Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Gara-gara Surat Cinta
Gara-gara Surat Cinta

Kami tertawa terpingkal-pingkal.

Acara komedi di Metro TV bahkan belum dimulai, tetapi perutku merasa sudah kenyang tertawa untuk hari ini. Dengan satu tangan di perut dan tangan yang lain menekan ponsel lebih dekat ke telinga, aku bertanya pada Julia di seberang sana.

“Terus? Kau bakal jawab gimana?”

Lima menit yang lalu Julia menelponku dan menceritakan surat cinta yang dia temukan di tas sekolahnya. Mendengar itu saja sudah membuatku tertawa, memangnya siapa yang masih menggunakan surat cinta di jaman sekarang? Bahkan jika aku pergi ke kantor pos, belum tentu mereka masih menjual prangko untuk berkirim surat.

Namun semuanya berubah menjadi lebih lucu saat Julia berkata pengirim dari surat itu adalah Ando.

Kami semua di kelas 10-5 menyebut Ando sebagai manusia gaib. Tak ada hal khusus mengenai dirinya. Dia tidak pintar dan juga tidak atletis. Tidak bodoh, tapi juga tidak terlalu bisa diandalkan. Dari segala aspek dia benar-benar biasa. Saking biasanya, tak ada yang bisa menyebutkan lebih dari 5 hal tentang dirinya. Seperti itulah Ando.

Kira-kira iblis macam apa yang merasukinya sampai berani menulis surat cinta untuk wanita tercantik dalam sejarah Sma Bukit Cahaya? Memangnya dia kira hidup ini seindah Beauty and the Beast?

“Ya jelas aku tolaklah,” Julia menjawab di seberang sana, “kami bahkan nggak pernah ngobrol. Gimana ceritanya bisa pacaran?”

Jawabannya, meski sangat masuk akal, membuatku tersenyum kecut. Kira-kira sudah berapa banyak pria yang mencoba memenangkan hati Julia? Apa Ando benar-benar buta sampai tak bisa melihat pria yang seribu kali lebih baik darinya berakhir patah hati di tangan Julia?

“Umm … tapi karna kami nggak pernah ngobrol, bisa nggak kalau surat penolakanku aku titip lewat kamu, Rin? Kalian sekelas, kan?”

“Okay, gampang sih itu.”

Meski sangat gaul tapi Julia bukanlah cewek yang tidak merasakan apa-apa saat menolak pernyataan cinta. Terkadang ada rasa bersalah dan bahkan rasa kasihan. Makanya aku sangat sering mendapat tugas untuk menjadi saksi ekspresi patah hati yang pria-pria malang itu rasakan. Tugas yang cukup menyenangkan, tapi cukup membuat sedih juga.

Aku tidak membenci Julia, tetapi karena semua pria melihatnya maka aku dan teman-teman yang lain seolah hidup dalam bayang-bayang Julia. Jika Julia adalah permaisuri maka kami hanyalah dayang-dayang yang mengurus segala kebutuhannya. Selalu menjadi pilihan kedua, inilah resiko kalau punya teman kelewat cantik.

Setelah lima belas tahun hidup tanpa pacar, aku sama sekali tak keberatan dikirimi surat cinta. Meski metode itu memang sangat ketinggalan jaman.

***


Keesokan harinya, persis seperti dugaan, Ando mencoba menahan tangisnya saat membaca kata-demi kata yang tertulis dalam surat penolakan Julia. Kurasa ini pantas untuknya. Dia tak punya nyali untuk mengungkapkan secara langsung jadi dia pun mendapat balasan dengan cara yang sama.

“Kenapa ….”

Cuma kata itu yang keluar dari mulutnya. Aku harus menahan diri untuk tidak membanting kamus lengkap 99 milyar ke kepalanya karena pertanyaan itu sama saja seperti menanyakan kenapa air hujan jatuhnya ke bawah.

“Apanya yang kenapa?” tanyaku balik.

“Kenapa dia menolakku?”

Karena kau jelek!”

Aku bisa membayangkan kata-kataku berubah bentuk menjadi pisau dan menusuk langsung ke jantungnya. Daripada mati perlahan-lahan, lebih baik kubunuh saja dia sekalian.

Kau biasa-biasa saja. Wajahmu terlalu pucat, makan daging sedikit dong. Matamu sering tidak fokus, jangan suka mengkhayal. Kadang-kadang kau gagap, perbanyak bicara dengan orang lain. Kau bahkan lebih pendek dari Julia, coba belajar berenang biar tinggi. Uts kemarin kau banyak remedial kan? Kau harus lebih banyak belajar biar pintar. Rambutmu kepanjangan, potong! Punggungmu bungkuk, kalau jalan itu yang tegap. Kau terlalu gampang ketawa, itu seram. Seragammu kusut. Sepatumu juga udah tipis banget. Tulisan tanganmu juga parah. Alat tulismu juga nggak kelihatan terurus. Kau juga suka ngelirik dada cewek kan? Dan yang paling parah, kau itu pengecut. Kalau kau memang cowok jangan pakai surat cinta, kau harus berdiri di depannya dan sampaikan perasaanmu kuat-kuat sampai dia tak bisa kabur.”

Tampaknya aku sudah mengucapkan terlalu banyak. Oh ya ampun, dia menangis lagi. Sungguh kasihan makhluk Tuhan yang satu ini.

“Maaf, aku nggak—”

Namun sebelum aku menyelesaikan ucapanku, dia sudah mengambil tasnya dan lari meninggalkan sekolah. Kurasa aku benar-benar sudah terlalu berlebihan. Kuharap besok tak akan ada berita tentang anak Sma yang gantung diri akibat putus cinta.

***


Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Untungnya, Ando tetap datang ke sekolah seperti biasa tanpa bekas tali di leher ataupun sayatan di lengan. Meski demikian, dia terlihat begitu murung dan tak pernah bicara banyak. Apakah itu salah Julia? Atau salahku? Mudah saja bagiku untuk mengabaikannya, tapi entah mengapa aku merasa bertanggungjawab.

“Kau jadi murung pun tak akan ada yang secara ajaib langsung jatuh cinta padamu.” Itulah yang kuucapkan padanya saat mendapat kesempatan bicara berdua dengannya. “Hidup memang seperti itu. banyak serangga mencoba terbang ke Bulan tanpa tahu atmosfer Bumi hanya akan membunuh mereka. Kau hanya perlu terbang rendah, niscaya hidupmu akan baik-baik saja.”

Menanggapi itu, Ando menatapku dengan tatapan mata yang tak pernah kubayangkan dimiliki oleh si manusia gaib. Tatapan menusuk dari mata merah itu membuatku mundur selangkah sambil gemetar.

“Apa-apaan matamu itu? Kalau nggak suka ya bilang.”

“Aku nggak suka. Terus kenapa?”

“Kalau nggak suka ya kau harus balas dendam. Dengar Ando, kau sudah terlalu tua untuk percaya dongeng. Nggak ada yang namanya keajaiban, nggak ada yang namanya cinta. Kau harus realistis. Semua cewek pasti mau cowok terbaik sebagai pasangan mereka jadi kau harus jadi pria terbaik yang semua cewek bisa harapkan. Kau paham itu?”

“Gi-gimana caranya?”

“Mana kutahu! Cari tahu sendiri. Gimana kalau kau tingkatkan nilai rapormu? Atau kau bisa mengeluh dan mati saja di pojokan. Yang jelas dunia ini nggak punya tempat buat orang yang cuma bisa berkhayal. Camkan itu!”

Saat itu aku sama sekali tak menyangka bahwa kata-kataku akan membawa perubahan besar di obrolan gadis-gadis. Hari demi hari, perlahan tapi pasti, Ando mulai menjadi pembicaraan semua orang. Dia semakin sering terlihat mendalami buku-buku pelajaran, aktif bertanya pada guru, bergaul dengan lebih banyak orang, dan bahkan berolahraga.

Kelihatannya dia mengambil kursus renang yang membuat tubuhnya semakin tinggi dan berisi. Gaya bicaranya berubah, semakin dalam dan menawan. Seragamnya dan perlengkapannya menjadi lebih rapi, terkadang dia bahkan memakai parfum. Saat pembagian rapor kenaikan kelas, dia nyaris saja masuk sepuluh besar.

Di kelas 2 Ando bergabung dengan Osis dan dari rumor yang beredar dia mengambil berbagai macam les sepulang sekolah. Entah sejak kapan dia punya fangirl yang suka meneriakkan namanya saat bermain bola dengan yang lain. Di kelas (kami sekelas lagi) dia menjadi sosok yang diandalkan. Tampaknya di penghujung semester pertama tahun kedua, tak ada lagi murid di sekolah yang tidak tahu namanya. Dia menjadi juara satu kelas dan cewek-cewek berebut menyatakan cinta padanya.

Di saat itu saja Ando sudah menjadi orang yang sangat hebat, tapi entah setan apa yang merasukinya, dia tak berhenti sama sekali. Di tahun ketiga dia menjadi peserta olimpiade dan membawa pulang piala besar yang selalu dibersihkan Kepala Sekolah dengan penuh cinta. Nilai-nilainya terus merangkak naik hingga menjadi juara satu umum di sekolah. Rumornya, dia bahkan mendapat tawaran dari universitas top yang mengajaknya masuk tanpa repot-repot ikut ujian.

Sekarang satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah: kapan dia akan menembak Julia?

“Siapa sangka dua tahun lalu kau cuma manusia gaib yang menangis karena ditolak cewek,” ucapku padanya di suatu sore yang langka saat kami bisa bicara berdua. “Kau yang sekarang pasti bisa memilih cewek mana pun yang kau mau.”

“Dua tahun … sebentar lagi kita lulus rupanya,” ucapnya sembari memandang langit sore yang berwarna keemasan. Entah mengapa, aku masih merasa dia adalah Ando yang sama dengan Ando yang aku ceramahi dua tahun yang lalu. Anak cengeng yang bahkan tak tahu apa yang terbaik baginya.

“Yep, sebentar lagi kita lulus. Makanya, kalau kau masih suka Julia mending cepat tembak dia. Dia belum punya pacar kok. Sekarang, kau sudah pantas mendapatkannya. Tapi ingat, jangan pakai surat cinta. Kau harus berdiri gagah di depannya dan—”

Rasanya déjà vu. Lagi-lagi aku tak bisa menyelesaikan ucapanku. Tanpa kusadari dia sudah berdiri di hadapanku dengan tubuh tingginya yang menghalangi sinar mentari sore, menutupiku dengan bayang-bayang.

“Hei … kau berdiri di depan orang yang salah.”

“Tidak. Tidak salah.” Dengan kedua telapak tangannya yang besar itu, dia menggenggam tanganku erat-erat, mencegahku untuk kabur darinya. “Kau bilang cinta itu tidak ada, tapi aku yakin aku mencintaimu, Rina. Selama dua tahun, perasaan itu tak berubah. Hanya kau yang selalu menjadi alasanku.”

Semua pria pasti ingin wanita yang terbaik untuknya, tapi Ando memang sudah kerasukan setan. Logika macam apa yang dia pakai sampai berakhir memilihku? Aku yang cuma perempuan biasa ini?

“Boleh kutahu jawabanmu?”

Untuk pertama kalinya aku merasa begitu senang menjadi pilihan kedua.

“Aku mau.”

Padahal, mendapat surat cinta saja aku sudah sangat senang.

-END-
Diubah oleh ih.sul 14-03-2023 04:04
frequentis
tagziv
harigino
harigino dan 17 lainnya memberi reputasi
18
3.3K
60
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan