- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
KAMAR PEMUJAAN


TS
mwv.mystic
KAMAR PEMUJAAN

Selamat datang di kisah pertama yang saya bagikan melalui Kaskus, kisah ini saya terima dari salah satu pembaca saya ketika tinggal di Surabaya. Tidak ada maksud menjatuhkan suatu lokasi maupun individu tertentu dalam cerita ini
KAMAR PEMUJAAN
Kasus Kamar Misterius di Sebuah Kontrakan Surabaya
Kasus Kamar Misterius di Sebuah Kontrakan Surabaya
Quote:
Mendapatkan sebuah hunian murah disaat kondisi ekonomi tidak sedang baik adalah suatu yang menguntungkan. Tapi, bagaimana jika ada alasan tersendiri kenapa rumah itu disewakan dengan harga murah dan memiliki sebuah ruangan terkunci yang tidak diperkenankan dibuka?..
Bersambung ke Part 2
Spoiler for PART 1 KAMAR PEMUJAAN:
PART 1 KAMAR PEMUJAAN by Mwv.mystic
Kejadian ini terjadi sudah cukup lama, sekitar tahun 2014, saat itu aku masih menjadi mahasiswa teknik sipil di sebuah univeristas di Surabaya, Jawa Timur. Sebenarnya aku tidak berasal dari daerah ini, aku perantau dan berasal dari daerah lain di Jawa Tengah.
Keadaan ekonomi keluargaku saat itu dalam keadaan tidak baik, kepergian aku untuk melanjutkan pendidikan ini sebenarnya sudah cukup berat bagi keluargaku, namun bapak dan ibu mengusahakan semuanya agar anaknya ini bisa mendapatkan gelar sehingga harapannya aku bisa memperbaiki perekonomian keluarga dengan pekerjaanku kelak.
Karena merasa sudah banyak menyusahkan ibu dan bapak di kampung, aku sebisa mungkin menjadi pribadi yang mandiri di kota ini. Untuk sehari hari, disamping menunggu kiriman bapak yang sebenarnya sangat pas pasan, aku juga mengambil kerjaan sampingan di sebuah warung makan di dekat kampusku. Jadi polanya adalah, saat siang aku kuliah, dan malamnya aku bekerja. Meskipun hasilnya tidak banyak, namun setidaknya uang itu bisa kugunakan jika ada kebutuhan mendadak atau menutupi kebutuhan kebutuhan perkuliahanku.
Sebagai bentuk penghematan juga, selama awal awal perkuliahan, aku tinggal bersama kakak kandungku di daerah Krian, Sidoarjo. Jaraknya memang cukup jauh, namun karena uang makan dan biaya sewa rumah bisa dipotong, aku rela pulang pergi setiap hari untuk kuliah dan bekerja. Kakakku juga tidak masalah aku tinggal disana, apalagi jika mengetahui apa alasanku rela bolak balik sejauh itu.
Akibat pola kehidupanku yang kuliah – kerja – pulang, selama setahun pertama bisa dibilang aku tidak memiliki teman. Aku tidak sempat bergaul atau membentuk sebuah geng seperti teman temanku yang lain. Bukan karena ansos, aku orang yang sebenarnya senang berteman dan sangat ingin punya sahabat atau teman dekat, namun ketimbang nongkrong dan nantinya mengeluarkan uang, aku lebih memilih bekerja dan mendapatkan uang.
Pola kehidupan yang menghabiskan seluruh waktuku dalam sehari ini hanya mampu kupertahankan sampai pertengahan pesemester kedua. Saat semester tiga, tugas kuliah yang diberikan dosen mulai tidak mungkin dikerjakan dalam durasi kosong setelah aku pulang bekerja. Tidur menjadi hal mahal dan mewah bagiku saat itu. Bahkan beberapa kali aku tidak pulang untuk menyelesaikan tugas tugas yang seperti tidak ada hentinya itu. Lebih parahnya lagi, badanku dipaksa untuk tetap beraktivitas sepulang dari kerjaan sampinganku yang baru selesai jam sebelasan malam.
Semakin ketat dan padatnya tugas maupun jadwal kuliah ini nyatanya juga dirasakan beberapa temanku yang lain. Pada semester tiga ini, aku sudah memiliki beberapa teman. Kami semua adalah para perantau yang menimba ilmu di universitas yang sama. Kesamaan sebagai perantau dengan uang terbatas membuat obrolan kami nyambung dan mulai bersahabat.
Keadaan kami yang didesak ekonomi membuat beberapa diantara teman temanku itu berinisiatif menyewa sebuah rumah kontrakan. Dengan menyewa satu rumah full, harapannya kami bisa menekan uang pengeluaran sewa yang selama ini cukup besar. Karena secara matematis, menyewa setahun sebuah rumah untuk ditinggali bersama sama tentu lebih murah ketimbang menyewa satu kamar kos tiap masing masing orang.
Selain aku yang bolak balik rumah kakak tiap hari, teman temanku yang lain sebelumnya menyewa kos yang jaraknya cukup jauh dari kampus agar harganya murah, pergi ke kampus dengan angkot atau mengendarai sepeda motor. Namun karena sulit dan rumitnya tugas yang diberikan bisa bisa membuat kami tidur di kampus, mau tidak mau kami harus memiliki tempat tinggal yang terjangkau dari kampus.
Saat itu Irvan, salah satu sahabatku adalah orang pertama yang menggagas rencana menyewa rumah ini. Ia mengumpulkan lima orang lainnya yang akan bergabung untuk menyewa rumah. Keenam orang yang akan menyewa rumah itu seluruhnya adalah pendatang, terdiri dari aku, Irvan dan Rifai dari Jombang, Ferdi dari Mojokerto, serta Ahmad dan Ivan dari Tuban. Oh iya aku lupa memperkenalkan diri di awal ceritaku ini, namaku Dimas, tapi teman temanku lebih sering memanggilku “Suro” atau “Sur” karena kelahiranku pada malam 1 Suro.
Sejak kecil sebenarnya aku sudah mendapatkan kekurangan berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Awalnya aku hanya bisa merasakan keberadaan mereka di beberapa titik di rumahku, lama kelamaan aku bisa melihat wujud mereka yang seperti siluet, dan pada akhirnya aku bisa melihat mereka secara nyata bahkan berbicara secara sadar maupun saat di mimpi. Namun aku sering kali memilih untuk tidak memberitahukannya pada siapapun kecuali memang sosok yang muncul mencoba mencelakai atau mengganggu.
Kembali kepada pencarian kontrakan, keenam orang tadi termasuk aku sepakat untuk mendapatkan rumah kontrakan dengan budget maksimal 15 juta perbulan, dan harus dekat dengan kampus. Hanya dua syarat itu saja yang menjadi kesepakatan kami.
Karena posisiku bekerja pada sore hingga malam, aku menyerahkan proses survei rumah kontrakan kepada teman temanku yang lain. Aku percayakan pemilihan rumah kepada mereka karena aku yakin mereka juga akan mencari rumah semurah mungkin untuk ditinggali.
Singkat cerita, aku dikabari mereka berhasil menemukan rumah yang cocok. Karena takut keduluan penyewa lain, mereka berunding tanpa mengajakku dan akhirnya sepakat untuk membayar dp terlebih dahulu sebagai pengaman. Sorenya, Ferdi baru mengabariku tentang rumah pilihan mereka dan kapan kami bisa pindah kesana. Karena belum melihat dimana posisi rumah dan bagaimana wujudnya, aku minta diantarkan Ferdi untuk melihat lihat.
Aku akhirnya dibawa Ferdi ke lokasi rumah itu. Sepanjang jalan ia menceritakan bagaimana proses tawar menawar dan kenapa memilih rumah itu sebagai calon rumah kami setahun kedepan. Namun ketika Ferdi memelankan motornya dan berhenti di sebuah rumah, aku saat itu seketika terdiam...
Rumah yang ada di seberangku terasa aneh. Ada aura yang susah dijelaskan berasal dari dalam, terasa dingin dan sunyi padahal berada di pinggil jalan besar yang cukup ramai lalu lalang warga. Aku sempat berharap rumah yang kami kontrakan bukanlah rumah berhawa aneh ini. Namun, setelah menurunkan standar motornya, Ferdi benar benar berjalan ke pagar rumah suram itu dan membukanya.
“Hei cok, seng genah iki panggon e??”(Hei cok, yang bener ini tempatnya?) tanyaku ragu.
“Yo bener lah iki panggone. Opo’o kemproh ta?”(Ya bener lah ini tempatnya. Kenapa emang? Kotor ya?) balas Ferdi saat melihat wajah raguku.
Aku melangkah melewati pagar tanpa membalas terlebih dahulu pertanyaan Ferdi. Dan apa yang ku khawatirkan memang tidak salah..
Dari teras ini saja, aku sudah melihat betapa ramai dan banyaknya makhluk yang sudah terlebih dahulu menghuni rumah ini sebelum kami. Wujudnya bermacam macam dan seakan menyambut kami masuk, karena salah duanya aku lihat berdiri di depan pintu utama. Selain itu apa yang dikatakan Ferdi juga benar, rumah ini cukup kotor karena mungkin sudah lama tidak ditinggali, dan mungkin karena kombinasi rumah kosong dan kotor itu juga membuat “mereka” mengisi bangunan ini sekarang.
“Ga cocok sama kamu Sur?” tanya Ferdi lagi.
“Ah enggak enggak, gapapa. Udah di dp juga kan” jawabku menutupi apa yang sebenarnya aku pikirkan.
Jika saja aku ikut survei bersama mereka dan menemukan rumah ini, mungkin aku akan langsung menolaknya meski semurah apapun. Aku bisa bilang semua rumah itu memang memiliki penghuni tak kasat mata, tapi rumah ini berbeda. Ada sesuatu yang membuat makhluk makhluk ini mengerubungi rumah itu seperti pasar, dan aku yakin alasannya adalah sesuatu yang buruk..
Tapi aku juga tidak mungkin mundur dari rencana menyewa rumah bersama kelima temanku yang lain. Aku membutuhkan tempat tinggal murah dan aku juga tidak mau mengecewakan mereka semua yang sudah meluangkan waktu mereka untuk survei dan membayar dp. Karena kalau aku mundur, itu berarti maka mereka harus mencari orang lain atau akibatnya mereka akan membayar lebih karena uang sewa yang hanya dibagi 5.
Aku hanya sampai teras dan tidak masuk ke dalam. Rumah itu masih digembok dan kunci dipegang oleh pemilik rumah yang tinggal di daerah lain namun tidak terlalu jauh dari rumah ini.
“Kata bapaknya, nanti sebelum kita ngisi, dia mau bersihin dulu beberapa. Seenggaknya ga sekotor ini lah nanti” ujar Ferdi lagi sambil keluar dari pagar.
Aku hanya mengangguk. Aku harap bersih bersih itu setidaknya dapat mengurangi pekatnya hal hitam yang aku lihat di dalam sana.
Sedikit gambaran mengenai rumah yang akan kami kontrakkan ini, rumah ini terdiri dari sebuah bangunan satu lantai dengan cat luar berwarna putih dan cat dalam berwarna orange. Di dalam rumah ada 4 kamar tidur yang cukup besar, sebuah gudang di bagian depan yang berisi barang barang pemilik rumah, dan sebuah ruangan kecil tertutup di dekat jemuran yang berhadapan dengan salah satu kamar. Diantara bangunan dan jalan raya ada teras yang cukup luas untuk menaruh motor.
Rumah ini kami sewa selama satu tahun dengan biaya 14 juta rupiah selama dua kali angsuran pembayaran. Sebenarnya kalau mengenyampingkan dari segi kebersihan, dengan ukuran rumah dan posisinya yang sangat strategis, harga itu masih sangat murah untuk bisa kami dapatkan.
Seminggu setelah membayar dp, sesuai kesepakatan, kami akan segera menampati rumah itu. Di hari yang ditentukan, kami berenam datang duluan sebelum pemilik rumah tersebut datang untuk serah terima kunci. Ketika kami datang, kondisi rumah masih sama seperti yang terakhir aku lihat bersama Ferdi. Lantai yang masih berkerak, beberapa tumpukan debu dan jaring laba laba masih ada di sudut sudut rumah.
“ini yang katanya mau dibersihin dulu?” celetuk Ivan.
“nanti tanyain aja ke bapaknya” jawab Ferdi.
Tak lama, seorang pria paruh baya dengan sepeda motornya datang. Ia adalah pemilik rumah tersebut yang baru pertama kali aku lihat, Ivan memperkenalkan diriku pada pria itu dan hanya dibalas senyuman tipis.
Bapak itu tidak memberikan banyak informasi, ia hanya menunjukkan kunci mana, untuk membuka pintu yang mana, posisi saklar listrik, air pompa kamar mandi, dan beberapa hal lain. Namun seperti yang aku katakan tadi, rumah ini memiliki empat kamar dan satu kamar berukuran kecil di dekat jemuran, tapi bapak itu hanya memberikan empat kunci untuk keempat kamar tadi. Sementara kamar kosong itu tidak ia berikan akses dan juga tidak dijelaskan apa isinya. Padahal tadinya kami kira kami bisa menempatinya karena jumlah kami berenam sedangkan kamar hanya ada empat.
Masih dalam pikiran positif, kami mengira isi ruangan itu adalah harta benda milik pemilik rumah yang memang tidak bisa diakses oleh penyewa.
Sebelum bapak itu pulang, Ivan sempat menyinggung tentang rumah yang belum dibersihkan sebagaimana perjanjian awal. Namun Bapak itu hanya menjawab bahwa orang yang biasa ia pekerjakan sedang berhalangan dan kami sudah keburu mengisi rumah.
Akhirnya, dengan terpaksa sebelum tidur malam ini kami harus bahu membahu membersihkan rumah yang entah sudah berapa lama kosong ini. Kami terlebih dahulu membagi kamar. Karena ada empat kamar dan kami berenam, maka akan ada dua kamar yang diisi dua orang. Akhirnya diputuskan Ivan dan Ahmad mengisi satu kamar yang berukuran sedang, aku dan Rifai menempati kamar paling ujung yang berhadapan dengan kamar kosong tadi, sementara Ferdi dan Irvan mengisi kamar sendiri sendiri berukuran sedang.
Malam itu juga kami berbenah total. Kami menyapu lantai, mengepel, membersihkan jaring laba laba di sudut langit langit dan menata posisi barang barang di kamar masing masing agar lebih nyaman kami tempati. Nyatanya membersihkan rumah dan kamar ini benar benar melelahkan. Aku dan Rifai sampai ketiduran dalam keadaan lampu dan kipas menyala, sementara kamar tidur sudah kami kunci.
Dan semua hal hal aneh itu sudah terjadi dimulai sejak hari pertama kami disini..
Sekitar jam satu malam, aku dibangunkan oleh Rifai dengan suara panik.
“Sur Sur Sur!” ujarnya sambil menggoncang goncang tubuhku.
Aku terbangun dan seluruh ruangan gelap, hanya ada sedikit cahaya remang yang masuk dari lampu di ruang tengah. Sementara diluar masih berisik karena hujan lebat malam itu.
“loh mati lampu?” tanyaku.
“Bukan. Kita aja yang mati lampu. Kayaknya putus bohlamnya” ujar Rifai sambil menunjuk cahaya lampu luar.
“wis, besok cari..” kataku sambil hendak melanjutkan tidur.
“heh, aku bangunin kamu karena aku gerah dan cium bau aneh loh” tegur Rifai.
Aku kembali membuka mataku dan mengendus ngendus aroma yang dimaksudkan Rifai.
“Nah? Cium ga? Ini darimana ya baunya Sur? Bau kemenyan sama bau busuk ini hoek, takut aku” kata Rifai dengan wajah was wasnya yang berbayang ditengah gelapnya ruangan itu.
Aku masih mencoba mencium apa yang ia maksud namun di hidungku hanya tercium bau tanah yang basah karena hujan dan tidak ada bau bau aneh seperti yang ia katakan.
“Ah mana? Aku ga cium apa apa kok. Bau dari luar sana kali yang masuk ke kamar. Kamu ini gara gara bohlam mati aja dibawa kemana mana” kataku sambil mengejek Rifai yang ketakutan.
Rifai lalu berjalan ke arah jendela untuk mengecek apa benar aroma aneh itu berasal dari luar. Namun baru saja ia menyibak kain jendela, Ia mundur satu langkah dan kembali melihat kearahku.
“Dimas.. itu.. kok lampunya hidup ya?..” tunjuk Rifai.
Aku melihat ke arah yang Rifai tunjuk. Lampu di kamar berukuran kecil yang terkunci di hadapan kami tiba tiba saja menyala. Padahal kami yakin sejak awal lampu didalamnya mati.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Rifai. Semua kamar disini memiliki saklar lampu di bagian dalam masing masing kamar. Tidak ada sekring di bagian luar untuk bisa menyalakan lampu kamar.. kecuali memang ada yang menghidupkannya dari dalam sana, atau yang lebih buruk.. ada yang menempati ruangan itu tanpa sepengetahuan kami....
Bersambung ke Part 2






al.galauwi dan 44 lainnya memberi reputasi
39
15.6K
Kutip
96
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan