Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Ā© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Leny.KhanAvatar border
TS
Leny.Khan
Seperti Menggenggam Bara
šŸ’šSeperti Menggenggam BarašŸ’š

"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang."Ā (QS Al Ahzab : 59)

"Nah, ayat yang Mama bacakan itu, sudah jelas bukan? Bahwa menutup aurat itu bukan pilihan. Namun, ia adalah kewajiban, sebagaimana wajibnya salat. Tidak ada satu pun alasan untuk meninggalkannya."

"Ah, yang berhijab belum tentu baik, Ma. Banyak kok, orang berhijab itu yang maling, korupsi, berzina. Mending hijabin hati dulu dan berusaha jadi orang baik," bantah Nilam dengan logikanya.

Desi, sang mama tersenyum. Ia termasuk wanita paling sabar dalam menasihati Nilam. Bagaimana tidak? Nilam adalah putri satu-satunya yang ia miliki. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, Nilam memang agak keras kepala dan memiliki pemahaman yang sedikit liberal. Abangnya yang berprofesi sebagai seorang pengajar di salah satu pesantren pun, tak pernah absen setiap hari menasihati Nilam. Almarhum papanya juga termasuk yang pemahaman agamanya tidak usah diragukan. Akan tetapi, yang namanya iman, memang tidak bisa diwariskan.

"Kalau kamu hijabin hati dulu, nanti hatinya malah ketutup dong! Gelap. Makin susah menerima kebenaran dan hanya akal yang berbicara," seloroh Desi sambil tertawa kecil.

Raut wajah Nilam terlihat masam. Ia membuang pandangan ke arah televisi yang volumenya dikecilkan. Wejangan yang cukup membosankan baginya, bukan sekali dua kali ia dengar.

"Nilam, dengerin Mama! Hijab itu nggak ada kaitannya sama prilaku seseorang. Karena itu dua hal yang berbeda. Hijab itu kewajiban, sebagai bentuk kepatuhan hamba terhadap Allah. Sedangkan jika ia berbuat dosa, itu adalah akhlaknya, tidak ada hubungannya dengan hijab."

"Iya, Mama benar. Tapi, tetap saja Nilam belum siap untuk mengenakannya, Ma! Nilam masih kuliah, masih muda. Nilam malu kalau nanti berhijab, penampilan Nilam dibilang kayak orang tua. Nanti ajalah, kalau udah jadi ibu-ibu. Usia 40 atau 50 tahun, baru Nilam berhijab."

"Astaghfirullaah, Nilam. Berhijab itu bukan tentang kamu siap atau tidak, tetapi tentang bagaimana kamu patuh dan tunduk terhadap firman Allah. Biarkan saja orang mau berkata apa, tugas kita hanya taat kepada Allah. Lagian, kamu yakin akan hidup hingga usia yang kamu sebutkan tadi? Bagaimana kalau besok pagi kamu tidak bangun lagi?"

Nilam tersentak, menatap Desi dengan gusar. "Mama doain aku mati muda?"

Desi menggeleng. "Mama hanya mengingatkan, kalau ajal tidak ada seorang pun yang tahu kapan ia datang. Tidak yang muda, tidak pula yang tua. Oleh sebab itu, jangan menunda-nunda lagi melaksanakan perintah Allah. Selagi masih ada waktu dan kesempatan, lakukanlah!"

Ada sesuatu yang menusuk jantung Nilam. Akan tetapi, gadis manis itu kembali menepikan iman yang setipis kulit ari itu. Dunia masih saja menguasai dirinya.

"Nilam, kewajiban Mama dan abangmu adalah menyampaikan apa yang diperintahkan Allah. Mengingatkan jika kamu salah jalan dan menjaga keluarga kita dari panasnya api neraka kelak di akhirat. Sesuai dengan perintah Allah dalam surat At-Tahrim ayat 6, di mana Allah sudah berfirman ; ā€œHai orang-orang yang beriman, lindungi dirimu dan keluargamu dari api yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjagaan malaikat-malaikat yang keras dan kejam, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

Nilam masih bergeming. Ia seperti tidak lagi punya dalih untuk membantah.

"Kamu tidak akan bisa membayangkan panasnya neraka, Nilam. Silakan kamu renungkan!" bisik Desi dengan mata berkaca-kaca. Ia menghela napas, lantas mengusap genangan air di sudut mata. "Ya, sudah. Mama mau tidur dulu. Mama capek banget. Sebentar lagi abangmu pulang dari pengajian. Kamu tolong tunggu dia dulu, ya?"

Tanpa suara, Nilam mengangguk. Ia hanya menatap sang mama yang perlahan beranjak menuju kamarnya. Sungguh, hati kecilnya sudah tersentuh sejak lama untuk konsisten mengenakan hijab, bukan hanya saat acara-acara tertentu saja. Namun, satu sisi gelapnya selalu berusaha memberontak untuk melaksanakan kewajiban itu. Banyak dalih yang ia kemukakan untuk membenarkan pendapatnya yang hanya berdasarkan akal tersebut.

***

"Iman itu seperti menggenggam bara api. Panas, tetapi tetap harus kamu pegang dalam kondisi apa pun dan di manapun kamu berada. Keep istiqamah, Dit! Aku yakin, kamuĀ  mampu. Jangan gadaikan iman hanya karena uang."

Nilam sempat tertegun, saat secara tak sengaja mendengar percakapan Iqbal dengan temannya melalui ponsel, suatu pagi di kamarnya. Pintu kamar pria itu dibiarkan terbuka lebar.

"Iman seperti menggenggam bara api? Maksudnya apa?" gumamnya, seolah-olah bertanya pada diri sendiri.

"Kamu nguping pembicaraan Abang?"

Nilam terkejut, saat Iqbal secara tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

"Enggak, Bang. Kebetulan aja pintu kamar Abang kebuka gitu. Ya, Nilam denger percakapan Abang. Sedikit," sahutnya sambil menyengir.

"Kamu mau ke mana?" Iqbal memindai Nilam dari kepala hingga kaki. Gadis itu mengenakan dress kekinian yang panjangnya sampai bawah lutut, seperti yang biasa ia kenakan saat berangkat ke kampus.

"Mau kuliah, Bang, ke mana lagi?" jawabnya, seraya merapikan rambut hitam sebahunya.

Iqbal beristighfar dalam hati. "Kapan kamu berubahnya, Nil? Kapan kamu mau menutup aurat saat keluar rumah? Tak cukupkah nasihat-nasihat Abang dan Mama selama ini? Tak cukupkah untukmu ayat-ayat Allah yang memerintahkan wajibnya menutup aurat?"

"Nilam butuh waktu, Bang. Nggak semudah itu."

"Waktu? Mau sampai kapan? Dulu janjinya waktu SMU kamu bakalan berhijab, tapi kamu ingkari. Berhijab hanya ke sekolah. Sekarang, kamu juga masih enggan. Apa lagi yang masih kamu tunggu, Dik?"

"Udahlah, Bang! Nilam udah telat." Nilam tak mengindahkan kata-kata Iqbal. Ia lalu berjalan cepat keluar dari rumah. Bahkan tidak pamit pada Desi, mamanya.

"Berhenti, Nilam!" hardik Iqbal.

Nilam yang sudah berada di teras, menghentikan langkah. Ia mneghentakkan kaki dan menoleh pada Iqbal. "Apa lagi, sih, Bang?"

"Ganti baju kamu, atau berhenti kuliah!" tegas Iqbal. Lelaki itu seperti hilang kesabaran. Tampaknya ia sudah cukup sabar selama ini menghadapi sikap adiknya dengan cara lemah lembut.

"Masuk, Nilam!" Iqbal menunjukkan jarinya ke dalam rumah.

"Abang egois!" cerca Nilam.

Tak mengindahkan titah abangnya, Nilam pun berlari meninggalkan Iqbal. Sementara Iqbal tidak bisa mencegah. Lisannya kembali merapal istigfar karena telah terbawa emosi. Ia mengusap wajah yang tampak memerah.

"Ada apa ini, Iq? Kenapa ribut sekali? Malu kedengeran tetangga." Desi datang tergopoh dari dalam. Tadi, wanita itu sibuk di dapur.

Iqbal mengembus napas. "Biasalah, Ma. Nilam," sahutnya.

"Kamu marah sama adikmu?"

Lelaki berkemeja putih itu memandang sang mama. "Iya, Ma. Aku khilaf. Nyaris kesabaranku habis menghadapinya."

Senyum Desi terukir. Wanita berkulit putih itu mengusap-usap punggung putra sulungnya. "Ishbir, ya, Nak! Nilam itu wataknya keras, tidak bisa kita lawan dengan cara keras juga. Seperti batu yang ditetesi air setiap hari, lama-lama pasti akan hancur juga. Begitu juga dengan hati Nilam. Mama yakin, lambat laun hatinya akan luluh. Yang terpenting, kita jangan bosan untuk selalu mengingatkannya."

Iqbal mengangguk-angguk. "Maafkan aku, Ma," ucapnya seraya meraih tangan Desi dan mencium punggungnya penuh takzim.

"Nggak ada yang perlu dimaafkan. Namanya juga manusia, tak luput dari lupa."

***

"Aduh!" ringis Nilam, ketika lengannya bertabrakan dengan seseorang saat berjalan di lorong kampus menuju kelasnya.

"Eh, maaf, maaf! Aku nggak sengaja," sesal gadis yang menabraknya. Lantas, ketika mereka beradu pandang, keduanya termangu.

"Lho, kamuĀ  ...." Nilam mencoba mengingat-ingat wajah yang tak asing di memorinya; perempuan cantik dengan gamis longgar dan jilbab segi empat lebar.

"Nilam? Kamu Nilam, kan?" Ragu, gadis bermata bulat itu menebak.

Nilam mengangguk sambil terus berusaha mengingat.

"Kamu nggak ingat aku, Nil?"

Dahi Nilam mengerut. "Intan? Kamu ... Intan, kan?"

"Iyaaaaa." Senyum Intan melebar. Mereka pun berpelukan melepas kangen. Dua tahun sudah mereka tidak pernah bertemu sejak lulus SMU.

"Kamu apa kabar, Ntan? Kamu nggak berubah sedikit pun. Masih aja betah sama pakaian kebesaranmu ini." Nilam memindai Intan dari atas sampai bawah.

"Kabar aku baik, Nil. Kamu bisa aja, deh!" tepisnya, tanpa merasa tersinggung dengan kata-kata Nilam yang mungkin bagi orang lain terdengar seperti ejekan.

"Eh, kamu ngapain di sini? Bukannya kamu kuliah di Amerika?"

"Panjang ceritanya, Nil. Nanti kita ngobrol sepulang kuliah, ya? Dosenku udah mau masuk. Nomor ponselku masih yang lama." Intan segera menjauh dengan tergesa.

***

Dua gadis dengan penampilan yang sangat bertolak belakang, duduk berhadapan di sebuah kafe. Mereka menikmati segelas jus buah kegemaran masing-masing. Berkali-kali terdengar tawa keduanya ketika mengenang masa-masa di SMU. Ya, Intan dan Nilam berkawan cukup dekat. Keduanya merupakan pengurus OSIS meskipun berasal dari kelas yang berbeda.

"Kamu kenapa menatapku kayak gitu, Ntan?" tanya Nilam risih.

"Nggak apa-apa. Aku nyaris pangling aja sama kamu. Untung aku pernah lihat kamu tanpa hijab sebelumnya. Jadi, aku nggak lupa sama sekali."

Nilam tertawa. "Aku ini satu-satunya pengurus OSIS yang paling cantik. Mana mungkin kamu bisa lupa?" candanya.

"Iya, iyaaa, tahu kok," balas Intan.

"Eh, kamu belum cerita kenapa kamu pindah kuliah ke sini. Bukannya kuliah di Amerika itu cita-citamu? Kenapa mundur di tengah jalan?" tanya Nilam penasaran. Ia bahkan memperbaiki posisi duduk untuk bersiap mendengar cerita Intan.

Intan tersenyum, menghela napas dan menyeruput minumannya sebentar. "Aku pulang, karena ingin menyelamatkan diri, Nil," ujarnya pelan.

"Menyelamatkan diri? Memangnya ada apa, Ntan? Apa yang terjadi di sana? Ada yang gangguin kamu?"

Kali ini Intan menggeleng. "Tidak ada yang menggangguku. Hanya saja, aku takut kalau terlalu lama di sana, aku akan kehilangan jati diri yang selama ini susah payah aku gapai." Intan melepas pandangan ke luar kafe. "Lebih tepatnya, aku pulang karena ingin menyelamatkan imanku, Nil."

Nilam mengerjap. Tampaknya ia belum paham akan maksud Intan. "Menyelamatkan iman? Maksudmu, Ntan?"

Intan kembali mengarahkan pandangan pada Nilam. "Kamu tahu, Nil? Iman itu ibarat bara api yang harus tetap digenggam meskipun tangan kita terluka."

Tercenung, Nilam teringat percakapan Iqbal dengan temannya tadi pagi. Persis seperti kata-kata Intan.

"Itulah yang sedang aku lalukan, Nil. Di sana, aku merasa tidak sanggup melihat pergaulan di sana. Kupikir, imanku sudah cukup kuat untuk hidup di sana. Nyatanya, tidak semudah yang kubayangkan, Nil. Ternyata aku terlalu sombong dengan imanku sendiri. Aku merasa sudah paling hebat untuk bisa membaur dengan kehidupan bebas budaya luar tanpa terpengaruh. Nyatanya ...." Intan menjeda kalimatnya. Ada genangan air yang siap tumpah di pelupuk mata gadis itu. "Nyatanya aku nyaris mendurhakai Allah, Nil. Aku hampir saja khilaf dengan ... dengan membuka hijabku di sana. Astaghfirullaah!" Bibir Intan bergetar, air matanya tumpah.

Nilam tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin membiarkan Intan selesai dengan ceritanya.

"Aku merasa begitu berdosa, Nil. Aku merasa dipenuhi dosa yang tak terampuni. Aku takut sekali Allah akan murka. Aku takut sekali, Nil. Makanya aku putuskan untuk pulang ke Indonesia meskipun keluargaku menentang. Namun, demi menyelamatkan agamaku, aku kuatkan hati untuk menentang orang tuaku. Semoga saja Allah rida dengan apa yang aku lakukan." Intan menunduk, menyeka air matanya dengan tisu.

Hati Nilam bergetar hebat mendengar cerita Intan, gadis salihah yang rela menanggalkan keduniawian demi menyelamatkan imannya. Sementara dirinya? Bahkan ia dengan entengnya melenggang ke sana ke mari tanpa hijab. Memamerkan auratnya pada semua orang tanpa merasa berdosa.

"Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kalau Allah mencabut nyawaku saat aku dalam keadaan tidak menutup aurat di luar sana? Bagaimana kalau malaikat maut menjemputku saat aku bermaksiat pada Allah?"

Nilam masih bergeming dengan kecamuk rasa yang tidak bisa dijabarkan. Jantungnya berdenyut nyeri.

"Eh, maaf, Nil. Aku ... aku tidak bermaksud menyinggung kamu. Aku hanya ...." Intan seperti tersadar. Ia takut jika cerita hidupnya menyakiti perasaan Nilam.

Nilam tersenyum kecut. "Enggak, Ntan. Kamu nggak perlu minta maaf. Justru ceritamu membuatku sadar bahwa selama ini aku telah hidup bergelimang dosa. Nasihat Mama dan Bang Iqbal kuabaikan begitu saja. Hatiku begitu keras untuk menerima nasihat mereka. Bahkan ayat-ayat Allah yang didengungkan di telingaku, tak mampu meluluhkanku."

"Aku malu, Ntan. Aku malu sama kamu. Kamu yang nyaris buka jilbab saja, penyesalanmu sampai seumur hidup. Apa kabar aku yang santai saja memamerkan auratku tanpa merasa berdosa sedikit pun?" imbuh Nilam.

"Aku juga minta maaf sebelumnya, Nil. Jujur, saat ketemu kamu tadi, kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentangmu. Apalagi setahuku, keluargamu cukup agamis. Bahkan abangmu guru di pesantren, kan?"

Nilam mengangguk pelan. "Tapi aku tidak pernah mengindahkan nasihat mereka, Ntan. Aku selalu melawan mereka. Bahkan sampai tadi pagi, aku tetap tutup telinga saat abangku marah dan menyuruhku agar tetap di rumah."

Intan tersenyum, ia meraih jemari Nilam dan menggenggamnya. "Nil, semua belum terlambat. Allah Maha Pengampun. Selangkah kita merapat padanya, seribu langkah Dia berlari mendekati kita. Pertemuan kita ini adalah berkah, insyaa Allah."

"Aamiin. Insyaa Allah, Ntan. Aku janji, mulai besok, aku akan mulai berhijab seperti kamu."

"Kenapa harus tunggu besok? Kebetulan aku selalu bawa baju ganti, kamu bisa pakai bajuku. Ukuran kita sama kok." Intan meraih tas ransel dan mengeluarkan sehelai gamis berikut jilbab dan kaus kaki miliknya.

Keduanya tersenyum semringah. Seindah guratan senja dengan cahaya jingganya yang mulai menandakan waktu magrib telah masuk. Mereka tak sadar telah mengobrol begitu lama. Namun, dari obrolan itulah, Nilam akhirnya menjemput hidayah yang selama ini enggan ia sambut kedatangannya. Ia tak sabar bertemu mama dan abangnya. Ingin sekali ia memeluk dua orang terkasihnya tersebut dan merapal kata maaf sebanyak-banyaknya.

*** Selesai

UNTUK CERPEN BERIKUTNYA SCROLL AJA KE BAWAH, YA
Diubah oleh Leny.Khan 31-07-2023 23:46
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
1
309
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan