- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kedatangan Nyai Rorokidul [Based On A True Story] - KUNCEN
TS
bangrey.author
Kedatangan Nyai Rorokidul [Based On A True Story] - KUNCEN
![Kedatangan Nyai Rorokidul [Based On A True Story] - KUNCEN](https://s.kaskus.id/images/2023/09/06/11457677_202309060514190652.png)
Cerita ini tidak akan sampai pada kalian, jika sesuatu yang buruk terjadi pada keluarga kami. Beruntungnya, kami sekeluarga selamat dari tragedi beberapa tahun silam yang terjadi di desaku, namun banyak yang bernasib malang.
Saat kalian membaca ini, aku sudah benar-benar siap, dengan memberanikan diri dari ketakutan yang aku alami dalam waktu yang lama. Hanya saja, ingatan kejadian mengerikan itu masih begitu melekat dan menghantui bahkan dalam mimpi.
Kejadian itu aku alami saat masih kecil, antara tahun 2000-2001. Saat itu umurku setara anak di bangku sekolah dasar. Aku lupa tepatnya kelas satu atau dua. Tapi aku masih ingat dengan baik kejadian demi kejadian.
Keberadan desa ini berada cukup dekat dengan kawasan hutan jati dan persawahan padi. Jaman itu, suasana desa masih terbilang sepi dan asri. Tak seramai sekarang yang cukup padat dengan bertambah jumlah penduduknya. Desa ini berada di Jawa Tengah, namun tak bisa aku sebutkan nama kabupatennya, apalagi apa nama desa ini.
Bagi kalian yang tahu atau bahkan mengalami cerita ini, cukup simpan sendiri dan tak perlu disebutkan nama desanya. Biarkan beberapa hal tetap tersimpan menjadi rahasia dan misteri.
***
Sore itu.
"Le, ayo ndang bali."
"Bocah dikandani angel."
Ucapan beberapa ibu pada anaknya yang menginginkan sang anak segera pulang. Mereka berdiri dengan wajah cemas, sembari memarahi sang anak. Beberapa perempuan paruh baya tak segan untuk mendekat dan mencubit kecil pada tubuh anaknya. Ada pula seorang ibu yang menarik telinga di sebelah kanan. Orang dulu menyebutnya "dijewer".
"Ono opo to, Buk? Kan iki durung magrib? Biasane entuk dolanan bal sampai magrib," aku sedikit protes sore itu.
"Wes, ayo ndang bali saiki."
Saat itu ibuku juga datang. Menyeret sedikit paksa lenganku, sembari mengomel ringan. Menurutnya, aku harus segera pulang pada sore itu.
Namun pertanyaan itu tak dijawab dengan jelas oleh ibuku. Dia memilih berjalan cepat denganku. Sembari mengamati sekitar dengan pandangan khawatir dan takut. Entah ada apa sebenarnya.
Suasana sore itu sekitar jam lima, awan mulai menghitam gelap. Sedikit saja menjelang magrib. Entah kenapa tak seperti biasa, umumnya kami akan bermain bola di lapangan sampai suara adzan menggema ke seisi desa. Namun hari itu benar-benar lain — aneh.
Di desaku banyak warga yang masih mengandalkan kegiatan bertani padi dan jagung. Beberapa ada pula yang mencari kayu jati ke hutan sebagai pekerjaan sampingan.
Namun hari itu, tak ada para pencari kayu yang pulang berjalan kaki membawa kayu jati. Terlebih, perempuan dan laki-laki petani di desaku yang seharusnya mengisi jalanan juga tak terlihat.
Pemandangan yang aneh, sepanjang perjalanan kaki dengan ibu menuju rumah kami. Aku melihat obor bambu menyala di setiap rumah. Ada pula bendera kain hijau yang dikibarkan dengan tiang bambu yang kecil. Angin sepoi menyentuh halus bendera itu membuatnya berkibar-kibar secara perlahan.
"Ono opo to, Buk?"
"Wis sing penting ndang bali tekan omah. Cah cilik ora perlu ngerti."
Saat aku bertanya ada apa, lagi-lagi ibuku juga tak menjawab dengan jujur. Ibu lebih memilih mengajak segera sampai ke rumah.
Semua ibu dari teman-temanku bahkan berjalan cepat, setengah berlari dan seolah dikejar sesuatu. Sore itu mereka dibawa masuk ke rumah masing-masing. Terpaksa permainan bola kami dihentikan dan berjalan tidak asyik dan menyenangkan, tak seperti biasanya.
Sesampainya kami di depan rumah. Aku melihat sesuatu yang sama di teras depan rumah kami, bendera hijau dan obor bambu yang menyala.
"Ayo mlebu omah," ucap bapakku sedikit berteriak.
"Iyo, Pak," jawab ibuku.
Bapakku sudah berdiri dengan wajah cemas dan sedikit takut, berada tepat di ambang pintu rumah kayu kami. Dia berbicara dan menyuruh kami segera masuk rumah. Dia segera menarik lenganku, mengajak kami berdua masuk dan menutup pintu.
"Tutup lawange, Buk."
"Oh iyo, Pak. Anake pak Wandi durung bali mau, Pak."
"Loh, ngdi? Terus kepiye?"
"Aku kurang paham, Pak. Jarene ora melu dolanan ning lapangan."
"Iyo, Le? Anake pak Wandi ora melu kowe?" tanya bapakku tiba-tiba dengan menoleh ke wajahku yang bingung, mempertanyakan Anaknya pak Wandi yang tak kunjung pulang dan belum ditemukan.
"Ora, Pak, dijak ora gelem."
Entah sejak kapan bendera dan obor itu dipasang di sana. Ternyata semua rumah terdapat dua benda aneh itu.
Lampu di rumah juga tak kunjung dinyalakan. Bukan tipekal bapak, saat biasanya rumah mulai gelap lampu-lampu bulat berwarna kekuningan itu sudah mulai dinyalakan.
Bapak dan ibuku tak suka gelap, mereka tidur pun masih menggunakan penerangan. Berbeda denganku yang sejak lahir tak pernah menangis saat mati lampu. Konon, katanya karena aku lahir jam satu tengah malam. Entah apa hubungannya.
"Ono opo to, Buk? Kok ono gendero dipasang?"
"Gendero" disebutnya begitu untuk menjelaskan kata bendera, oleh orang-orang Jawa jaman dulu. Aku juga masih mengatakan hal yang sama untuk menjelaskan nama benda itu.
"Wes, Le meneng wae ning kene. Ora usah adus sik. Maem wae saiki."
"Iyo bener jarene ibumu, mending maem terus ning kamar."
Ibu berbicara dan melarang untuk aku mandi di sore itu. Ini benar-benar berkebalikan pada hari biasanya. Aku yang malas dan harus dipaksa mandi di kamar mandi. Dan, lebih anehnya bapak membenarkan perkataaan ibu.
Bahkan, aku juga dilarang untuk keluar rumah. Maklum, kamar mandi jaman dulu di desa kami semuanya terpisah dari bangunan rumah. Kamar mandi semua warga ada di belakang rumah. Bapak juga menyuruhku untuk segera makan dan bergegas ke kamar.
"Sik ya Le, melu Bapak ning kene. Ibu tak jupuk maem."
"Iyo, Buk."
Aku berdua dan Bapak duduk di kursi kayu yang panjang. Bersebelahan dengan bapak dengan menghadap meja kayu yang berukuran senada. Menunggu makanan disajikan.
Beberapa menit berlalu, ibu menyediakan makanan lengkap: sayur lodeh, tempe goreng, dan sambal. Sudah cukup nikmat untuk kami makan di sore itu.
"Wes wudhu ning kene wae, Buk."
"Ayo Le, wudhu nganggo iki."
Menjelang jam enam lebih sedikit, kami bertiga melaksanakan sholat. Ini juga yang aneh, saat itu kami berwudhu dengan menggunakan air bersih dalam gentong tanah liat di area pawon. Biasanya air itu hanya digunakan oleh ibu untuk keperluan memasak, membuat air minum atau memasak makanan.
Yang hampir aku lupa, awal malam itu suara adzan juga tak menggema. Magrib sampai dengan isya' hampir senyap. Tak ada suara lantunan adzan dan pujian-pujian Jawa yang biasanya aku dengar. Suara-suara orang di jalanan desa juga tak ada sama sekali.
Satu-satunya masjid di sini kosong tak didatangi oleh orang-orang. Biasanya meski tak ramai, sekitar -+ 20 orang memadati masjid untuk bersembahyang.
"Sholat ning kamar wae, ojo ning mesjid."
Bapak mengajak kami berdua sembahyang di kamar. Biasanya bapaklah yang memaksa aku untuk segera ke masjid. Saat kami selesai menunaikan magrib lalu lanjut dengan isya'. Aku tak diperbolehkan oleh bapak untuk tidur terpisah seperti malam-malam biasanya.
"Kene Le, karo ibu."
"Iyo kono, ndang podo mapan."
Aku terbaring di kasur kapuk, kasur jaman dulu yang banyak digunakan oleh orang Jawa. Tidur di tengah sementara ibu di pinggir dekat dengan papan kayu — dinding kamar bapak dan ibu.
Sementara bapak justru duduk di kursi kayu yang kecil, hanya muat untuk satu orang. Dia menghadap ke meja dan menikmati kopi. Malam itu suansana rumah dan desaku sangat gelap. Persis seperti suasana saat ada pemadaman listrik serentak.
Entah jam berapa, rasanya tengah malam aku mendengar ibu terbangun. Lalu terlibat percakapan dengan bapak.
"Ono opo, Pak? Suoro opo kwi?" tanya ibu.
"Wes meneng wae, Buk. Turu meneh wae. Bapak ning kene."
Terdengar suara kerincing seperti lonceng dari kalung sapi dan kerbau. Namun yang aneh, suara itu jelas terdengar dan berasal dari jalanan desa. Bergerak seperti mengelingi jalanan desa dan berhenti di rumah beberapa warga.
Malam tak berhenti di sana, selain suara itu ada pula suara teriakan yang terdengar lirih. Ibu bangun lagi, dan aku pun ikut bangun untuk kali ini. Aku memandangi bapak yang masih di tempat yang sama. Duduk di depan meja yang terdapat gelas dengan isi ampas kopi.
"Opo kwi, Pak?"
"Wes, Buk, gak opo-opo."
Kami bertiga sembahyang tahajud di tengah malam itu. Setelahnya tidur kembali berdua. Hanya saja, lagi-lagi, bapak tak mau tidur dan menjaga kami berdua.
***
Keesokan paginya.
Banyak ayam kampung milik warga mati dengan cara tak masuk akal. Darah dimana-mana, dan tubuhnya seperti tercabik-cabik. Banyak keluarga mengalami hal serupa. Tapi keluarga kami terbilang beruntung, ayam peliharan ibu masih aman dan selamat.
Beberapa warga terkena penyakit aneh, tubuh mereka lemas, sakit kepala yang tak sembuh-sembuh juga, sampai tak bisa jalan. Hingga akhirnya Mbah Kyai di desa luar turun tangan. Itu pun butuh waktu sekitar seminggu, barulah beberapa warga sembuh secara total.
Tak hanya itu, ada yang lebih parah, ditemukan mayat seseorang dari desa luar. Kronologisnya orang ini kebetulan ingin mampir ke rumah saudaranya, yang merupakan tetangga kami. Dia tak tahu soal apa-apa di malam itu, akhirnya jalan kaki dari desanya ke desa ini di malam hari. Dia ditemukan mati dan menjadi mayat yang hanyut di sungai desa.
"Enteni ning omah, Bu. Ojo metu-metu, bapak arep rono sediluk."
"Tapi, Pak? Bapak durung turu blas mau bengi."
"Gak opo-opo."
Kebetulan bapak bisa dibilang pengurus desa, dia membantu kepala desa untuk mengevakuasi mayat di sungai. Banyak warga laki-laki berduyun-duyun datang untuk melihat keadaan mayat itu. Namun oleh bapak, kami dilarang ke sana.
Dengar dari penjelasan bapak ke ibu, mayat itu ditemukan mati dengan kepala gepeng, mulut sedikit terbuka, dan mata terbelalak. Wajah pucat putih, kaku, dan sekujur tubuhnya sangat dingin.
Kabar beredar, malam itu sosok Nyai Rorokidul datang dan menyambangi desa kami. Keputusan tetua desa, kita harus memasang obor bambu dan kain hijau, ini hanyalah adat. Kata orang Jawa, tolak balak.
Selebihnya kita dianjurkan berdoa menurut keyakinan masing-masing. Dan, dilarang keluar rumah meski keadaan darurat sekali pun. Sejak mulai magrib hingga subuh suara speaker masjid tak terdengar. Adzan tak berkumandang.
"Piye, Pak?"
"Gak opo-opo, Bu. Wis beres, diurusi Pak Kades. Tapi, anake pak Wandi," bapak berbicara dengan nada cemas, dan tubuhnya sedikit gemetar, karena baru saja melihat dan ikut mengangkat mayat, lalu terdiam sejenak.
"Kepiye anake pak Wandi, Pak?"
"Durung ketemu nganti saiki, Bu."
Yang lebih aneh dari semua itu. Anaknya pak Wandi tak pernah ditemukan sampai sekarang. Bahkan jasadnya saja entah kemana. Entah sudah mati atau masih hidup. Banyak desas-desus beredar, kabarnya anaknya pak Wandi dibawa oleh Nyai Rorokidul dan menjadi abdi di keraton gaibnya.
Kejadian itu tak pernah terjadi lagi sepanjang hidup kami. Desa kami sudah baik-baik saja seperti semula. Namun entah benar ada kaitannya dengan sosok ratu pantai selatan itu atau bukan. Yang jelas pada hari itu, di desaku benar-benar terasa mencekam.
Obor bambu dan kain hijau juga sudah diturunkan. Tak ada lagi, benda-benda semacam itu. Oh iya, hampir lupa, satu lagi. Keesokan paginya di pertigaan jalan desa ditaburkan kembang setaman lengkap oleh tetua desa dan beberapa warga. Mereka juga berdoa untuk kesalamatan dan ketenganan desa kami.
***
al.galauwi dan 5 lainnya memberi reputasi
6
618
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan