- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Rumah Kosong Di Tengah Kampung-KUNCEN


TS
benbela
Rumah Kosong Di Tengah Kampung-KUNCEN
Quote:
Rumah Kosong Di Tengah Kampung-KUNCEN

Tidak ada yang istimewa dari kampungku ini, selain berseberangan langsung dengan ibu kota kecamatan. Layaknya perkampungan lainnya di Kalimantan, kampungku berada di pinggiran sungai dan diapit hutan belantara yang lebat. Pun begitu dengan ibu kota kecamatan, kampungku dibatasi oleh sungai Barito yang teramat lebar.
Tidak ada jembatan yang menghubungkan kampungku dengan ibu kota kecamatan, kecuali harus menyeberang menggunakan perahu motor yang disebut kelotok. Biayanya tidak mahal, hanya Rp.5000 sekali menyeberang, dan Rp.15.000 jika membawa motor.

ilustrasi
Kampungku ini, sebut saja namanya Beriwit Seberang. Sebuah perkampungan kecil yang berada di pedalaman. Karena dekat dengan ibu kota kecamatan, kampungku ini lumayan ramai dibandingkan perkampungan lainnya. Tidak perlu khawatir terhadap listrik PLN, begitu pula sinyal HP. Jaringan internet pun teramat lancar, kecuali hujan.
Saban sore, akan terlihat beberapa remaja yang asyik bermain tiktok ataupun mencoba menjadi youtuber kondang. Namun, selepas tamat SMA, anak-anak kampungku akan memilih menikah muda lalu melanjutkan hidup menjadi orang tua. Mau gimana lagi, sebagian besar penduduk kampungku hidup dibawah garis pas-pasan.
Pekerjaan utama sebagian besar penduduk adalah menjadi petani karet yang harganya sudah tidak manusiawi. Menambang emas pun selalu diburu polisi, katanya merusak lingkungan. Membuka ladang, lagi-lagi diburu aparat karena katanya menyebabkan kebakaran hutan. Ibarat kata, seperti ayam yang mati di lumbung padi.
Akhirnya penduduk kampungku hanya bisa meratap, berharap ada bantuan BLT yang bisa dicairkan di kantor pos. Dan aku, adalah salah satu warga yang terdaftar sebagai penerima bantuan tersebut. Pekerjaan sehari-hari sebagai motoris kelotok hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Itupun harus ditambah kasbon di warung. Kadang, terbersit keinginan untuk menjadi penjahat saja. Merampok, misalnya. Namun apalah daya, aku tak cukup punya nyali.
Seperti yang kusampaikan tadi, jaringan informasi teknologi di kampungku ini lumayan mumpuni. Akan tetapi, yang namanya kampung tetaplah kampung. Masyarakat masih percaya hal-hal mistis dan gaib, terutama orang-orang tua. Setiap bulan tertentu ada saja orang yang menghanyutkan sesaji di sungai. Katanya, memberi makan buaya gaib peliharaan. Biasanya sih pelakunya orang-orang yang sudah sepuh. Anak mudanya, mereka lebih percaya menjadi selebgram bisa bikin orang jadi cepat kaya.
Di antara banyaknya hal yang tidak istimewa di kampungku ini, setidaknya ada satu hal yang cukup membikin bangga. Suatu perkara yang membuat kampungku cukup punya nama di seantero kecamatan. Yaitu adanya bangunan rumah kosong yang terkenal angker. Lokasinya persis di tengah kampung, membagi bagian hulu dan hilir yang dipisahkan oleh hutan lebat. Tidak hanya para tetua, para pemuda pun tidak berani main-main dengan betapa mengerikannya rumah kosong ini.
Jika ditilik dari nama, rumah kosong ini tidaklah seram-seram amat. Orang kampungku menyebutnya rumah pak Hamid. Karena, konon, rumah ini dulu milik seseorang yang bernama Hamid. Kebetulan ia sudah bergelar haji. Tapi jangan tertipu dengan namanya yang terkesan teduh dan terpuji. Jika menatap langsung rumah ini lebih dari lima menit, siapapun akan lari terkencing-kencing. Rumah ini punya aura yang aneh sekali. Hawanya terasa dingin dan membikin bulu kuduk berdiri tanpa sebab.
Entah sejak kapan rumah ini berdiri, tidak ada yang tahu persis. Kata almarhumah ibu, rumah ini sudah ada sejak sebelum aku lahir. Dulu, rumah ini dibangun oleh seorang saudagar yang bermukim di ibu kota kecamatan. Namanya haji Hamid. Sedianya, rumah ini akan dijadikan tempat tinggalnya bersama keluarga. Haji Hamid awalnya hendak membuka peternakan sapi di kampungku.
Bila dilihat dari bentuk bangunannya, bisa dibilang rumah pak Hamid ini dahulunya adalah rumah mewah. Rumah orang yang berduit. Terbuat sepenuhnya dari kayu ulin, rumah ini berlantai dua dan berbentuk panggung. Arsitektur bergaya Belanda terlihat jelas dari bentuknya.
Namun, haji Hamid dan keluarganya menempati rumah itu hanya sekitar tiga bulan. Kata almarhumah ibu, mereka pergi tergesa di suatu pagi tanpa alasan jelas. Tidak ada yang tahu penyebabnya, mereka sepertinya pergi dalam keadaan ketakutan. Semua perabotan ditinggal begitu saja tanpa sempat dibawa.
Setelah bertahun-tahun, rumah itu dibiarkan terbengkalai. Sekarang, halaman rumahnya telah ditumbuhi rumput liar, dikelilingi belukar dan pepohonan tinggi serta hutan bambu di kiri dan kanan.
Akupun punya pengalaman yang mengerikan terkait rumah kosong ini. Aku ingat sekali, waktu itu aku masih duduk di kelas 3 SD, tahun 1993. Kala itu, suasana kampungku tidak seramai sekarang. Penduduk masih sedikit dan jarak antar rumah saling berjauhan. Listrik PLN belum masuk serta jalan utama masih berupa tanah liat.
Aku ingat persis, kejadian ini kualami sepulang belajar ngaji. Kala itu selepas Isya, aku dan dua orang kawan bergegas pulang menuju rumah kami yang ada di sebelah hulu kampung. Memang, jaman dulu satu-satunya mesjid di kampung kami terletak di wilayah hilir. Bagian hilir ini memang lebih ramai dibanding hulu, dan terdapat sebuah dermaga.
Namanya anak kecil, pastilah suka bercanda. Kami bersenda gurau sepanjang jalan pulang. Tidak terpikirkan rasa takut akan hantu atau mahluk halus saat itu. Padahal, kami pulang menyusuri jalan yang sepi. Tidak ada penerangan jalan, hanya mengandalkan cahaya senter yang jadi satu-satunya penunjuk jalan.
Kebetulan, kami hanya menggunakan satu buah senter. Senter itu milik Arman, yang ia pinjam dari ayahnya. Sedangkan kawanku yang satunya lagi bernama Rudi. Rumah kami bertiga memang bertetangga di bagian hulu kampung. Bahkan, kami satu kelas. Bisa dikatakan kami ini kawan dekat.
Awalnya, selama perjalanan tidak ada hal ganjil yang kami temui. Kami melangkah pulang dengan penuh gelak tawa, saling dorong dan saling kejar-kejaran. Jarak antara hulu dan hilir memang lumayan jauh, sekitar 30 menit berjalan kaki.
Setelah melewati barisan pohon besar yang menjulang tinggi di kiri dan kanan jalan, kami kemudian menyusuri hutan bambu yang teramat rapat. Saking rapatnya, hanya serangga dan burung pipit yang bisa melewati rumpun bambu yang tumbuh di sebelah kanan jalan. Sedangkan di sebelah kiri, merupakan perkebunan karet milik perhutani.
Karena sudah capek kejar-kejaran, kami kini berjalan pelan di bawah rumpun bambu yang lebat. Kami harus mengumpulkan tenaga, lantaran sekitar 300 meter di depan terdapat rumah kosong pak Hamid. Rencananya, begitu melewati rumah kosong pak Hamid, kami akan lari sekencang-kencangnya hingga ketemu pondok ladang amang Ijai. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima menit jika berlari dengan kecepatan penuh. Seperti yang sudah-sudah, rencana kami selalu berhasil tanpa harus bertemu hantu penunggu rumah kosong pak Hamid.
Namun, rupanya rencana kami berantakan pada malam itu. Entah apa yang terjadi, malam itu rasanya agak berbeda dibanding malam-malam sebelumnya. Malam terasa lebih dingin, sementara hutan bambu yang kami lewati terasa lebih hening.
Sungguh aneh, malam itu tidak terdengar ada satupun suara jangkrik atau hewan malam lainnya. Yang terdengar hanyalah suara gesekan pohon-pohon bambu yang bergoyang pelan tertiup angin. Semakin didengarkan, suara-suara gesekan pohon bambu seperti bisikan seseorang yang terus memanggil.
"Mir, kamu mendengar, gak? Kayak ada orang yang memanggil kita dari pohon bambu itu?" bisik Arman, seraya terus menyorotkan senter ke depan.
"Hush…jangan dikuya(digubris). Kata abahku, kita jalan lurus aja ke depan. Jangan sekali-kali menoleh," balasku sambil terus melangkah.
"Tapi, Mir, sepertinya ada yang memperhatikan kita di rumpun bambu itu. Kayaknya dia terus mengikuti sambil memanggil kita," timbal Rudi dengan wajah gelisah.
"Hush, jalan saja," sahutku gugup.
Setelah mengucap Bismillah, kami mempercepat langkah dengan perasaan gelisah. Karena kedua kawanku ini mendadak takut, aku jadi ikut-ikutan takut. Tak tahu kenapa, malam ini rasanya sepi bukan kepalang. Tidak ada satupun penduduk yang kami temui sepanjang perjalanan. Biasanya, kami akan berpapasan dengan satu atau dua orang yang membawa serapang untuk menombak ikan.
Mengandalkan cahaya senter yang di pegang Arman, kami melangkah dengan perasaan tidak tenang. Kabut tipis yang berarak pelan ditiup angin membuat suasana semakin mencekam. Aku merapatkan sarung yang melilit di leher demi menahan dingin yang rasanya amat menyiksa.
Kami bertiga terlonjak kemudian saling lirik, dari arah belakang tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Suara langkah itu jelas sekali mengikuti pergerakan kami. Semakin cepat melangkah, semakin cepat pula ia mengikuti. Aku menajamkan kuping demi memastikan. Benar saja, ada sesuatu yang mengikuti. Desah napasnya terdengar lirih dan pendek-pendek.
"Ba-baca ayat kursi, yuk. Baca bareng-bareng," ucapku terbata. Aku tidak berani menoleh, karena suara langkah itu semakin dekat. Bahkan, mungkin jaraknya sudah sejengkal.
Baru selesai kalimat Ta'awudz kami ucapkan, suara jeritan yang teramat kencang terdengar di belakang. Kami terlompat kaget. Suaranya seperti suara bapak-bapak, ngebass dan merintih.
"Paaannaasss…!!! Paaannaasss…!!!"
Tanpa pikir panjang, kami bertiga lari tunggang langgang. Rudi yang tertinggal menangis, meminta kami menunggu. Namun, aku dan Arman justru berlari semakin kencang. Setelah lebih 100 meter, barulah kami berdua tersadar bahwa Rudi tertinggal jauh di belakang.
Aku dan Arman pun berhenti, sembari mengatur napas yang ngos-ngosan. Di belakang, Rudi terus memanggil diiringi suara tangis yang kencang. Arman balik badan, menyorotkan senter sebagai penerangan bagi Rudi. Aku juga terus berteriak, menyuruh Rudi agar lekas berlari.
Menembus kabut, akhirnya terlihatlah Rudi yang berlari dengan air mata berurai. Setibanya di hadapan kami, Rudi langsung marah sambil terus menangis.
"Aahh…Dasar cengeng!" sungutku.
Namun, tangisan Rudi tidak berlangsung lama. Ia mendadak terdiam dengan tubuh gemetaran, sedangkan wajahnya seketika pucat.
"Kenapa, Rud?" cecarku.
"I-itu..a-apa itu?"
Aku dan Arman dan langsung berbalik. Celaka! Ternyata kami berhenti di depan rumah pak Hamid. Seketika kami berdua pun gemetaran. Ternyata ada sosok anak kecil perempuan seusia kami. Gadis itu hanya mengenakan piyama tidur, menatap tajam ke arah kami. Ia hanya berdiri tenang, sementara ilalang liar menutupi kakinya hingga lutut.
Mendadak jantungku rasanya mau lepas, tatkala gadis itu bergerak mendekat. Yang lebih mengerikan, ia berjalan miring. Anehnya, kami bertiga hanya berdiri mematung, menyaksikan gadis itu mendekat dengan cara yang ganjil.
Rudi terkencing di celana saat gadis aneh itu berhenti di depan kami lalu tersenyum misterius. Jujur, saat itu rasanya aku ingin lari sekencangnya. Namun entah kenapa, kedua kakiku rasanya lemas. Apalagi gadis aneh itu tiba-tiba mengulurkan tangan seperti hendak meminta sesuatu.
"Minta duit!" ucapnya.
"Ha-haantuuu…" pekik Arman.
"Heh, aku bukan hantu! Mana ada hantu secantik aku?!"
"Ka-kamu bukan hantu?!" sahutku tak percaya.
Gadis kecil itu mengangguk, "aku cucunya amang Ijai. Baru datang dari kota. Aku mencari kucingku."
Kami bertiga melihat kaki gadis itu, menapak tanah. Kami bertiga kemudian menarik napas lega.
"Heh, apa kamu tidak tahu, rumah itu berhantu?" tanya Arman, sambil menunjuk rumah kosong di belakang gadi itu.
Gadis kecil itu malah tertawa, lalu berucap dengan nada angkuh, "dasar udik! Mana ada hantu. Aku dari tadi bermain di sini tidak ada melihat hantu."
Meskipun kesal, aku dibuat cukup kagum dengan gadis ini. Ternyata cucu amang Ijai ini lebih pemberani dibanding kami bertiga.
"Heh, jangan melamun. Minta duit!" Gadis kecil itu memaksa.
Dengan sedikit kesal aku menyerahkan uang Rp.50 dan Arman Rp.100. Sedangkan Rudi, sepertinya ia tidak punya uang. Setelah menerima uang kami, gadis kecil itu terlihat senang.
Kami bertiga pun melanjutkan perjalanan, meninggalkan gadis kecil itu yang masih sibuk mencari kucingnya. Kami bertiga berdebat, apakah yang kami jumpai barusan adalah hantu atau manusia. Karena tidak yakin, kami bertiga menoleh ke belakang.
Gadis kecil itu masih di sana, berdiri di depan rumah pak Hamid sambil melambaikan tangan. Kami bertiga tersenyum, membalas lambaian tangannya. Namun, seketika kami tercekat dan jantung rasanya hampir lepas.
Gadis kecil itu melambaikan tangan membelakangi kami, sedangkan kepalanya berputar 180 derajat. Ia menyeringai lebar hingga bibirnya robek sampai telinga.
Seketika kami terbirit, berlari sekencang-kencangnya sembari berteriak meminta tolong.
*****
Keesokan pagi, Rudi tidak masuk sekolah. Rupanya ia sakit panas, mungkin karena berjumpa hantu tadi malam. Sungguh malang, sakitnya Rudi kian hari kian parah. Setiap magrib dan subuh, ia akan terbangun di tempat tidur dengan mata melotot. Setelah itu, ia akan berteriak tak jelas hingga liur menetes dari mulutnya.
Suntikan dan obat dari mantri tidak mempan. Doa-doa dari ustad serta obat kampung dari balian juga tak bertuah. Tepat pada hari ke-14, Rudi akhirnya meregang nyawa di pembaringan. Kematian Rudi tentu saja menyisakan duka bagi pihak keluarga, termasuk aku dan Arman.
Kini, 30 tahun semenjak kematian Rudi, rumah angker itu tetap berdiri kokoh. Meski ditumbuhi tanaman merambat dan rumput liar, bangunan kosong itu tidak pula roboh. Ia masih perkasa dengan berbagai misteri dan cerita seram yang mengiringi. Rumah itu dibiarkan saja begitu, jadi bahan berbagai cerita horor di kampungku.
Sesekali, aku melihat seorang gadis kecil dan bocah lelaki berlarian di rumah itu. Rumah kosong di tengah kampung.
Tamat.
Terima Kasih udah mampir. Jangan lupa rate 5, komen dan share yak. 😇🙏






bebyzha dan 45 lainnya memberi reputasi
46
5K
Kutip
53
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan