografinya “Soeharto:  Pikiran,  Ucapan,  dan Tindakan Saya. “
Masih ingat di penghujung masa pemerintahan pertama dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika JK sebagai Wakil Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Golkar,  yang saat itu adalah partai terbesar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),  memutuskan untuk maju sebagai Calon Presiden di Pilpres 2009. JK berpasangan dengan mantan Panglima TNI Jend (Purn) Wiranto,  melawan pasangan SBY-Boediono dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.
Keputusan tersebut diambil cukup mepet waktunya sekitar tiga bulan sebelum kampanye Pilpres dimulai. Mungkin bukan semata-mata karena JK ingin menang dan berkuasa menjadi Presiden,  karena dari segi persiapan hampir bisa dipastikan kalah.  Namun karena sebagai Ketua Umum Partai Golkar JK merasa wajib membela partainya supaya tetap bisa tegak dan dihormati.  Saat itu di media massa ramai pemberitaan soal para politisi partai Demokrat yang didirikan SBY mencemooh Partai Golkar yang diolok-olok sebagai partai masa lalu,  calon partai gurem,  dsb. Awal mula permusuhan sepertinya dikarenakan JK sebagai ketua umum memerintahkan fraksi Partai Golkar di DPR untuk menolak menyetujui kebijakan blanket-guaranty yang sudah disetujui Presiden SBY (tanpa konsultasi dengannya sebagai Wapres). Kebijakan tersebut digagas oleh asosiasi perbankan nasional dengan alasan  untuk melindungi sektor perbankan dari krisis ekonomi di AS saat itu.
Ketika mengumumkan pencalonannya di salah satu acara Partai Golkar di Medan,  JK mengatakan dengan tegas “Partai Golkar adalah partai besar yang tidak boleh dilecehkan.  Sejarah akan mencatat Pemerintahan SBY-JK adalah salah satu pemerintahan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia,  dimana Partai Golkar adalah bagian dari pemerintahan tersebut.  Tapi,  kalau saya diberi kepercayaan menjadi Presiden,  saya akan melakukannya lebih cepat dan lebih baik lagi. “
Harian Kompas memberitakan pernyataan tersebut di halaman satu keeseokan paginya dengan judul “JK: Lebih Cepat, Lebih Baik”, sehingga terciptalah tagline kampanye JK-Wiranto yang paling dikenal dan diingat masyarakat yaitu “Lebih Cepat,  Lebih Baik”. 
Sejak awal sampai akhir proses Pilpres 2009, paslon JK-Wiranto yang berakhir kalah di urutan terakhir, menyadari bahwa tantangan terberatnya selain melawan calon incumbent yaitu SBY,  adalah walaupun sebagai lawan dirinya tidak mungkin menyerang,  menjelek-jelekan,  apalagi mengkritisi kinerja pemerintahan SBY lima tahun sebelumnya.  Karena JK sebagai wapres, dan Golkar sebagai partai terbesar di DPR adalah bagian tidak terpisahkan dari pemerintahan tersebut. Narasi yang dibangun pada akhirnya lebih kepada gagasan-gagasan baru,  cara-cara baru yang akan membuat Indonesia lebih maju dengan lebih cepat dan lebih baik. 
Walaupun kalah,  kubu JK-WIN saat itu memberikan perlawanan sengit,  dengan strategi komunikasi dan branding yang sangat menarik dan menghibur,  yang membuat keseluruhan pilpres menjadi lebih seru dan lebih berkualitas. Satu lagi yang perlu dicatat,  kampanye dari seorang great leader (pemimpin besar) punya ciri-ciri seperti itu:  kalau menang menyenangkan,  dan kalau kalah tetap menghibur.  Kalau orang Jawa bilang “mikul duwhur,  mendem jero”.

Dan benar saja. Sejalan dengan waktu,  masyarakat justru dibuat sadar dan terbuka matanya atas manfaat dari keputusan JK dan Partai Golkar saat itu. Sejak 2009 – 2013 Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang tidak menerapkan blanket-guaranty tapi tetap sehat dan tumbuh walauapun menghadapi krisis ekonomi global bersama China dan India.  Pemerintahan kedua Presiden SBY justru disibukkan dengan berbagai skandal korupsi khususnya skandal korupsi Bank Century dan pusat olahraga Hambalang.  Dan hanya berselang lima tahun di tahun 2014 JK kembali diminta PDIP mendampingi Joko Widodo sebagai Calon Wakil Presiden dan akhirnya memenangkan  Pilpres 2014 mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa.

Sekarang,  bandingkan fakta sejarah tersebut dengan narasi salah kaprah yang didorong kubu Ganjar-Mahfud dan PDIP di belakangnya bertema 'Rapor Merah Penegakan Hukum Pemerintahan Jokowi'. Bagaimana mungkin Ganjar-Mahfud menyerang Pemerintahan Jokowi soal itu ketika Ganjar mewakili partai terbesar di DPR sampai saat ini, dan Mahfud MD sampai hari ini masih menjabat Menkopolhukam yang membawahi penegakan hukum. Belum lagi ditambah Menteri Penegakan Hukum dan HAM Yasonah Laoli  adalah kader tulen PDIP .
Pastinya narasi ini akan segera menjadi bumerang kedua bagi kubu Ganjar-Mahfud dan PDIP setelah taktik cengeng mereka mencari simpatik dengan playing victim soal bongkar paksa baliho Ganjar-Mahfud oleh aparat ketahuan dan menjadi bumerang. Dan seharusnya siapapun yang menangani substansi dan strategi komunikasi untuk paslon nomor urut 3 tersebut sebaiknya dipecat atau diganti. 
Baik Ganjar Pranowo, Mahfud MD, PDIP dan seluruh pendukungnya perlu mengingat satu wejangan orang-orang tua bijak sejak jaman dulu yang mengatakan “Hati-hati jangan suka sembarangan menunjuk orang lain dengan tuduhan.  Karena ketika jari telunjuk kita ke arah lawan,  ada setidaknya tiga jari lainnya yang menunjuk ke arah diri kita sendiri. “ JK sudah membuktikannya dan bisa dijadikan teladan soal itu.
Jadi jangan sekedar berkunjung untuk minta restu,  kesepakatan dan foto-foto cantik saja. Masa iya cara Bapak-bapak memenangkan pilpres disamakan dengan kampanye mau jadi lurah atau camat? Come on please!
Diubah oleh willialgifari 22-11-2023 06:43
aqiramaharani
gilangmahardi
soepudin395180
soepudin395180 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
3.5K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan