Kaskus

Story

kiyazmAvatar border
TS
kiyazm
Hakikat Cinta
Hakikat Cinta
Image by Pixabay

“Kak, nanti kita buka pakai apa?”

Aku tersentak mendengar pertanyaan dari seorang anak kecil perempuan yang duduk di sampingku. Tatapan matanya yang sayu serta baju lusuh yang ia pakai semakin menarik perhatianku. Kututup buku yang kubaca bersiap menyimak jawaban apa yang akan dilontarkan oleh sang kakak.

“Kita makan seadanya, gak papa, kan? Mau bagaimana lagi? Kakak pun ingin makan yang enak buat buka puasa, tetapi kakak gak punya uang. Dagangan kita pun belum ada yang laku.” Kulihat perempuan yang kutebak berusia lima belas tahun itu menunduk. Namun, ajaibnya selang beberapa detik ia mendongak dan tersenyum manis.

“Jangan sedih ya, Dek. Kita bersyukur aja, Alhamdulillah hari ini masih bisa makan. Banyak orang yang bahkan makan tiga hari sekali loh,” ucap gadis itu menenangkan sang adik.

“Aku kangen sama Ibu, Kak,” ucap gadis kecil itu. Sang kakak pun memeluk erat adiknya.

Aku ingin berbicara kepada mereka. Namun, setelah pelukan singkat yang mereka lakukan, mereka beranjak menyeberang jalan.

Aku mengusap air mata yang entah sejak kapan jatuh membasahi pipi. Pikiranku melayang pada kejadian enam tahun lalu.

***

Terik matahari yang memancar tak menyurutkan langkah kecilku untuk segera sampai di rumah bercat putih kebanggaanku. Jiwaku bagai dipenuhi bunga bermekaran membayangkan bagaimana reaksi ibu ketika mendengar ceritaku nanti. Ya, di hari terakhir sebelum libur panjang akhir bulan ramadan, aku mendapatkan kabar bahagia. Setelah berjuang belajar berhari-hari, tadi pagi guru matematikaku berkata bahwa aku lolos masuk olimpiade yang akan diselenggarakan setelah lebaran nanti.

Aku berjalan riang. Lagu-lagu bahagia kusenandungkan, tak sabar melihat binar ceria dari wanita paruh baya kesayanganku.

“Assalamu’alaikum. Bu, Lia pulang,” salamku berulangkali. Kucoba meraih gagang pintu, tetapi masih terkunci. Tak biasanya ibu belum pulang. Ke manakah, ibu?

Aku kemudian berjalan menuju belakang rumah. Biasanya pintu itu jarang terkunci. Namun, saat aku akan membuka pintu, Rahma—bibiku—datang tergopoh-gopoh menghampiri.

“Ya, Ibu kamu.” Ia berkata dengan panik. Aku yang penasaran pun memilih menyimak.

“Ibu kamu tadi pagi kecelakaan.”

Aku bagai disambar petir. Tubuhku pun seketika linglung. Rasa bahagia yang membumbung tinggi sekejap sirna.

“Gimana keadaan, Ibu, Bi?” tanyaku panik.

“Ibu kamu sekarang di rumah sakit. Udah, kamu gak usah khawatir. Sekarang kamu ganti baju terus istirahat. Nanti sore bareng-bareng jengukin Ibu kamu.” Aku mengangguk pelan.

Dengan lemah, kubuka pintu. Tubuhku luruh, kupukul dadaku yang sesak bagai dihantam godam. Dengan bersandar pintu, kukeluarkan air mata yang sejak tadi kutahan. Aku terisak, membayangkan bagaimana keadaan ibu di sana? Apakah beliau baik-baik saja? Separah apa lukanya? Dan mengapa aku baru saja diberitahu? Aku menatap pilu pada dapur yang sepi. Biasanya jam segini ibu mulai memasak menu berbuka dan aku setelah berganti seragam akan membantu beliau. Kami bercengkerama dan bercerita banyak hal. Kutenggelamkan wajahku di antara lutut untuk meredam suara tangisku yang semakin keras.

“Ya, ayo sekarang kamu siap-siap. Ibu kamu bilang ingin bertemu.”

Kuusap air mata yang masih turun. Aku kemudian beranjak dan melangkah ke kamar untuk bersiap-siap. Aku berharap semoga ini adalah petunjuk bahwa ibu baik-baik saja.

***

Rumah sakit sore ini terlihat lengang. Aku dan bibiku lantas menuju ruang rawat tempat ibuku berada. Doa-doa kurapalkan tiada henti. Ah, aku tidak sabar ingin bertemu dan memeluk erat beliau.

Kutatap papan nama bertuliskan Mawar 4. Apakah ini di dalam sana ada ibuku? Aku melangkah cepat mendahului bibi. Padahal aku belum tahu di mana tempat ibu. Namun, melihat kakakku satu-satunya yang duduk di kursi besi, aku pun menghampirinya. Kulihat matanya berkaca-kaca. Ada apa ini?

“Kak, Ibu gimana keadaannya?” tanyaku cepat. Aku bingung, ia malah menangis tersedu lalu memelukku.

“I ... bu, Ya. Ibu,” ucapnya terbata. Aku semakin bertanya-tanya, ada apa dengan ibu?

“Tadi Ibu dioperasi, Ya,” ucapnya lirih. Aku yang mendengar itu pun menangis tersedu. Separah itukah kecelakaan yang terjadi pada ibu?

“Ya, ibu kamu pengen ketemu.” Aku menoleh menatap bibi. Kuusap kasar wajahku yang bersimbah air mata.

Kutarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Aku kemudian melangkah masuk ke ruang rawat dan menghampiri ibu.

“Bu,” ucapku lirih. Dengan hati-hati, kupeluk wanita paruh baya di depanku. Air mataku pun luruh saat itu juga. Aku mendongak ketika tangan lemah ibu mengusap punggungku. Kulihat mata ibu pun memerah sepertiku. Beliau terlihat ingin berbicara. Namun, terhalang oleh alat pembantu oksigennya.

Aku masih ingin menemani ibu. Namun, bibi malah menghampiri dan aku pun pasrah ketika wanita itu merangkulku keluar.

“Ayo buka puasa dulu.” Aku mendongak menatap bibi yang datang membawa dua plastik hitam yang kutebak berisi makanan.

Aku mengalihkan pandangan, melihat perempuan yang berusia tiga tahun di atasku itu memakan makanannya dengan lesu. Melihat bibi tersenyum, aku pun memakan makanan di depanku.

Selepas salat magrib, kudengar bibi berteriak kencang. Aku pun dengan cepat melipat mukenahku dan berlari masuk ke dalam ruangan ibu.

“Ibu kamu dari tadi gak bisa diam. Padahal udah bibi suruh buat diam. Lihat, infusnya pun sampai lepas.” Aku menatap sendu wanita tersayangku. Setelah dokter memasang kembali infus, kuusap tangannya hati-hati.

“Bu, ini Lia. Ibu kenapa gerak-gerak terus? Ibu pasti sembuh. Lia kangen masakan, Ibu,” ucapku di telinga ibu. Kubisikkan juga kalimat dzikir berusaha menenangkan.

Sekitar jam sepuluh malam, keadaan ibu semakin tak terkendali dan beliau kemudian dipindahkan ke ruang ICU. Sekujur tubuhku berkeringat dingin, dengan lunglai kuikuti bangsal yang membawa ibuku.

“Nak, kalian berdua tidur dulu aja. Apalagi besok, kan, harus bangun pagi buat sahur,” ucap bibi kepada kami—aku dan kakakku.

Aku ingin membantah, tetapi apa melihat tatapan dari kakak, membuatku pasrah dan berjalan menuju tempat istirahat yang berada tak jauh dari ruang ICU.

“Nak, kalian berdua yang ikhlas, ya. Percayalah ada rencana indah yang disiapkan untuk kalian berdua.” Aku yang semula bersiap tidur pun seketika terbangun. Menyadari makna ucapan wanita di depanku, aku pun berlari.

“Ibu. Bu, kenapa Ibu tega ninggalin kami,” ucapku pilu.

“Bu, maafin Lia yang belum bisa banggain Ibu.”

“Bu, mengapa harus secepat ini?” ucapku terisak. Kupeluk erat wanita paruh baya yang kini terbujur kaku.

“Ibu!”

“Sudah jangan sedih, Dek. Ikhlasin Ibu. Ayo kita berdoa biar Ibu tenang di sana. Beliau juga pasti bahagia bisa pulang di bulan yang penuh berkah ini.”

Terlepas dari itu semua, aku bahagia. Setidaknya cita-cita terbesar ibu tercapai, yaitu berpulang di bulan ramadan yang penuh cinta.

Kudus, 20 April 2021
Richy211Avatar border
aryanti.storyAvatar border
wanitatangguh93Avatar border
wanitatangguh93 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
870
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan