- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
PENDIDIKAN : Mahal Untuk Sebuah Prrestasi


TS
dr.furniture007
PENDIDIKAN : Mahal Untuk Sebuah Prrestasi
Pendidikan erat kaitannya dengan ujian, dan konon hidup ini adalah ujian. Hidup adalah ujian, hanya saja Peserta ujian – setidaknya saya – tidak mau lulus cepat-cepat.
Belakangan ini arti pendidikan sudah menyempit ke arah pendidikan formal di sekolah saja. Itu pun sudah bergeser, yang tadinya mencari ilmu jadi sekadar mencari ijazah. Orang sering dinilai dari almamater.Almamater menentukan kasta, sehingga menjadikannya bahan candaan bisa menjadi hal yang sensitif.
Untuk membeli kasta, orang tua tidak segan merogoh kocek dalam-dalam. Contoh, dekat rumah saya ada TK yang kalau saya hitung-hitung satu semester biayanya bisa mencapai sekitar Rp 25 juta. TK apa macam apa itu, apa yang dipelajari?
Uang kuliah saya dulu –kuliah bukan TK ya– hanya Rp 300 ribu saja satu semester,sampai saya lulus, uang 25 juta pasti masih sisa. Bisa dipakai kuliah lagi mungkin. Kalau saya perhatikan pada pendidikan anak khususnya. Banyak anak-anak sekarang belajar yang susah-susah dulu, tapi yang dasar dilupakan. Ibarat rumah atapnya dibangun dulu, walau pondasi belum jadi. Mau bangun rumah kurcaci mungkin. Belajar bahasa asing, Inggris, Mandarin, Jepang, padahal cebok belum bisa. Apa mungkin, minta tolong dicebokin harus pakai bahasa Inggris, “Mama… help me.. wipe my ass.”
Apakah itu semua untuk kebutuhan anaknya ?
Menurut saya, kebanyakan sih untuk prestise orang tua.Apakah balita –kecuali tinggal di Inggris– butuh bahasa Inggris? Bahasa Inggris dianggap sebagai patokan kepintaran seseorang. Padahal di Inggris tukang bersihin WC pun saya yakin mahir bahasa Inggris. Jadi jelas kemampuan itu untuk ditunjuk-tunjukkan ke teman-teman orang tuanya. “Ayoo.. Adi, tunjukin Tante Ani kamu bisa bahasa Inggris… ” Lalu Adi bilang, “F*ck you!” –mungkin karena kesal seharian disuruh-suruh melulu– dan Tante Ani masih bilang, “Anak pintar, bisa bahasa Inggris.” Yang terjadi sekarang tidak ada bedanya dengan sirkus, sirkus anak. Seperti nonton sirkus, asik memang, para pemainnya bisa salto. Tapi apakah orang itu waktu jalan di kehidupan sehari-hari sambil salto? Kita datang ke rumah teman kita yang bapaknya pemain sirkus.
Ada bayangan cepat mengkelebat, lalu kita tanya, “Bro, apaan itu?” Teman kita dengan santai bilang, “Ohh itu… bokap gua.” Saya bukan bilang bahasa Inggris itu nggak penting, tapi apa nggak bisa nanti, kalau sudah agak besar. Mungkin terdengar menyesatkan, tapi prinsip saya, “Apa yang bisa dikerjakan nanti, buat apa dikerjain
sekarang.” Tundalah pekerjaan yang masih bisa ditunda, enjoy your life. Kalau sebuah pekerjaan sudah tidak bisa ditunda lagi, ya kerjakan, saya setuju. Tapi ada lho pekerjaan yang sebaiknya ditunda dulu, contohnya nikah. Tundalah pernikahan, karena emang belum ada calonnya. Dasar jomblo! Sudah mahal, masih ada beberapa anggapan yang masih kurang tepat dalam memandang sesuatu. Misalnya, ada pendapat bahwa nggak baik ngomongin orang yang sudah meninggal. Kalau begitu kita, nggak bisa bicara soal sejarah. Karena pelaku sejarah sudah pada meninggal. Sukarno, Suharto, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Ken Arok, semua sudah meninggal. Apakah ketika guru di sekolah bertanya, “Coba Sammy jelaskan tentang Gajah Mada?” Saya bisa menjawab, “Ahhh Ibu, jangan bicarain orang yang sudah meninggal dong, Bu. Nggak baik.” Kita bandingkan pendidikan kita dengan sebuah negara, Finlandia. Banyak artikel menulis sistem
pendidikan terbaik salah satunya adalah di Finlandia. Dan di sana nggak ada PR, atau minim sekali.
Di negara kita jangankan PR, anak-anak malah masih ikut les macam-macam. Tapi apakah kita lebih maju dari Finlandia yang jadi salah satu leader di Industri telekomunikasi dan di ajang balap mobil F1. Pebalap F1 yang jadi juara banyak
dari Finlandia, misalnya saja: Mika Hakkinen, Kimmi Raikkonen.
Karena mungkin mereka nyetirnya fokus nggak sambil mikirin PR.
Kalau kita dulu juga pernah ikutan A1 tapi sering gagal finish, nabrak tembok. Mungkin dia nabrak karena nggak konsen, pusing mikirin PR. Putus asa jadi pembalap dan masuk partai untuk ikut-ikutan jadi caleg. Ayo siapa, ayoo tebak!
Mungkin di Finlandia tidak ada orang tua yang basa-basi sama anaknya, “Kamu sudah ngerjain PR?” karena akan dijawab anaknya seperti ini, “Papa, kita hidup di Finlandia, kita negara maju … walau tanpa PR.” Mungkin saja terjadi. Sistem pendidikan di Finlandia tidak berubah dalam 40 tahun terakhir. Di kita, setiap ganti menteri, ganti sistem. Kadang-kadang yang diganti pun tidak jelas. Contoh saja, dulu SD kelas 1 - 6, SMP kelas 1 - 3, SMA kelas 1 - 3, sekarang disatukan kelas 1 – 12.
Tapi praktiknya tidak berubah, hanya penamaan jenjang saja yang berubah. Tujuannya apa? Apa alasannya karena menteri dulu tidak bisa berhitung sampai 12.
Lalu menteri yang sekarang bisa berhitung sampai 12. Sungguh mengherankan! *geleng geleng*.
Berbeda dengan kondisi di Indonesia, terutama anak-anak golongan menengah ke atas, orang tua malah tidak pede kalau anaknya tidak ikut les lagi di luar. Jadwal anak-anak jadi padat, dan mungkin suatu saat sangkin padatnya jadwal mereka, jangan-jangan orang tua mau bertemu anaknya sendiri pun harus bikin janji. “Bapak mau bicara dengan kamu!” Anaknya lalu bilang, “Sudah buat janji?” Ahhh, saya sedikit menyesal menulis artikel ini, terutama tentang sistem pendidikan di Finlandia. Saya takut anggota DPR terilhami, untuk studi banding ke sana. “Boss, sistem pendidikan di Finlandia bagus, berangkat kita….”
kata seorang anggota DPR. ••
Belakangan ini arti pendidikan sudah menyempit ke arah pendidikan formal di sekolah saja. Itu pun sudah bergeser, yang tadinya mencari ilmu jadi sekadar mencari ijazah. Orang sering dinilai dari almamater.Almamater menentukan kasta, sehingga menjadikannya bahan candaan bisa menjadi hal yang sensitif.
Untuk membeli kasta, orang tua tidak segan merogoh kocek dalam-dalam. Contoh, dekat rumah saya ada TK yang kalau saya hitung-hitung satu semester biayanya bisa mencapai sekitar Rp 25 juta. TK apa macam apa itu, apa yang dipelajari?
Uang kuliah saya dulu –kuliah bukan TK ya– hanya Rp 300 ribu saja satu semester,sampai saya lulus, uang 25 juta pasti masih sisa. Bisa dipakai kuliah lagi mungkin. Kalau saya perhatikan pada pendidikan anak khususnya. Banyak anak-anak sekarang belajar yang susah-susah dulu, tapi yang dasar dilupakan. Ibarat rumah atapnya dibangun dulu, walau pondasi belum jadi. Mau bangun rumah kurcaci mungkin. Belajar bahasa asing, Inggris, Mandarin, Jepang, padahal cebok belum bisa. Apa mungkin, minta tolong dicebokin harus pakai bahasa Inggris, “Mama… help me.. wipe my ass.”
Apakah itu semua untuk kebutuhan anaknya ?
Menurut saya, kebanyakan sih untuk prestise orang tua.Apakah balita –kecuali tinggal di Inggris– butuh bahasa Inggris? Bahasa Inggris dianggap sebagai patokan kepintaran seseorang. Padahal di Inggris tukang bersihin WC pun saya yakin mahir bahasa Inggris. Jadi jelas kemampuan itu untuk ditunjuk-tunjukkan ke teman-teman orang tuanya. “Ayoo.. Adi, tunjukin Tante Ani kamu bisa bahasa Inggris… ” Lalu Adi bilang, “F*ck you!” –mungkin karena kesal seharian disuruh-suruh melulu– dan Tante Ani masih bilang, “Anak pintar, bisa bahasa Inggris.” Yang terjadi sekarang tidak ada bedanya dengan sirkus, sirkus anak. Seperti nonton sirkus, asik memang, para pemainnya bisa salto. Tapi apakah orang itu waktu jalan di kehidupan sehari-hari sambil salto? Kita datang ke rumah teman kita yang bapaknya pemain sirkus.
Ada bayangan cepat mengkelebat, lalu kita tanya, “Bro, apaan itu?” Teman kita dengan santai bilang, “Ohh itu… bokap gua.” Saya bukan bilang bahasa Inggris itu nggak penting, tapi apa nggak bisa nanti, kalau sudah agak besar. Mungkin terdengar menyesatkan, tapi prinsip saya, “Apa yang bisa dikerjakan nanti, buat apa dikerjain
sekarang.” Tundalah pekerjaan yang masih bisa ditunda, enjoy your life. Kalau sebuah pekerjaan sudah tidak bisa ditunda lagi, ya kerjakan, saya setuju. Tapi ada lho pekerjaan yang sebaiknya ditunda dulu, contohnya nikah. Tundalah pernikahan, karena emang belum ada calonnya. Dasar jomblo! Sudah mahal, masih ada beberapa anggapan yang masih kurang tepat dalam memandang sesuatu. Misalnya, ada pendapat bahwa nggak baik ngomongin orang yang sudah meninggal. Kalau begitu kita, nggak bisa bicara soal sejarah. Karena pelaku sejarah sudah pada meninggal. Sukarno, Suharto, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Ken Arok, semua sudah meninggal. Apakah ketika guru di sekolah bertanya, “Coba Sammy jelaskan tentang Gajah Mada?” Saya bisa menjawab, “Ahhh Ibu, jangan bicarain orang yang sudah meninggal dong, Bu. Nggak baik.” Kita bandingkan pendidikan kita dengan sebuah negara, Finlandia. Banyak artikel menulis sistem
pendidikan terbaik salah satunya adalah di Finlandia. Dan di sana nggak ada PR, atau minim sekali.
Di negara kita jangankan PR, anak-anak malah masih ikut les macam-macam. Tapi apakah kita lebih maju dari Finlandia yang jadi salah satu leader di Industri telekomunikasi dan di ajang balap mobil F1. Pebalap F1 yang jadi juara banyak
dari Finlandia, misalnya saja: Mika Hakkinen, Kimmi Raikkonen.
Karena mungkin mereka nyetirnya fokus nggak sambil mikirin PR.
Kalau kita dulu juga pernah ikutan A1 tapi sering gagal finish, nabrak tembok. Mungkin dia nabrak karena nggak konsen, pusing mikirin PR. Putus asa jadi pembalap dan masuk partai untuk ikut-ikutan jadi caleg. Ayo siapa, ayoo tebak!
Mungkin di Finlandia tidak ada orang tua yang basa-basi sama anaknya, “Kamu sudah ngerjain PR?” karena akan dijawab anaknya seperti ini, “Papa, kita hidup di Finlandia, kita negara maju … walau tanpa PR.” Mungkin saja terjadi. Sistem pendidikan di Finlandia tidak berubah dalam 40 tahun terakhir. Di kita, setiap ganti menteri, ganti sistem. Kadang-kadang yang diganti pun tidak jelas. Contoh saja, dulu SD kelas 1 - 6, SMP kelas 1 - 3, SMA kelas 1 - 3, sekarang disatukan kelas 1 – 12.
Tapi praktiknya tidak berubah, hanya penamaan jenjang saja yang berubah. Tujuannya apa? Apa alasannya karena menteri dulu tidak bisa berhitung sampai 12.
Lalu menteri yang sekarang bisa berhitung sampai 12. Sungguh mengherankan! *geleng geleng*.
Berbeda dengan kondisi di Indonesia, terutama anak-anak golongan menengah ke atas, orang tua malah tidak pede kalau anaknya tidak ikut les lagi di luar. Jadwal anak-anak jadi padat, dan mungkin suatu saat sangkin padatnya jadwal mereka, jangan-jangan orang tua mau bertemu anaknya sendiri pun harus bikin janji. “Bapak mau bicara dengan kamu!” Anaknya lalu bilang, “Sudah buat janji?” Ahhh, saya sedikit menyesal menulis artikel ini, terutama tentang sistem pendidikan di Finlandia. Saya takut anggota DPR terilhami, untuk studi banding ke sana. “Boss, sistem pendidikan di Finlandia bagus, berangkat kita….”
kata seorang anggota DPR. ••
Diubah oleh dr.furniture007 25-04-2013 18:47
0
1.3K
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan