Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
Jalan Terjal Penghayat Kepercayaan


Laporan Khusus

Jalan Terjal Penghayat Kepercayaan

Sabtu, 30 September 2023, 18:59 WIB

Reporter : Anggadia Muhammad

Jalan Terjal Penghayat Kepercayaan

Warga Sapta Darma tengah menggelar ibadah di salah satu rumah di Kota Surabaya (Foto: Ist)

Surabaya (beritajatim.com) – Tomo mengaku sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Semua bermuara pada keyakinan yang dipegangnya, yang terwadahi dalam Kapribaden. 

Tidak tersedia cukup banyak informasi mengenai apa itu Kapribaden. Tomo hanya berkenan memberikan keterangan singkat mengenai kepercayaan yang dia anut. Kapribaden adalah aliran kepercayaan yang berpusat di Desa Sumberjo, Kecataman Pucuk, Kabupaten  Lamongan, Jawa Timur. Pendirinya adalah Semono Sastrodiharjo. Komunitas ini cukup kecil namun terbuka. Titik tekan ajarannya ada pada keluhuran budi.

”Di sini diajarkan berbudi luhur, menciptakan rasa peduli, dan karsa kepada sesama manusia,” kata Tomo kepada beritajatim Jumat malam (30/9/2023).

Selama ini, Tomo bersama sesama warga Kapribaden melaksanakan ibadah tiap Senin Pahing. Lokasinya di rumah orang yang dituakan di komunitas mereka. Namun demikian, orang yang dituakan itu bukanlah ditempatkan sebagai guru namun disebut Kekadangan.

Mengenai tempat ibadah khusus, secara pribadi Tomo mengaku sebenarnya tidak terlalu butuh. Bagi dia, ibadah bisa dilakukan dalam lingkup kecil. Pun jika dipandang perlu, keberadaan tempat ibadah bagi komunitasnya bukan menjadi solusi karena dapat memicu diskriminasi yang lebih luas.

”Kami beribadah dalam lingkup-lingkup kecil, itu saja sampai sekarang ya didiskriminasi,” kata Tomo.

Bahkan ketika dia sedang menjalankan ibadah mandiri. Tuduhan sesat seringkali dia terima dari masyarakat sekitar.

”Secara pribadi saya pernah dibilang penyembah matahari dan sesat ketika beribadah sendirian. Kan Kapribaden ini sejatinya beribadah mencari bentuk Tuhan sendiri,” terang dia.

Langkah mereka akan semakin sulit ketika Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) akan disahkan. Dalam Rancangan Perpres tersebut, pemerintah mengatur berbagai hal dengan dalih menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia.

Mulai dari pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dari berbagai tingkatan. Tak ketinggalan soal pendirian rumah ibadah. Masalah yang selalu berulang namun tak pernah menemukan titik temu dalam bingkai kemufakatan atas dasar legowo.

Kondisi ini terlihat jelas pada Pasal 23 ayat 2 (a) Rancangan Perpres PKUB yang saat ini tinggal harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasal itu secara tegas memuat syarat pendirian rumah ibadah, yaitu mengharuskan adanya 90 nama calon pengguna serta mendapat persetujuan dari 60 nama yang tinggal di sekitar lokasi. Syarat ini, belakangan dikenal dengan formula 90:60.

Setelah formula itu terpenuhi, masalah belum selesai. Pemohon rumah ibadah masih diharuskan mendapatkan pertimbangan secara tertulis dari Kepala Kantor Kementerian Agama. Proses yang sangat panjang dan melelahkan. Parahnya, belum tentu izin bisa didapat meski seluruh proses bisa dilalui.

Memang, syarat di atas tampaknya hanya berlaku untuk agama yang hanya diakui: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sekilas seperti tidak ada hubungannya dengan penghayat kepercayaan. Padahal, jika mau lebih menelisik secara mendalam, kondisi yang dialami penghayat kepercayaan justru lebih memprihatinkan.

Jalan Terjal Penghayat Kepercayaan

Tokoh agama dan kepercayaan menggelar deklarasi damai (Foto: Ist)

Dian Yeni, Ketua Puan Hayati (Perempuan Penghayat Indonesia) mengungkap apa yang dialami penghayat kepercayaan hingga saat ini. Dian merupakan penganut Sapta Darma, aliran kepercayaan memiliki pengikut cukup banyak di Jawa. 

Dian secara jelas menjabarkan bagaimana jalan terjal yang harus dilalui oleh warga Sapta Darma. Aliran kepercayaan ini sempat mengalami sejumlah pengrusakan sanggar ibadah bahkan tindak kekerasan dari pengikut agama lain di Indonesia.

Tahun 2008, sanggar ibadah Sapta Darma di Pereng Kembang Balecatur, Gamping, Sleman, sempat dirusak oleh salah satu ormas dengan embel-embel agama. Salah satu anggota Sapta Darma juga sempat mengalami pemukulan hingga mengalami luka. Padahal, ajaran ini sudah lama terdaftar di administrasi Negara.

“Ajaran Sapta Darma awalnya diterima oleh Hardjosapuro (dari wahyu Allah) tahun 1952 lalu di Kediri, Jawa Timur ini, sudah lama terdaftar resmi di Departemen Dalam Negeri. Kini anggota kami telah berjumlah 1500 di seluruh Indonesia,” ujar Dian Yeni kepada Beritajatim.

Sebagai kepercayaan minoritas, pengikut Sapta Darma sering mendapatkan perlakuan represif dari pemeluk agama lain. Penolakan pembangunan sanggar ibadah, penolakan pemakaman warga Sapta Darma hingga penolakan sekolah umum kepada anak-anak penghayat.

Namun, itu hanya terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Khusus di Jawa Timur, Dian menyebut bahwa ada beberapa daerah di Tapal Kuda (Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Lumajang, dan Jember) yang masih menolak keberadaan penghayat kepercayaan.

“Di Surabaya cenderung aman. Warga Surabaya lebih toleran.  Kami mempunyai 27 sanggar ibadah di seluruh titik di Kota Surabaya. Berbeda dengan daerah Tapal Kuda yang kami masih menemui penolakan pendirian sanggar ibadah,” imbuh Dian.

Dian juga mencontohkan salah satu kasus yang dialami warga Sapta Darma di Probolinggo. Namun, dia hanya berkenan menyebut singkat kasus yang terjadi.

”Penutupan jalan (ke) Sanggar di Probolinggo. Itu terjadi tahun ini (2023), empat bulan lalu,” kata dia.

Terasing dalam Kemajemukan

Indonesia adalah Negara yang majemuk. Tercatat 17.001 pulau tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan 300 kelompok etnis atau suku bangsa. Data BPS 2010 mencatat, terdapat 1.340 suku yang mendiami wilayah Indonesia. Dengan jumlah total penduduk yang mencapai 275.800.000 pada tahun 2023 setidaknya.

Dengan kemajemukan itu, Indonesia seringkali dianggap sebagai salah satu Negara dengan tingkat toleransi tertinggi. Survei Litbang Kompas pada 2022 mencatat, 62,2 persen responden menganggap masyarakat Indonesia cukup toleran. Lalu, sebanyak 10,4 persen responden menilai masyarakat Indonesia sudah sangat toleran.

Tetapi jika dihadapkan pada kenyataan yang dialami kelompok minoritas, hasil survei tersebut tampak bertolak belakang. Banyak terjadi kasus penolakan pendirian ibadah.

Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang menganut penghayat kepercayaan?

Data Kementerian Dalam Negeri mencatat, penduduk Indonesia mencapai 277,75 juta jiwa per 31 Desember 2022. Dibandingkan tahun sebelumnya, terdapat tambahan sebanyak 4,43 juta jiwa dari 273,32 juta jiwa.

Jika dipilah berdasarkan agama dan kepercayaan, sebanyak 241,7 juta jiwa atau 87,02 persen dari populasi penduduk Indonesia beragama Islam. Kemudian, 25,65 juta jiwa atau 7,43 persen dari populasi beragama Kristen.

Selanjutnya, 8,5 juta jiwa atau 3,06 persen dari populasi adalah pemeluk Katolik. Lalu, 4,69 juta jiwa atau 1,69 persen pemeluk Hindu, serta 2,02 juta atau 0,73 persen populasi adalah umat Buddha.

Kemudian sebanyak 74.899 jiwa atau 0,03 persen adalah penganut Konghucu. Sedangkan 117.412 jiwa atau 0,04 persen dari populasi adalah penganut aliran kepercayaan.

Apabila ditilik, jumlah warga penghayat kepercayaan di Indonesia secara keseluruhan memang lebih besar dibandingkan dengan Konghucu, meski tetap lebih kecil dari lima agama lainnya. Tetapi patut diperhatikan, jumlah tersebut terbagi dalam ratusan aliran kepercayaan. Sehingga jika dirinci berdasarkan jenis aliran kepercayaan, maka jumlahnya makin kecil.

Jumlah Pemeluk Agama dan Kepercayaan di Indonesia (2022)

Agama/KepercayaanJumlah Pemeluk%Islam241,7 juta87,02Kristen25,65 juta7,43Katolik8,5 juta3,06Hindu4,69 juta1,69Buddha2,02 juta073Aliran Kepercayaan117.4120,04Konghucu74.8990,03

Sumber: Ditjen Dukcapil Kemendagri (Total Populasi: 277,75 juta)

Makin Tercekik

Masalah yang dihadapi penghayat kepercayaan seperti warga Sapta Darma akan semakin berat. Khususnya dalam memiliki tempat ibadah sendiri ketika Rancangan Perpres PKUB jika nantinya diberlakukan.

Diketahui saat ini para penghayat kepercayaan mengacu kepada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pijakan dalam membuat rumah ibadah. Beleid itu memang khusus mengatur soal penghayat kepercayaan, terpisah dari umat agama.

Kedua regulasi itu, Rancangan Perpres PKUB dan Peraturan Bersama Menteri Nomor 43 Tahun 2009 memiliki perbedaan dalam persyaratan pembuatan rumah ibadah. Dalam Peraturan Bersama Menteri Nomor 43 tahun 2009, dijelaskan bahwa untuk mendirikan tempat beribadah, sebuah rumah ibadah harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan diajukan kepada pemerintah setempat. Sedangkan menurut Rancangan Peraturan Presiden tentang kerukunan umat beragama yang saat ini masih digodok disebutkan pendirian rumah ibadah harus memenuhi 90 penganut yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk, serta mendapatkan persetujuan dari 60 warga sekitar di lokasi tempat rumah ibadah akan dibangun.

Sebagai penghayat kepercayaan, Dian merasa apabila Perpres yang baru juga diterapkan kepada warga penghayat kepercayaan, tentunya akan semakin mempersulit. Analisanya sederhana. Jumlah warga penghayat kepercayaan tidak sama dengan 6 agama lain yang telah diakui di Indonesia.

“Bisa-bisa kita tidak mempunyai sanggar ibadah apabila aturan Perpres yang baru itu diterapkan kepada penghayat kepercayaan seperti kami,” tutur Dian.

Sementara bagi Tomo, aturan baru yang tertuang dalam Rancangan Perpres PKUB tidak akan banyak membawa dampak. Karena dalam pandangannya, diskriminasi seperti yang dialami kelompoknya tidak akan hilang meski ada perubahan regulasi.

Selama ini saja, warga Kapribaden, kata Tomo, masih menerima diskriminasi. Padahal, mereka menjalankan ibadah cukup di rumah Kekadangan, yang sifatnya sangat personal.

”Mungkin untuk orang-orang Kapribaden yang ingin dianggap setara dengan agama lain, ya, akan bilang butuh tempat ibadah. Bagi saya pribadi, endak. Karena akan sama saja,” terang dia

Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Naen Suryono mengatakan bahwa dalam poin pendirian rumah ibadah di Rancangan Perpres baru tentang Kerukunan Umat Beragama adalah poin yang tidak masuk akal. Sebagai salah satu pengusul dalam Peraturan Bersama Nomor 43 tahun 2009 ia memprediksi ke depannya para penghayat akan semakin kesulitan untuk memiliki sanggar ibadah. Penjelasannya, jumlah 90 penghayat dan 60 orang sekitar yang menyetujui tidak mungkin bisa tercapai.

“Kita ini minoritas. Kan angka itu (90:60) tidak mungkin bisa dicapai di warga penghayat karena jumlahnya minim,” kata Naen.

Menurutnya, Perpres baru tentang kerukunan umat beragama juga mengancam agama minoritas lainnya. Contoh yang dikemukakan seperti di lingkungan tempatnya tinggal. Warga penghayat kepercayaan hanya berjumlah 4 keluarga. Bukan saja penghayat kepercayaan, jumlah keluarga penganut agama minoritas juga terbatas.

Ia tidak memungkiri bahwa usai keluarnya Peraturan Bersama Menteri Nomor 43 Tahun 2009, jumlah penghayat naik drastis hingga menjadi 15 juta orang pada 2023 ini. namun, tetap saja peraturan pendirian rumah ibadah dengan metode 90:60 terasa sulit untuk direalisasi.

“Perpres itu kan berpotensi membuat masalah baru. Kalau Negara memang mendukung pendirian rumah ibadah bagi semua agama harusnya cukup dengan IMB,” tutur ketua MLKI Pusat itu.

Jalan Terjal Penghayat Kepercayaan

Warga Sapta Darma ibadah di Sanggar Candi Busana (Foto: Ist)

Namun, Ketua MLKI Jawa Timur Profesor Otto Wahyudi memberikan tanggapan berbeda. Menurutnya, persyaratan pendirian rumah ibadah baru yang saat ini masih digodok tidak akan memberikan masalah yang berarti. Karena, rumah ibadah akan didirikan di tempat mayoritas masyarakat memeluk kepercayaan.

“Tidak masalah, karena jumlah penghayat kan banyak. Selain itu, kan tidak mungkin rumah ibadah itu didirikan kalau jumlah warga penganutnya sedikit,” tegas Otto Wahyudi.

Dia menekankan bahwa usai keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, kondisi penghayat kepercayaan terus membaik. Salah satu yang paling berpengaruh yaitu Negara membolehkan warga penghayat kepercayaan untuk mencantumkan nama keyakinannya di kolom agama pada KTP. Padahal, sebelumnya hanya boleh diisi 6 agama yang telah diakui Negara.

Selain itu, hak-hak sipil warga penghayat juga disamakan dengan pemeluk agama lainnya. Hal itu membuat jumlah penghayat kepercayaan tumbuh subur.

Daripada mempermasalahkan regulasi yang baru, Otto lebih menyoroti aspek keadilan bagi para pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia terkait dengan pembangunan rumah ibadah. Karena dia masih mendapati adanya ketidakadilan di tengah masyarakat terkait standarisasi pembuatan rumah ibadah.

“Jadi perlu distandarkan. Banyak pemeluk agama yang sudah memenuhi persyaratan 90:60 untuk mendirikan rumah ibadah tetap gagal mendirikan rumah ibadah. Saya rasa itu yang perlu disoroti,” imbuhnya.

Asa yang Kian Tak Terjamah

Terkait problem ini, Pengajar Filsafat UIN Tulungagung, Akhol Firdaus mengakui setelah keluarnya Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, pengakuan terhadap penghayat kepercayaan oleh Negara memang kian baik. Dalam masalah sipil, para penghayat diperbolehkan untuk mencantumkan kolom agama dengan aliran kepercayaan yang dianut. Padahal sebelum putusan MK itu keluar, para penghayat memilih untuk mengisi kolom agama dengan tanda strip atau mengaku anggota 6 kepercayaan yang telah diakui di Indonesia.

Selain itu, para penghayat kepercayaan juga bisa menikahkan warganya sendiri dengan cara mengundang Dinas Pencatatan Penduduk dan Pencatatan Sipil pasca-rekognisi aliran penghayat kepercayaan yang terus membaik.

Sayangnya, tidak semua daerah memahami bahkan menerapkan putusan MK tentang rekognisi penghayat kepercayaan. Setelah putusan itu keluar pada 2016, aksi penolakan pembangunan sanggar ibadah tetap terjadi. Setidaknya di Pasuruan dan Probolinggo. Korbannya adalah warga Sapta Darma yang dianggap menyimpang oleh masyarakat sekitar.

“Upaya peningkatan peran dan hak dalam masyarakat kita ini palsu. Jadi masyarakat itu diajarkan untuk bersikap toleran tetapi mindsetnya itu tidak keluar dari 6 agama yang sudah diakui Negara. Di luar itu dianggap keliru,” kata Akhol menjelaskan.

Menurut Akhol, penghayat kepercayaan telah dibekali dengan dua regulasi yang dianggap bisa menyelamatkan keberadaan mereka. Namun, kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan harapan.

Akhol mengidentifikasi setidaknya ada 3 masalah yang dihadapi oleh warga penghayat kepercayaan: regulasi, inklusi sosial, dan pengarusutamaan toleransi dan moderasi yang hanya melibatkan politik 6 agama resmi.

Dalam masalah regulasi, Akhol mengakui bahwa aturan di Indonesia tentang penghayat kepercayaan masih tumpang tindih. Contohnya, masih berlakunya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) dan kerap digunakan untuk mengawasi ruang-ruang warga penghayat kepercayaan.

Padahal, kalau mengacu pada putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 dan peraturan Menteri Bersama Menteri dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 tahun 2009 para penghayat kepercayaan telah diakui dan layak untuk diperlakukan sama seperti masyarakat beragama mayoritas.

“Regulasi kita tidak selesai kok mendukung adanya rekognisi pada warga penghayat kepercayaan. Ada problem regulasi lainnya selain UU PNPS tahun 65 itu,” imbuh Akhol.

Pada masalah inklusi sosial, Akhol menegaskan bahwa rekognisi dan toleransi yang selama ini digaungkan itu hanya terjadi di ruang-ruang formal pemerintahan. Belum sepenuhnya menyentuh lapisan akar rumput yang lebih substantif. Buktinya, masih terjadi tindak represi terhadap kaum-kaum minoritas di Indonesia khususnya penghayat kepercayaan di arus bawah.

“Lebih parahnya, Negara hanya diam ketika terjadi persekusi kepada kelompok minoritas. Apabila terjadi perbuatan melawan hukum selama periode persekusi, umumnya pelaku tidak pernah diproses hukum. Itu yang membuat praktik persekusi terus terjadi,” tegas Akhol.

Dari perspektif HAM, kata Akhol, peran Negara dibagi menjadi dua untuk mendukung rekognisi kepada penghayat kepercayaan, to respect dan to protect. To respect adalah Negara menghormati setiap pilihan kepercayaan warga negaranya tanpa melakukan intervensi apapun. Dalam kondisi ini Negara harus bersikap pasif. Namun pasifnya Negara tidak bisa diartikan mentah.

Kemudian ada fungsi to protect artinya melindungi setiap kelompok orang yang mendapatkan ancaman serius apalagi persekusi dari kelompok lain, Negara harus hadir untuk memberikan perlindungan.

“Nah, Negara idealnya harus memiliki dua fungsi itu agar sesuai dengan instrumen HAM Internasional dan Regulasi HAM di Negara kita sendiri,” papar Akhol.

Sementara itu, terkait dengan masalah pengarusutamaan toleransi dan moderasi yang hanya melibatkan politik 6 agama resmi bisa terlihat dari penggodokan rancangan perpres tentang Forum Kerukunan Umat Beragama yang masih digodok oleh pemerintah.

Pasal penyamaan syarat untuk membangun rumah ibadah bagi agama dan penghayat kepercayaan adalah bentuk zalim Negara kepada warganya. Apalagi ketika perpres itu berimplikasi atau menyebabkan adanya diskriminasi kepada masyarakat penghayat kepercayaan.

Akhol meyakini bahwa ketika Perpres itu diterapkan kepada warga penghayat, maka berpotensi membuat warga penghayat kesulitan membuat rumah ibadah. Logikanya sederhana, kata Akhol, peraturan itu melogikakan bahwa penghayat kepercayaan  tinggal di suatu daerah yang terlokalisasi. Padahal, keberadaan penghayat kepercayaan tersebar dan selalu dinamis.

“Kalau benar Perpres itu diterapkan nantinya kepada penghayat kepercayaan, saya melihat Tidak ada spirit perhatian kepada kelompok minoritas di Indonesia. Padahal dalam norma HAM yang dikenal universal, perhatian itu harus diberikan kepada kelompok kelompok yang rentan. Karena jika tidak diberikan, mereka akan mengalami terus hambatan untuk menikmati hak hak dasarnya,” ucap Akhol.

Dengan adanya regulasi khusus saja, para penghayat kepercayaan tetap mengalami diskriminasi. Sementara apabila Rancangan Perpres PKUB resmi berlaku, tentu akan menambah berat beban penghayat kepercayaan. Sudah tersisih, mereka berpotensi semakin diasingkan di tanah kelahirannya sendiri. [ang/beq]

Reporter       : Anggadia Muhammad

Editor            : Ahmad Baiquni

Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah oleh 12 media lokal dan nasional bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)

https://beritajatim.com/peristiwa/ja...t-kepercayaan/

Miris sekali

muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
-1
135
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan