- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
NANDUR NYAWA - Setiap Kesuburan Tanah itu, Harus Dibayar Dengan Nyawa Manusia


TS
wahyuariyantn
NANDUR NYAWA - Setiap Kesuburan Tanah itu, Harus Dibayar Dengan Nyawa Manusia

NANDUR NYAWA
Setiap Kesuburan Tanah itu, Harus Dibayar Dengan Nyawa Manusia
Quote:
Cerita ini bermula dari kedatangan dua pemuda ke sebuah tempat yang menjanjikannya sebuah pekerjaan. Namun, sejak awal kedatangan, banyak kejanggalan-kejanggalan yang mereka temukan. Diawali dengan beberapa orang di sekitar sana yang enggan memberikan informasi terkait keberadaan tempat yang akan mereka gunakan bekerja, hingga teror demi teror yang menghantui mereka ketika tinggal di sana dan bekerja di sana selama dua bulan lamanya.
Apakah mereka berdua akan bertahan hingga akhir dan mampu menguak rahasia besar di balik teror itu? Silakan baca cerita ini hingga tuntas!
Spoiler for Part 1 - Awal Mula Kedatangan:
“Huhh… Apa yang bisa ku lakukan liburan kali ini?” keluh seorang pemuda yang merasa bosan saat liburan kuliahnya tiba. Tubuhnya bersandar di atas kursi sudut kamarnya, sudah seharian badannya belum tersentuh air karena tidak keluar kamar sama sekali. Kelana, begitu lah orang-orang di sekitarnya memangiilnya. Sudah tiga hari terakhir dirinya merasa gelisah, termenung sendiri di dalam kamarnya karena selalu merasa bosan ketika libur kuliah tiba. Tubuhnya tak terbiasa jika hanya digunakan berdiam diri di kamar kosan. Otaknya berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk mengisi liburannya kali ini, apa ia harus pulang saja? Namun di rumah ia sama saja tidak ada aktivitas apa-apa, ayah dan ibunya pun belakangan ini jarang di rumah karena mengurusi usaha keluarganya. Mendaki gunung? Itu memang hobinya, tapi mendaki hanya memerlukan waktu dua hingga tiga hari saja, setelahnya dia akan merasa bosan lagi di kamar kosnya. Hingga tak lama kemudian, sebuah kabar datang melalui handphone nya yang berdering, seolah keadaan mengerti apa yang tengah ia rasakan. “Sanjaya” tertulis nama sahabatnya yang meneleponnya di layar handphone nya.
“Lagi di mana. Na?” tanyanya sesaat setelah Kelana mengangkatnya.
“Kos lah, mau di mana lagi.” Jawab Kelana ketus.
“Liburan ini kamu mau kemana? Pulang kah? Atau punya rencana apa?” tanya Sanjaya.
“Entahlah, aku nggak punya rencana apa-apa. Sekarang juga masih mikir enaknya mau ngapain.”
“Nahh! Gimana kalau ikut aku saja?” tanya Sanjaya lagi.
“Kemana? Ngapain?” balas Kelana.
“Kerja.” Jawab Sanjaya
“Jadi,aku ditawari kerjaan pamanku di luar kota. Kamu mau ikut bersamaku tidak? Lumayan bisa untuk tambah-tambah, lagi pula sekarang kan masih libur semester.”
“Wah, menarik juga. Berapa lama?”
“Dua bulan saja.”
“Hmmm, baiklah, gimana kalau malam ini kita ketemu saja untuk membicarakan hal ini?” tanya Kelana.
“Oke, nanti malam aku ke kosmu, sekalian numpang tidur di sana hahaha” ujar Sanjaya sambil tertawa dan mengakhiri teleponnya.
Saat itu, Kelana tak banyak bertanya, ia hanya mengiyakan ajakan Sanjaya. Dari pada nggak ngapa-ngapain di kos-kosan, lebih baik bekerja, meski belum tahu akan digaji berapa, tapi menurutnya akan lumayan untuk mengisi kantong keringnya. Begitu pikirnya.
Malam itu, di kamar kos Kelana, Sanjaya dan Kelana berkomunikasi dengan pamannya mengenai pekerjaan apa yang akan mereka berdua kerjakan. Detik demi detik, menit demi menit berlalu, hingga mereka mengerti jika pekerjaan yang akan mereka berdua lakukan adalah menjaga Gudang teh yang sedang ditinggal cuti oleh penjaga lamanya.
“Lalu, mau naik apa kita ke sana?” tanya Kelana.
“Motor saja, gimana? Motormu udah biasa buat jalan jauh, kan?” balas Sanjaya.
“Hmmm. Iya memang sudah biasa sih, coba besok aku cek dulu. Kita berangkat tiga hari dari sekarang, kan?” tanya Kelana
“Iya” ujar Sanjaya.
Malam itu, adalah pertemuan terakhir mereka sebelum akhirnya bertemu lagi saat akan memulai perjalanan mereka.
***
Tiga hari berselang, mereka berdua berangkat, memacu honda CB tua milik Kelana dengan hati-hati. Kelana menarik gas kemudinya, meninggalkan kota tempatnya mengenyam pendidikan. Desa Gondang, itu lah tujuan mereka menurut penuturan paman Sanjaya.
“Aku belum pernah ke sana. Berapa jam kira-kira?” tanya Kelana.
“Kurang lebih enam jam” jawab Sanjaya.
Jalanan lumayan ramai saat itu, ditambah cuaca panas menyebabkan mereka berdua kerap menepi sekadar mendinginkan tubuh yang terbakar sinar matahari.
“Kenapa cuaca sekarang panas sekali, sih!” umpat Kelana merasa kesal.
“Sudahlah, Na. Dinikmati saja.” Tutur Sanjaya seraya menenggak sebotol air di tangannya.
Kelana hanya menghela napas panjang. Kehidupan mahasiswa perantauan memang cukup sulit, apa lagi dia tidak terbiasa meminta-minta uang kepada orang tuanya, berapapun pemberiannya, dia terima tanpa protes. Sehingga, jika ada ajakan dan peluang kegiatan yang dapat menghasilkan uang, dengan senang dia akan mengiyakannya.
“Ayok” ajak Kelana melanjutkan perjalanan lagi.
Di sepanjang jalan, mereka berdua hanya melihat jalanan, sambil berdiskusi soal kemana arah jalan mereka selanjutnya. Di beberapa titik, mereka berdua pun saling bergantian mengemudi. Selang beberapa jam kemudian, bersamaan dengan matahari yang hampir tenggelam, sebuah gapura besar bertuliskan kota tujuannya sudah berada di depan mata. Dari sini, kurang kebih satu jam lagi perjalanannya.
“Berhenti atau langsung?” tanya Sanjaya yang kini memegang kemudi.
“Terserah, kalau capek ya minggir, kalau enggak, lanjut gas aja.” ujar Kelana.
Tanpa menjawab, Sanjaya menambah kecepatannya, itu artinya dia memilih langsung melanjutkan perjalanannya dari pada menepi untuk beristirahat.
Lama kelamaan, kondisi jalanan semakin lengang, kontur jalanan pun berubah menjadi naik dan turun.
“Apa sebentar lagi sampai?” tanya Kelana.
“Mungkin iya. Gantian kamu yang depan, biar aku komunikasi dengan pamanku lagi.” Ucap Sanjaya.
Di salah satu persimpangan jalan, ketika cukup lama menggerus aspal yang tak lagi mulus, Sanjaya mengarahkan motor ke tepi jalan, ke depan warung yang berdiri di antara jalanan yang sepi.
“Aku mau menelepon pamanku, sekalian ngopi.” tukas Sanjaya.
Sanjaya dan Kelana masuk ke dalam warung, menghampiri seorang pria pemilik warung tersebut. Sudah ada dua pemuda yang sudah duduk di dalam warung itu,
“Kopi hitam panas dua.” ucap Sanjaya.
Tak berapa lama pria pemilik warung itu datang membawa dua gelas kaca kepada mereka berdua. Sanjaya mencoba tanya dengannya, soal desa dan Gudang teh tempatnya bekerja besok. Jika dia tahu kan tidak perlu lagi menelepon pamannya, begitu pikir Sanjaya.
“Pak, apa boleh saya bertanya?”
“Nanya apa, Mas?” balasnya.
“Desa Gondang di mana, ya?”
“Mau apa malam-malam ke sana, Mas?”
“Apa di sana ada Gudang teh? Saya hendak ke sana.” Ucap Sanjaya lagi.
Pria itu awalnya tengah merapikan gelas di sudut mejanya, tiba-tiba saja menghentukan aktivitasnya. Dia menoleh dan memperhatikan Sanjaya dan Kelana dengan seksama.
“Mau apa ke sana, Mas?” tanyanya dengan wajah datar, berbeda dengan ekspresinya sebelumnya.Ia terlihat enggan menanggapi pertanyaan Sanjaya.
“Ketemu saudara saya di sana, Pak.” Jawab Sanjaya.
Pria itu beranjak, mengambil gelas kopi Sanjaya dan Kelana yang baru habis separo.
“Kenapa orang ini?” tanya Kelana.
“Aku juga nggak paham, Na”
Kelana melirik ke arah dua orang pengunjung warung di dekatnya lalu berbisik pada Sanjaya. “Coba tanya mereka, aku rasa mereka lebih tahu.”
Tanpa basa-basi lagi, Sanjaya bertanya kepada dua orang yang tengah menyantap mie instan itu. “Permisi, apa boleh saya bertanya jalan ke desa Gondang? Ke arah Gudang teh yang ada di sana?”
Salah satu dari mereka seketika tersedak, terkejut mendengar pertanyaan Sanjaya. Mereka berdua saling berbisik sambil melirik ke arah pria pemilik warung yang sudah lebih dulu mengabaikan Sanjaya dan Kelana. Mereka menggeleng, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang tidak berhenti mengunyah itu.
“Ada apa dengan mereka?” tanya Sanjaya.
Seketika itu Kelana mengajak Sanjaya keluar, dan meninggalkan uang lima ribu di atas meja. “Aneh sekali orang-orang di sini, kenapa mereka? Seperti enggan memberi tahunya pada kita. Apa tampang kita mirip tampang maling?” keluh Kelana kesal.
Kelana mendorong motornya menjauh dari warung itu, lalu Sanjaya mencoba menelepon pamannya, namun keadaan masih belum memihak pada mereka, kartu seluler Sanjaya tidak menangkap sinyal di sana.
“Ah, sial, nggak ada sinyal!” gumam Sanjaya.
Kelana menghela napas panjang, menatap jauh ke arah jalan yang tidak ia ketahui kemana ujungnya itu. “Ini sebabnya kalau nggak tanya dulu dari awal.” keluh Kelana. Kelana kembali menyalakan motornya, meminta Sanjaya untuk naik lagi di belakangnya. “Meski ke depan nggak tahu kemana arahnya, tapi ku rasa, diam saja di sini bukanlah hal yang tepat.” ucap Kelana.
Kelana sudah menginjak gigi motornya, tangannya pun sudah bersiap memutar gasnya, namun sepersekian detik sebelum itu, seorang pria tua tiba-tiba muncul dari belakang mereka.
“Mau ke mana, Mas, malam-malam begini? Berbahaya jika jalan malam-malam begini” tanyanya dengan suara berat.
Tidak ada yang aneh dengan penampilan pria itu, yang aneh hanya dari mana dia munculnya.
“E-e-e… ke desa Gondang, Pak” jawab Kelana.
“Ohh, sudah tidak jauh lagi jika dari sini. Tapi, mau apa dua pemuda seperti kalian ke sana?” timpalnya.
“Mau kerja, Pak. Jaga Gudang teh.” jawab Sanjaya
Spoiler for INDEX:
Part 1.1 - Awal Mula Kedatangan
Part 1.2 - Awal Mula Kedatangan
Part 2.1 - Mulai Terlihat
Part 2.2 - Mulai Terlihat
Part 3.1 - Tanah Tumbal
Part 3.2 - Tanah Tumbal
Part 4.1 - Pertarungan
Part 4.2 - Pertarungan (TAMAT)
Quote:
Original Posted By wahyuariyantn►
“Gudang teh? Milik juragan Salman?” timpalnya.
“E-e-e, kemungkinan iya, Pak. Saya belum tahu nama pemiliknya”
“Apa kalian yakin akan kerja di sana?” tanyanya lagi dengan wajah berbeda seperti ingin memastikan.
Kelana menatap Agus, ia merasa ameh dengan pria tua ini. “Gajinya memang besar, tapi banyak pekerja di sana yang tidak kerasan. Yang akan kalian kerjakan, tidak seperti apa yang kalian ketahui sebelumnya” Imbuhnya.
“Bicara apa orang ini?” bisik Sanjaya.
“Jika niat kalian ingin kerja, jalanlah ke sana. Hati-hati” Ucapnya sambil menunjuk jalanan lurus di depan yang gelap tanpa penerangan sedikitpun.
Karena sudah merasa terlalu lama, Kelana dan Sanjaya kembalimelanjutkan perjalanannya, dengan menyisakan rasa penasaran dalam benak mereka berdua. Baru kali ini mereka dihadapkan dengan orang-orang aneh seperti ini. Di depan, jalanan semakin gelap dan udara dingin terasa menyeruak diantara jaket yang mereka pakai. Sepi, sunyi dan gelap, itu lah yang mengiringi perjalanan mereka sekarang.
“Apa tidak ada orang di sini? Padahal kan belum lama kita melewati kampung” tukas Kelana.
Sanjaya mengangkat bahu, “entahlah, mungkin memang jam segini sudah dianggap larut malam oleh warga di sini.” Ujarnya.
Setelah sepuluh menit berjalan, Kelana menyadari keberadaan seseorang di ujung pandangan matanya, dia mengenakan sepeda unta dengan jaket loreng tebal di badannya. Semakin dekat, orang itu semakin jeli memperhatikan Kelana.
“Apa itu pamanmu?” tanya Kelana.
“Jaya!” teriak orang itu yang ternyata adalah paman Sanjaya yang sudah menanti kedatangan mereka.
“Akhirnya sampai juga.” Ucapnya.
“Paman Sapto, Na. Panggil saja pamanku dengan itu.”
“Di mana tempat tinggal, Paman? Kami sudah kedinginan.” Tanya Sanjaya.
“Agak jauh dari sini, tapi, rumah yang akan kalian tempati nanti tidak di rumah paman. Tempat untuk kalian sudah disediakan oleh juragan.” Tutur paman Sapto sebelum menuntun sepeda untanya mengarahkan Sanjaya dan Kelana.
Sanjaya dan Kelana saling menatap bingung. Karena merasa sungkan jika harus menyalakan motornya, Kelana pun menuntun motornya dengan keadaan lampunya menyala. Mereka berdua dibawa menelusuri jalan setapak berbatu. Mereka pun hanya mengikutinya saja, hawa dingin semakin terasa menempel di kulit, dan tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia di sekitar sini kecuali mereka bertiga.
“Jauhkah rumahnya?” tanya Sanjaya.
“Tidak. Kita jalan ke arah sana.” Ucap pamannya sambil menunjuk satu arah dengan tangannya yang menggenggam senter.
“Apa kamu tidak merasa janggal di sini?” tanya Kelana.
“Apa?” balas Sanjaya.
“Sukar dijelaskan, tapi aku merasakan ada hal yang janggal di sekitar sini.” Jawab Kelana. Sejak beberapa tahun terakhir, entah berasal dari mana, insting Kelana terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Jalan yang dimaksud pamannya dekat, ternyata cukup jauh bagi mereka berdua, hingga akhirnya, kaki mereka tak merasakan menginjak bebatuan keras lagi. Jalanan sekarang berganti tanah yang ditumbuhi rumput hampir setinggi mata kaki, dan di depan mereka terhampar luas perkebunan teh dengan satu bangunan cukup besar di antaranya.
“Apa itu tempatnya, Paman?” tanya Sanjaya.
“Iya. Sudah dekat, kan?” timpal Paman Sapto.
Lagi-lagi Sanjaya dan kKelana saling menatap bingung. Terlihat perasaan takut diantara mereka berdua. Gudang dengan bangunan kecil di dekatanya tampak remang-remang disinari oleh lampu kuning yang menyala tak begitu terang.
“Itu gudangnya, dan rumah yang disediakan untuk kalian berdua ada di sana.” Ucap Paman Sapto menunjuk sebuah rumah kayu yang berjarak kurang lebih seratus meter dari Gudang itu.
“Nggak perlu takut, di belakang sana, nggak jauh dari sini ada perkampungan warga. Kalau malam memang gelap gulita begini, tapi kalau pagi atau sore, kalian akan betah tinggal dan kerja di sini.” Ujar Paman Sapto.
Seorang pria tua yang mungkin berusia sama oleh Paman Sapto tampak berdiri di depan rumah memerhatikan kedatangan mereka berdua. “Siapa itu, Paman?” tanya Sanjaya.
“Itu yang akan membantu kalian. Kalian tidak sendiri tinggal di situ, sudah ada dua pekerja di sana.”
Kelana menghentikan langkahnya sejenak memandangi rumah itu, rumah yang tak begitu besar, sepertinya terbuat dari kayu jati yang sudah berusia puluhan tahun. Angin yang beralun seperti mengalirkan kesan tersendiri. Tubuh Kelana menangkap aura negatif terpancar kuat di antara Gudang dan rumah itu.
“Udah mirip rumah-rumah hantu di film-film horror.” Ucap Kelana.
“Apa kamu tidak takut?” tanya Kelana.
Sanjaya menarik napas panjang, dan menghembuskannya dengan kencang. “Mau bagaimana lagi? Kita sudah terlanjut sampai sini. Lelah jika harus kembali. Kita jalani dulu saja.” Ujar Sanjaya. Tidak ada hal lain yang bisa Kelana lakukan selain menerima dan menjalaninya saja.
“Udah sampai. Ini Pak Kasno, dia penjaga di sini juga sekaligus merawat rumah ini.” Tutur paman Sapto.
Kelana dan Sanjaya tidak berani menatap mata Pak Kasno secara langsung. Sosoknya ramah namun terasa dingin, Ia mempersilakan mereka berdua masuk melewati pintu ber cat kuning yang sudah hampir pudar seluruhnya. Baru beberapa langkah masuk, Kelana merasakannya lagi. Merasa hal janggal di rumah ini.
“Ada yang nggak beres di sini.” Bisik Kelana pada Sanjaya namun Sanjaya tak meresponnya.
Mereka berdua sekarang duduk di ruang tengah rumah itu. Tiga gelas teh panas dan singkong rebus sudah tersaji di atas meja di depan mereka.
“Silakan diminum. Cocok dengan suasana dingin di sini.” Ujarnya sambil menyalakan sebatang rokok lalu menghisapnya.
Pak Kasno menoleh pelan ke arah Kelana, kemudian tersenyum kecut seraya mengatakan “Apa yang kamu pikirkan di dalam kepalamu, Mas? Tujuanmu kemari untuk bekerja, kan? Atau ada hal lain?”
Dugg…. Kelana terkejut ditembak pertanyaan itu. Sanjaya menatap tajam ke arah Kelana, “Sudah ku bilang, jalani saja dulu, nggak perlu kamu mikir aneh-aneh.”
“Maaf Pak Kasno, namanya anak muda, perlu adaptasi dengan lingkungan baru.” ucap paman Sapto kepada Pak Kasno.
“Mungkin bisa diberi tahu saja, di mana tempat tidur mereka, kasihan seharian ini di jalan.” ucap paman Sapto.
“Nggak usah diminum airnya. Minum air putih saja.” bisik Kelana sebelum akhirnya Pak Kasno berdiri untuk mengarahkan ke tempat mereka berdua bisa beristirahat.
Paman Sapto pamitan pulang, meninggalkan Sanjaya dan Kelana bersama dengan Pak Kasno yang baru malam ini mereka kenal.
“Nggak tahu bisa berapa lama aku bisa bertahan di rumah ini. Aku rasa, rumah ini menyimpan sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja.” Ujar Kelana pada Sanjaya di dalam kamar baru mereka berdua.
“Apa lagi?” tanya Sanjaya sedikit kesal.
“Tunggu saja, kamu belum mengerti dan aku sendiri susah kalau harus menjelaskannya.” Tutur Kelana.
Sebuah suara langkah kaki terdengar mendekat dari luar kamar, langkahnya pelan sampai akhirnya pintu kamar di hadapan mereka berdua terbuka. Ternyata suara itu berasal dari Pak Kasno, dia menghampiri mereka lagi dengan wajah lebih dingin.
“Tidak perlu mencari tahu atas apa yang bukan hak mu. Sudah semestinya pendatang menghormati segala hal yang ada di sini. Istirahatlah, besok pagi akan saya antar kalian ke Gudang.” ucap Pak Kasno lalu menutup pintu.
Spoiler for Part 1.2 - Awal Mula Kedatangan:
“Gudang teh? Milik juragan Salman?” timpalnya.
“E-e-e, kemungkinan iya, Pak. Saya belum tahu nama pemiliknya”
“Apa kalian yakin akan kerja di sana?” tanyanya lagi dengan wajah berbeda seperti ingin memastikan.
Kelana menatap Agus, ia merasa ameh dengan pria tua ini. “Gajinya memang besar, tapi banyak pekerja di sana yang tidak kerasan. Yang akan kalian kerjakan, tidak seperti apa yang kalian ketahui sebelumnya” Imbuhnya.
“Bicara apa orang ini?” bisik Sanjaya.
“Jika niat kalian ingin kerja, jalanlah ke sana. Hati-hati” Ucapnya sambil menunjuk jalanan lurus di depan yang gelap tanpa penerangan sedikitpun.
Karena sudah merasa terlalu lama, Kelana dan Sanjaya kembalimelanjutkan perjalanannya, dengan menyisakan rasa penasaran dalam benak mereka berdua. Baru kali ini mereka dihadapkan dengan orang-orang aneh seperti ini. Di depan, jalanan semakin gelap dan udara dingin terasa menyeruak diantara jaket yang mereka pakai. Sepi, sunyi dan gelap, itu lah yang mengiringi perjalanan mereka sekarang.
“Apa tidak ada orang di sini? Padahal kan belum lama kita melewati kampung” tukas Kelana.
Sanjaya mengangkat bahu, “entahlah, mungkin memang jam segini sudah dianggap larut malam oleh warga di sini.” Ujarnya.
Setelah sepuluh menit berjalan, Kelana menyadari keberadaan seseorang di ujung pandangan matanya, dia mengenakan sepeda unta dengan jaket loreng tebal di badannya. Semakin dekat, orang itu semakin jeli memperhatikan Kelana.
“Apa itu pamanmu?” tanya Kelana.
“Jaya!” teriak orang itu yang ternyata adalah paman Sanjaya yang sudah menanti kedatangan mereka.
“Akhirnya sampai juga.” Ucapnya.
“Paman Sapto, Na. Panggil saja pamanku dengan itu.”
“Di mana tempat tinggal, Paman? Kami sudah kedinginan.” Tanya Sanjaya.
“Agak jauh dari sini, tapi, rumah yang akan kalian tempati nanti tidak di rumah paman. Tempat untuk kalian sudah disediakan oleh juragan.” Tutur paman Sapto sebelum menuntun sepeda untanya mengarahkan Sanjaya dan Kelana.
Sanjaya dan Kelana saling menatap bingung. Karena merasa sungkan jika harus menyalakan motornya, Kelana pun menuntun motornya dengan keadaan lampunya menyala. Mereka berdua dibawa menelusuri jalan setapak berbatu. Mereka pun hanya mengikutinya saja, hawa dingin semakin terasa menempel di kulit, dan tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia di sekitar sini kecuali mereka bertiga.
“Jauhkah rumahnya?” tanya Sanjaya.
“Tidak. Kita jalan ke arah sana.” Ucap pamannya sambil menunjuk satu arah dengan tangannya yang menggenggam senter.
“Apa kamu tidak merasa janggal di sini?” tanya Kelana.
“Apa?” balas Sanjaya.
“Sukar dijelaskan, tapi aku merasakan ada hal yang janggal di sekitar sini.” Jawab Kelana. Sejak beberapa tahun terakhir, entah berasal dari mana, insting Kelana terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Jalan yang dimaksud pamannya dekat, ternyata cukup jauh bagi mereka berdua, hingga akhirnya, kaki mereka tak merasakan menginjak bebatuan keras lagi. Jalanan sekarang berganti tanah yang ditumbuhi rumput hampir setinggi mata kaki, dan di depan mereka terhampar luas perkebunan teh dengan satu bangunan cukup besar di antaranya.
“Apa itu tempatnya, Paman?” tanya Sanjaya.
“Iya. Sudah dekat, kan?” timpal Paman Sapto.
Lagi-lagi Sanjaya dan kKelana saling menatap bingung. Terlihat perasaan takut diantara mereka berdua. Gudang dengan bangunan kecil di dekatanya tampak remang-remang disinari oleh lampu kuning yang menyala tak begitu terang.
“Itu gudangnya, dan rumah yang disediakan untuk kalian berdua ada di sana.” Ucap Paman Sapto menunjuk sebuah rumah kayu yang berjarak kurang lebih seratus meter dari Gudang itu.
“Nggak perlu takut, di belakang sana, nggak jauh dari sini ada perkampungan warga. Kalau malam memang gelap gulita begini, tapi kalau pagi atau sore, kalian akan betah tinggal dan kerja di sini.” Ujar Paman Sapto.
Seorang pria tua yang mungkin berusia sama oleh Paman Sapto tampak berdiri di depan rumah memerhatikan kedatangan mereka berdua. “Siapa itu, Paman?” tanya Sanjaya.
“Itu yang akan membantu kalian. Kalian tidak sendiri tinggal di situ, sudah ada dua pekerja di sana.”
Kelana menghentikan langkahnya sejenak memandangi rumah itu, rumah yang tak begitu besar, sepertinya terbuat dari kayu jati yang sudah berusia puluhan tahun. Angin yang beralun seperti mengalirkan kesan tersendiri. Tubuh Kelana menangkap aura negatif terpancar kuat di antara Gudang dan rumah itu.
“Udah mirip rumah-rumah hantu di film-film horror.” Ucap Kelana.
“Apa kamu tidak takut?” tanya Kelana.
Sanjaya menarik napas panjang, dan menghembuskannya dengan kencang. “Mau bagaimana lagi? Kita sudah terlanjut sampai sini. Lelah jika harus kembali. Kita jalani dulu saja.” Ujar Sanjaya. Tidak ada hal lain yang bisa Kelana lakukan selain menerima dan menjalaninya saja.
“Udah sampai. Ini Pak Kasno, dia penjaga di sini juga sekaligus merawat rumah ini.” Tutur paman Sapto.
Kelana dan Sanjaya tidak berani menatap mata Pak Kasno secara langsung. Sosoknya ramah namun terasa dingin, Ia mempersilakan mereka berdua masuk melewati pintu ber cat kuning yang sudah hampir pudar seluruhnya. Baru beberapa langkah masuk, Kelana merasakannya lagi. Merasa hal janggal di rumah ini.
“Ada yang nggak beres di sini.” Bisik Kelana pada Sanjaya namun Sanjaya tak meresponnya.
Mereka berdua sekarang duduk di ruang tengah rumah itu. Tiga gelas teh panas dan singkong rebus sudah tersaji di atas meja di depan mereka.
“Silakan diminum. Cocok dengan suasana dingin di sini.” Ujarnya sambil menyalakan sebatang rokok lalu menghisapnya.
Pak Kasno menoleh pelan ke arah Kelana, kemudian tersenyum kecut seraya mengatakan “Apa yang kamu pikirkan di dalam kepalamu, Mas? Tujuanmu kemari untuk bekerja, kan? Atau ada hal lain?”
Dugg…. Kelana terkejut ditembak pertanyaan itu. Sanjaya menatap tajam ke arah Kelana, “Sudah ku bilang, jalani saja dulu, nggak perlu kamu mikir aneh-aneh.”
“Maaf Pak Kasno, namanya anak muda, perlu adaptasi dengan lingkungan baru.” ucap paman Sapto kepada Pak Kasno.
“Mungkin bisa diberi tahu saja, di mana tempat tidur mereka, kasihan seharian ini di jalan.” ucap paman Sapto.
“Nggak usah diminum airnya. Minum air putih saja.” bisik Kelana sebelum akhirnya Pak Kasno berdiri untuk mengarahkan ke tempat mereka berdua bisa beristirahat.
Paman Sapto pamitan pulang, meninggalkan Sanjaya dan Kelana bersama dengan Pak Kasno yang baru malam ini mereka kenal.
“Nggak tahu bisa berapa lama aku bisa bertahan di rumah ini. Aku rasa, rumah ini menyimpan sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja.” Ujar Kelana pada Sanjaya di dalam kamar baru mereka berdua.
“Apa lagi?” tanya Sanjaya sedikit kesal.
“Tunggu saja, kamu belum mengerti dan aku sendiri susah kalau harus menjelaskannya.” Tutur Kelana.
Sebuah suara langkah kaki terdengar mendekat dari luar kamar, langkahnya pelan sampai akhirnya pintu kamar di hadapan mereka berdua terbuka. Ternyata suara itu berasal dari Pak Kasno, dia menghampiri mereka lagi dengan wajah lebih dingin.
“Tidak perlu mencari tahu atas apa yang bukan hak mu. Sudah semestinya pendatang menghormati segala hal yang ada di sini. Istirahatlah, besok pagi akan saya antar kalian ke Gudang.” ucap Pak Kasno lalu menutup pintu.
Diubah oleh wahyuariyantn 16-09-2023 19:53






boecah.sableng dan 23 lainnya memberi reputasi
22
14.9K
Kutip
60
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan