Jangan kau pernah menganggap, rela menunggu itu tidak terlihat bodoh, itu hanya sikap keras kepala. Sekuat apapun hatimu, tetap gunakanlah logikamu.

Mungkin karena itulah aku bisa meninggalkanmu sendirian, meski dengan biadapnya aku bertingkah seolah kau adalah buku harian yang cuma ku isi dengan keluh kesahku, aku tak perlu tau bagaimana perasaanmu.

Kemudian, aku mencari penghilang rasa sakit untuk meredakan hari-hariku yang suram. Kaupun dengan sukarela menjadi peran pengganti untuk meredakan malam-malamku yang suram. Kau yang mendengarkanku hingga jam satu pag, adalah kau yang ku nafikan lagi dan lagi. Aku masih tenggelam dalam kenangan adalah apa yang ingin kau selamatkan. Celakanya, kau malah ikut terbenam dalam skenario yang aku ciptakan. Dan kita menjadi terbiasa untuk pura-pura tertawa. Padahal kau dan aku tahu, kau mendambakanku yang mendambakannya.

Sampai kapan kita harus begini? Sampai nyalimu terkumpul untuk aku hempaskan? Atau sampai aku terbang kepelukan yang lainnya? Nyatanya, menjadi juara kedua memang sama saja berpacaran dengan seseorang yang tidak pernah ada secara nyata kalau aku benar-benar menyayangimu, aku takkan pernah menjadikanmu juara kedua sejak awal. Mengecewakan!

Jangan lagi kau ingin aku rindukan, jangan lagi kau kejar, jangan lagi kau buatkan puisi. Jangan pula bertingkah seperti tak peduli, karena aku tak pernah ingin tahu rasanya menjadi kau.