- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Gerbong 6 Kursi 13A


TS
micky10
Gerbong 6 Kursi 13A
Quote:

Quote:

Sumber : Flickr
Quote:
Sumber : [url]https://S E N S O Rmudes15/franky-and-jane-kereta-malam[/url]
Quote:
Cerita ini terkubur bersama jasad kakekku 19 tahun yang lalu. Sebuah kisah yang tidak pernah dia ungkapkan ke siapapun, termasuk ke 8 anak nya. Kakek ku mengubur cerita itu cukup lama, sejak dia masih aktif sebagai masinis hingga pensiun dan menikmati masa tua nya. Dia berfikir cukup dia yang tau dan mengalami hal yang tidak pernah ingin di alami orang lain itu. Namun malam itu, semua berubah…
Aku baru saja mengeringkan badan, setelah sore tadi terguyur hujan deras. Aku terlambat pulang sekolah hari ini, menjadi pengurus ekstrakurikuler di sekolah cukup menguras waktu ku dan merampas hasrat untuk pergi bermain di sore hari. Hari ku penuh dengan urusan sekolah dan ekstrakurikuler.
Ku lihat kakekku menyeruput kopi tubruknya yang kental sembari tangannya lincah menganyam serutan bambu. Sejak pensiun sebagai masinis, beliau sering membuat peralatan rumah dari anyaman bambu untuk menyibukkan diri dirumah.
“Gimana sekolah e le? Kok sore banget pulang mu?”
“Iya mbah, ngurusi ekstra jurnalis. Sambil nunggu hujan tapi gak reda-reda’
“Pengen jadi wartawan kamu?”
“Ndak juga sih mbah, tapi saya lebih tertarik dengan teknik penulisan”
“Berarti mau jadi penulis nih”
“Heheh… ya belajar mbah…”
Dia kembali menyeruput kopi hitamnya dari cangkir tua berbahan seng. Kopi yang dia racik dan roasting sendiri dengan komposisi sesuai selera nya.
“Kalau mau nulis, aku punya cerita le… mungkin bisa jadi bahan tulisan mu”
“Cerita? Cerita apa toh mbah?”
Dia hanya tersenyum dan memulai ceritanya…
Siang itu di awal desember 1978, cukup panas dan penuh sesak penumpang KA Gumarang Jakarta - Surabaya. Kakekku bertugas sebagai masinis di kereta itu. Beliau sering bertugas untuk kereta api jarak jauh, karena itulah dia jadi jarang berada di rumah karena tugas. Bahkan terkadang seminggu hanya 2 hari dia ada di rumah.
Namun hari itu dia ingin segera pulang, istrinya sedang mengandung anaknya yang ke 8. Dan beberapa hari lagi adalah perkiraan hari kelahiran. Yang hanya ada dalam pikirannya adalah segera menuntaskan perjalanan itu dan langsung pulang ke kota Bliitar.
Pukul 19.10, kereta tiba di stasiun Gubeng. Pemberhentian terakhir untuk KA Gumarang Jakarta - Surabaya. Kakekku harus menunggu kereta dari Surabaya ke Blitar yang baru akan berangkat 20.05. Kereta terakhir malam itu. Hal ini sebelumnya tidak pernah dia lakukan, biasanya jika sampai Surabaya malam dia menginap dulu di stasiun dan baru keesokan harinya pulang ke blitar dengan kereta pertama pagi itu. Tapi malam itu semua berbeda…
KA Penataran Surabaya - Biitar sudah meninggalkan stasiun Gubeng pukul 20.13. Suasana penumpang cukup lengang, tak banyak penumpang yang menaiki kereta tersebut. Wajar saja itu kereta malam terakhir, jarang malam-malam begini orang berangkat ke kota lain. Jika pun ada biasanya di dominasi pekerja pabrik yang ingin pulang ke kampung halaman.
“Ron, bawa berapa gerbong?”
“Cuma 6, kereta malam begini gak ada yang naik”
“Yaudah, aku tak numpang di gerbong 6 yo. Kl udah sampai lupa bangunin”
“Bereees… wes tidur o sana…”
Syahroni adalah kondektur teman kakekku. Mereka sering bertugas dalam satu kereta, cuma hari itu jadwal mereka terpisah.
Gerbong 6 adalah gerbong paling belakang, tak begitu ramai penumpang disini hanya beberapa baris kursi yang terisi penuh. Selebihnya hanya berisi 1-2 penumpang. Kakekku merebahkan tubuh nya di kursi 15C-D. Perjalanan panjang cukup melelahkan, karena perlu fokus dan selalu berkonsentrasi. Matanya hanya tertuju di kaca jendela dan sesekali terpejam.
Beberapa saat kemudian kakekku terbangun oleh suara Syahroni yang sedang melakukan pengecekan tiket…
“Udah nyampe mana ron?”
“Kepanjen”
“Dah sepi yo”
“Ya jelas, udah lewat malang. Udah banyak yang turun. Wes tidur o lagi. Nanti tak bangunin”
Suasana dalam gerbong 6 menjadi sangat sepi, selepas kota Malang hanya tersisa kakekku dan 3 orang penumpang lain. Lampu gerbong pun tak nyala seluruhnya. Hanya beberapa buah saja dan itu tak membuat gerbong menjadi terang. Sesekali angin dingin dari ventilasi jendela berhembus dan menerpa wajah dan leher.
Kakek ku menatap sekeliling, kosong… hanya ada seorang wanita berambut panjang duduk di kursi 13A. Aneh perasaan sedari tadi bangku itu kosong. Masa masih ada penumpang yang naik di malam begini. Kereta juga sudah melewati stasiun sumber pucung, pasti 2 penumpang lain tadi turun di stasiun itu.
Kakek ku masih memperhatikan wanita tersebut, tak jelas bagaimana wajahnya tertutup rambutnya yang hitam. Dan sepertinya sedang tunduk tertidur, entahlah lampu gerbong ini tak cukup terang menyinari wajahnya. Namun aneh, wanita itu tak bergerak sedikitpun dari tadi. Padahal guncangan kereta begitu terasa.
Hampir 10 menit kakekku memperhatikan wanita di kursi 13A itu, masih tanpa ekspresi dan gerak tubuh yang berarti. Wanita itu masih tertunduk tanpa memberikan tanda-tanda dia akan turun dimana. Siapa wanita itu?
Kereta pun melewati terowongan karangkates. 2 terowongan panjang, suasana bertambah gelap dan mencekam. Hanya ada kakekku dan seorang wanita aneh di kursi 13A. Kakekku berfikir tak ada salahnya untuk menyapa, barang kali dia bingung atau tertidur. Bahkan mungkin jangan2 stasiun tempat dia berhenti sudah terlewat.
Namun baru akan menyapa, beberapa penumpang masuk ke gerbong tersebut dari pintu depan. Cukup banyak sekitar 8-9 orang. Beberapa membawa barang bawaan seperti tas dan kardus-kardus yang diikat tali rafia. Ada yang membawa anak kecil dan bayi di dalam gendongan. Tapi tunggu… wajah itu…
Orang-orang tersebut kemudian duduk dan saling berpencar, mereka seperti tau harus duduk dimana. Tanpa harus bertanya satu sama lain. Kakekku semakin resah, seperti ada yang tidak beres di gerbong 6 ini. Orang-orang yang baru naik itu masih saling terdiam, tanpa ada percakapan sama sekali.
‘Tapi dari mana mereka berasal? Apakah pindahan dari gerbong depan? Atau baru naik dari stasiun sebelum nya??’
Banyak pertanyaan di benak kakekku atas semua hal2 aneh ini. Terlihat samar namun jelas, Syahroni melambaikan tangan kearah kakekku dari pintu gerbong depan. Seolah-olah dia mengajak kakekku untuk keluar dari gerbong itu tanpa bersuara.
“Ada apa ron? Kenapa kamu pucat?”
“Ayo pindah ke depan… cepetan”
“Lho kenapa? Udah rame kok di gerbong ini”
“Rame gmn? Kamu gak tau siapa mereka yang masuk barusan?”
“Penumpang… Mungkin dari gerbong depan. Tapi wajah mereka kenapa pucat tanpa ekspresi?? Apa mungkin kelelahan?”
“Coba balik badan, dan lihat lagi…”
Begitu kakekku membalikkan badan, keadaan berubah. Orang-orang yang baru naik tadi kondisinya sangat mengenaskan. Ada yang kepalanya berlumuran darah, pecah dan terlihat sebagian otak nya. Ada yang tangannya terpotong dan tulang-tulang nya yang hancur. Dan ibu yang menggendong bayi tadi tak terlihat sebagai bayi, seperti menggendong seonggok tubuh tanpa kepala.
Kakekku langsung lemas, sama sekali dia tidak berfikir tentang semua itu. Syahroni pun menarik lengan kakekku dan membawanya ke gerbong depan.
“Tapi ron… me.. mereka siapa??”
“Mereka adalah arwah korban tabrakan kereta. Orang-orang yang melintas perlintasan tanpa tau ada kereta lewat. Dan beberapa adalah orang yang sengaja bunuh diri menabrakkan tubuhnya ke kereta.”
“Kok kamu tahu??”
“Aku udah sering ikut kereta terakhir, dan usai melewati terowongan karangkates mereka selalu ada di gerbong paling terakhir. Aku lupa untuk menyuruhmu pindah tadi…”
Kakekku masih belum percaya dengan kejadian itu, dia seperti ingin kembali ke gerbong 6 dan memastikan kembali apa yang dia lihat.
“Lalu siapa yang duduk di kursi 13A. Dia sudah ada disitu sebelum masuk terowongan”
“Aku nggak tahu… tapi dia bukan salahsatu dari mereka.”
“Maksudnya?”
“Aku sempat mengecek tiketnya tadi, dia pun langsung duduk disitu”
“Trus berarti dia….”
“Mungkin… ini hanya perkiraan ku… dia tau akan arwah-arwah itu, dan salahsatu dari arwah itu adalah orang yang dia kenal dan ingin dia lihat malam ini…”
“...”
Kakekku bukanlah orang yang penakut, hanya saja hal itu belum pernah dia alami sebelum nya. Shock, kaget dan merasakan hal yang tidak biasa. Sejak saat itu, kakek jarang sekali naik kereta malam untuk pulang ke Blitar. Tak jarang Syahroni pun bercerita tentang arwah-arwah itu semakin menakutkan. Beberapa diantara mereka datang dengan tubuh yang mencari kepalanya.
Bagi kakek ada hal-hal yang sebaiknya tidak perlu dia ketahui kenapa, daripada akan mengusik suasana yang tenang berubah menjadi sangat mengerikan…
Biarkan “mereka” ada dengan apa adanya...
Aku baru saja mengeringkan badan, setelah sore tadi terguyur hujan deras. Aku terlambat pulang sekolah hari ini, menjadi pengurus ekstrakurikuler di sekolah cukup menguras waktu ku dan merampas hasrat untuk pergi bermain di sore hari. Hari ku penuh dengan urusan sekolah dan ekstrakurikuler.
Ku lihat kakekku menyeruput kopi tubruknya yang kental sembari tangannya lincah menganyam serutan bambu. Sejak pensiun sebagai masinis, beliau sering membuat peralatan rumah dari anyaman bambu untuk menyibukkan diri dirumah.
“Gimana sekolah e le? Kok sore banget pulang mu?”
“Iya mbah, ngurusi ekstra jurnalis. Sambil nunggu hujan tapi gak reda-reda’
“Pengen jadi wartawan kamu?”
“Ndak juga sih mbah, tapi saya lebih tertarik dengan teknik penulisan”
“Berarti mau jadi penulis nih”
“Heheh… ya belajar mbah…”
Dia kembali menyeruput kopi hitamnya dari cangkir tua berbahan seng. Kopi yang dia racik dan roasting sendiri dengan komposisi sesuai selera nya.
“Kalau mau nulis, aku punya cerita le… mungkin bisa jadi bahan tulisan mu”
“Cerita? Cerita apa toh mbah?”
Dia hanya tersenyum dan memulai ceritanya…
Siang itu di awal desember 1978, cukup panas dan penuh sesak penumpang KA Gumarang Jakarta - Surabaya. Kakekku bertugas sebagai masinis di kereta itu. Beliau sering bertugas untuk kereta api jarak jauh, karena itulah dia jadi jarang berada di rumah karena tugas. Bahkan terkadang seminggu hanya 2 hari dia ada di rumah.
Namun hari itu dia ingin segera pulang, istrinya sedang mengandung anaknya yang ke 8. Dan beberapa hari lagi adalah perkiraan hari kelahiran. Yang hanya ada dalam pikirannya adalah segera menuntaskan perjalanan itu dan langsung pulang ke kota Bliitar.
Pukul 19.10, kereta tiba di stasiun Gubeng. Pemberhentian terakhir untuk KA Gumarang Jakarta - Surabaya. Kakekku harus menunggu kereta dari Surabaya ke Blitar yang baru akan berangkat 20.05. Kereta terakhir malam itu. Hal ini sebelumnya tidak pernah dia lakukan, biasanya jika sampai Surabaya malam dia menginap dulu di stasiun dan baru keesokan harinya pulang ke blitar dengan kereta pertama pagi itu. Tapi malam itu semua berbeda…
KA Penataran Surabaya - Biitar sudah meninggalkan stasiun Gubeng pukul 20.13. Suasana penumpang cukup lengang, tak banyak penumpang yang menaiki kereta tersebut. Wajar saja itu kereta malam terakhir, jarang malam-malam begini orang berangkat ke kota lain. Jika pun ada biasanya di dominasi pekerja pabrik yang ingin pulang ke kampung halaman.
“Ron, bawa berapa gerbong?”
“Cuma 6, kereta malam begini gak ada yang naik”
“Yaudah, aku tak numpang di gerbong 6 yo. Kl udah sampai lupa bangunin”
“Bereees… wes tidur o sana…”
Syahroni adalah kondektur teman kakekku. Mereka sering bertugas dalam satu kereta, cuma hari itu jadwal mereka terpisah.
Gerbong 6 adalah gerbong paling belakang, tak begitu ramai penumpang disini hanya beberapa baris kursi yang terisi penuh. Selebihnya hanya berisi 1-2 penumpang. Kakekku merebahkan tubuh nya di kursi 15C-D. Perjalanan panjang cukup melelahkan, karena perlu fokus dan selalu berkonsentrasi. Matanya hanya tertuju di kaca jendela dan sesekali terpejam.
Beberapa saat kemudian kakekku terbangun oleh suara Syahroni yang sedang melakukan pengecekan tiket…
“Udah nyampe mana ron?”
“Kepanjen”
“Dah sepi yo”
“Ya jelas, udah lewat malang. Udah banyak yang turun. Wes tidur o lagi. Nanti tak bangunin”
Suasana dalam gerbong 6 menjadi sangat sepi, selepas kota Malang hanya tersisa kakekku dan 3 orang penumpang lain. Lampu gerbong pun tak nyala seluruhnya. Hanya beberapa buah saja dan itu tak membuat gerbong menjadi terang. Sesekali angin dingin dari ventilasi jendela berhembus dan menerpa wajah dan leher.
Kakek ku menatap sekeliling, kosong… hanya ada seorang wanita berambut panjang duduk di kursi 13A. Aneh perasaan sedari tadi bangku itu kosong. Masa masih ada penumpang yang naik di malam begini. Kereta juga sudah melewati stasiun sumber pucung, pasti 2 penumpang lain tadi turun di stasiun itu.
Kakek ku masih memperhatikan wanita tersebut, tak jelas bagaimana wajahnya tertutup rambutnya yang hitam. Dan sepertinya sedang tunduk tertidur, entahlah lampu gerbong ini tak cukup terang menyinari wajahnya. Namun aneh, wanita itu tak bergerak sedikitpun dari tadi. Padahal guncangan kereta begitu terasa.
Hampir 10 menit kakekku memperhatikan wanita di kursi 13A itu, masih tanpa ekspresi dan gerak tubuh yang berarti. Wanita itu masih tertunduk tanpa memberikan tanda-tanda dia akan turun dimana. Siapa wanita itu?
Kereta pun melewati terowongan karangkates. 2 terowongan panjang, suasana bertambah gelap dan mencekam. Hanya ada kakekku dan seorang wanita aneh di kursi 13A. Kakekku berfikir tak ada salahnya untuk menyapa, barang kali dia bingung atau tertidur. Bahkan mungkin jangan2 stasiun tempat dia berhenti sudah terlewat.
Namun baru akan menyapa, beberapa penumpang masuk ke gerbong tersebut dari pintu depan. Cukup banyak sekitar 8-9 orang. Beberapa membawa barang bawaan seperti tas dan kardus-kardus yang diikat tali rafia. Ada yang membawa anak kecil dan bayi di dalam gendongan. Tapi tunggu… wajah itu…
Orang-orang tersebut kemudian duduk dan saling berpencar, mereka seperti tau harus duduk dimana. Tanpa harus bertanya satu sama lain. Kakekku semakin resah, seperti ada yang tidak beres di gerbong 6 ini. Orang-orang yang baru naik itu masih saling terdiam, tanpa ada percakapan sama sekali.
‘Tapi dari mana mereka berasal? Apakah pindahan dari gerbong depan? Atau baru naik dari stasiun sebelum nya??’
Banyak pertanyaan di benak kakekku atas semua hal2 aneh ini. Terlihat samar namun jelas, Syahroni melambaikan tangan kearah kakekku dari pintu gerbong depan. Seolah-olah dia mengajak kakekku untuk keluar dari gerbong itu tanpa bersuara.
“Ada apa ron? Kenapa kamu pucat?”
“Ayo pindah ke depan… cepetan”
“Lho kenapa? Udah rame kok di gerbong ini”
“Rame gmn? Kamu gak tau siapa mereka yang masuk barusan?”
“Penumpang… Mungkin dari gerbong depan. Tapi wajah mereka kenapa pucat tanpa ekspresi?? Apa mungkin kelelahan?”
“Coba balik badan, dan lihat lagi…”
Begitu kakekku membalikkan badan, keadaan berubah. Orang-orang yang baru naik tadi kondisinya sangat mengenaskan. Ada yang kepalanya berlumuran darah, pecah dan terlihat sebagian otak nya. Ada yang tangannya terpotong dan tulang-tulang nya yang hancur. Dan ibu yang menggendong bayi tadi tak terlihat sebagai bayi, seperti menggendong seonggok tubuh tanpa kepala.
Kakekku langsung lemas, sama sekali dia tidak berfikir tentang semua itu. Syahroni pun menarik lengan kakekku dan membawanya ke gerbong depan.
“Tapi ron… me.. mereka siapa??”
“Mereka adalah arwah korban tabrakan kereta. Orang-orang yang melintas perlintasan tanpa tau ada kereta lewat. Dan beberapa adalah orang yang sengaja bunuh diri menabrakkan tubuhnya ke kereta.”
“Kok kamu tahu??”
“Aku udah sering ikut kereta terakhir, dan usai melewati terowongan karangkates mereka selalu ada di gerbong paling terakhir. Aku lupa untuk menyuruhmu pindah tadi…”
Kakekku masih belum percaya dengan kejadian itu, dia seperti ingin kembali ke gerbong 6 dan memastikan kembali apa yang dia lihat.
“Lalu siapa yang duduk di kursi 13A. Dia sudah ada disitu sebelum masuk terowongan”
“Aku nggak tahu… tapi dia bukan salahsatu dari mereka.”
“Maksudnya?”
“Aku sempat mengecek tiketnya tadi, dia pun langsung duduk disitu”
“Trus berarti dia….”
“Mungkin… ini hanya perkiraan ku… dia tau akan arwah-arwah itu, dan salahsatu dari arwah itu adalah orang yang dia kenal dan ingin dia lihat malam ini…”
“...”
Kakekku bukanlah orang yang penakut, hanya saja hal itu belum pernah dia alami sebelum nya. Shock, kaget dan merasakan hal yang tidak biasa. Sejak saat itu, kakek jarang sekali naik kereta malam untuk pulang ke Blitar. Tak jarang Syahroni pun bercerita tentang arwah-arwah itu semakin menakutkan. Beberapa diantara mereka datang dengan tubuh yang mencari kepalanya.
Bagi kakek ada hal-hal yang sebaiknya tidak perlu dia ketahui kenapa, daripada akan mengusik suasana yang tenang berubah menjadi sangat mengerikan…
Biarkan “mereka” ada dengan apa adanya...






infinitesoul dan 55 lainnya memberi reputasi
56
8.5K
Kutip
37
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan