Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Presiden Jokowi lu ncurkan penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Aceh

Minggu, 4 Juni 2023 01:01 WIB

Presiden Joko Widodo akan memulai misi penyelesaian 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu secara non-yudisial di Aceh pada akhir Juni nanti. Akan tetapi salah satu perwakilan korban peristiwa Simpang KKA tahun 1999 berpesan kepada pemerintah agar memastikan seluruh korban menerima bantuan pemulihan dan tidak melupakan proses hukum di Kejaksaan Agung.

Anggota Tim Pelaksana Pemantau PPHAM, Beka Ulung Hapsara, berkata Presiden Joko Widodo memilih Aceh sebagai lokasi peluncuran kebijakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial dengan sejumlah pertimbangan.

Di sana, kata dia, setidaknya ada tiga kasus pelanggaran HAM berat yang diakui negara yakni Simpang KKA, Rumah Geudong, dan Jambo Keupok.

Berangkat dari "wilayah Indonesia Barat pula pemerintah ingin memulai misi tersebut untuk diteruskan sampai ke wilayah Indonesia bagian Timur," sambungnya.

Beka Ulung mengatakan nantinya Presiden Jokowi akan mengundang korban dan keluarga korban dari tiga kasus pelanggaran HAM berat tersebut dan berbincang langsung kepada mereka soal bentuk pemulihan yang dibutuhkan.

Salah satu korban peristiwa Simpang KKA tahun 1999, Murtala, menuturkan para korban tak keberatan dengan penyelesaian secara non-yudisial.

Pasalnya mayoritas korban telah berusia senja dan membutuhkan bantuan untuk hidup sehari-hari.

"Korban ini juga sangat membutuhkan [bantuan] karena banyak korban atau keluarga korban yang hari ini sudah sangat tua dan renta," ujar Murtala.

Hanya saja, Murtala berpesan kepada pemerintah agar mengakomodir seluruh korban tanpa kecuali.

Sebab dia khawatir jika tak semua korban menerima hak rehabilitasi dan reparasi akan menimbulkan perpecahan.

"Kalau mau penyelesaian non-yudisial silakan saja, tetapi harus terakomodir semua supaya tidak terjadi kesenjangan dan perpecahan di antara korban dan saling curiga," imbuh Murtala kepada wartawan Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (02/06).

Catatan Murtala, korban yang terdata di Komnas HAM hanya 33 orang. Mereka adalah orang-orang yang pernah dimintai keterangannya atas insiden penganiayaan oleh aparat TNI kala itu.

Namun sesungguhnya jumlah korban dari peristiwa lampau tersebut mencapai 212 orang dengan rincian 46 warga sipil meninggal, 156 mengalami luka tembak dan 10 orang hilang. Tujuh dari korban tewas diidentifikasi masih anak-anak.

Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna, sependapat.

Dia mempertanyakan data korban pelanggaran HAM berat yang dikumpulkan Tim PPHAM untuk menyalurkan bantuan rehabilitasi serta reparasi.

Pasalnya tidak semua korban pelanggaran HAM berat di Aceh tercatat di Komnas HAM maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR Aceh) lantaran trauma dengan janji-janji pemerintah.

Jauh sebelum adanya Tim PPHAM, sambung Azharul, pemerintah di masa B.J Habibie dan Megawati Soekarnoputri juga pernah menawarkan bantuan serupa. Tapi itu semua "janji palsu," kata Azharsul.

Itu mengapa saat ini banyak korban skeptis dengan misi Presiden Joko Widodo.

"Jadi jangan lagi melimpahkan kesalahan pada korban dengan mengatakan 'Siapa suruh tidak mau atau menolak?'"

Menurut dia, Tim PPHAM membutuhkan pendekatan baru untuk mendapat kepercayaan para korban. Kalau perlu menggelar pertemuan beberapa kali.

'Penyelesaian yudisial mimpi besar kami'

Lebih dari itu, Azharul mendesak Presiden Jokowi untuk tidak melupakan jalur penyelesaian secara hukum atau yudisial.

Menurutnya, tanpa menyeret para pelaku pelanggar HAM berat ke pengadilan sama saja negara melepaskan tanggung jawabnya.

"Peristiwa pelanggaran HAM pun akan terulang lagi di masa depan dan menimbulkan kultur impunitas."

Murtala yang merupakan Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA juga meminta pemerintah mendorong proses yudisial di Kejaksaan Agung.

Bagi para korban, katanya, penyelesaian di meja pengadilan adalah mimpi besar mereka.

"Hasil musyawarah kami, hasil mufakat kami, bincang-bincang kami, silakan saja pemerintah ingin melakukan pemulihan, tetapi jangan ditutup pintu proses Pengadilan HAM," jelasnya.

"Presiden Jokowi juga harus mengatakan begitu. Kan itu kewajiban negara untuk pemenuhan hak korban," sambungnya.

Tetapi dia mempertanyakan keadilan bagi korban yang masih menyimpan trauma.

"Sudah 34 tahun tragedi ini terjadi, ada korban yang sampai hari ini masih membekas diingatan saya, bagaimana perempuan itu dirudapaksa selama delapan bulan pada pos itu, lalu korban lain yang sedang hamil tiga bulan, karena suaminya GAM lalu dia juga ikut dibawa ke pos itu," kata Faridah, kepada wartawan Hidayatullah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Presiden lantas memerintahkan Menkopolhukam, Mahfud Md, untuk mengawal dua proeses tersebut agar cepat terlaksana.

Anggota Tim Pelaksana Pemantau PPHAM, Beka Ulung Hapsara, berkata komitmen pemerintah tak bergeser dari pernyataan Presiden Jokowi pada tanggal 11 Januari 2023 itu.

Adapun mengenai pendataan, katanya, para korban dan keluarga tidak perlu khawatir. Sebab Tim PPHAM akan terus mengidentifikasi para korban yang belum terdata.

"Data ini sesuatu yang dinamis dan tentu saja belum berhenti pada angka tertentu," imbuhnya.

Hingga saat ini, kata dia, Tim PPHAM di lapangan berupaya mendatangi para pendamping korban ataupun organisasi yang menaungi para korban.

Langkah lain yang ditempuh mengumpulkan data para korban dan keluarga mereka dari pemerintah daerah.

"Karena pemda punya aparat sampai ke desa-desa."

"Atau korban yang merasa belum terdata bisa langsung menemui Tim PPHAM, Komnas HAM atau Lembaga Perlindungan Saksi Korban."

Dari sumber-sumber informasi itulah Tim PPHAM, kata Beka Ulung, bakal memverifikasi ulang data korban yang masih hidup dan yang telah meninggal dan memiliki ahli waris.

Kepada mereka, Tim PPHAM akan mendengarkan kebutuhan mereka untuk dipenuhi pemerintah.

"Yang pasti negara mencoba menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan pemulihan korban dan keluarga selengkap mungkin."

Misalnya di bidang pendidikan, Mendikbud-Ristek diperintahkan untuk memberikan beasiswa pendidikan bagi korban atau anak-anak korban, memberikan bantuan perlengkapan atau pelaratan kebudayaan, dan memberikan bantuan fasilitas pendidikan.

Menteri Sosial diinstruksikan untuk memberikan bantuan dan atau rehabilitasi sosial dan memberikan jaminan hari tua bagi korban atau ahli waris serta korban terdampak yang berusia lanjut.

Menteri Kesehatan ditugaskan memberikan prioritas bagi korban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan indikasi medis dan menyediakan iuran BPJS kepada korban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui BPJS Kesehatan.

Menteri PUPR ditugasi menyediakan pengadaan air bersih, memperbaiki jalan dan kembatan, serta memperbaiki irigasi, dan membangun memorial.

Menteri Ketenagakerjaan diminta memberikan akses program pelatihan kejuruan pada Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas serta Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas.

Menteri Keuangan diperintahkan mengkoordinasikan kebijakan anggaran kementerian atau lembaga untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM, serta memberikan prioritas beasiswa pendidikan bagi anak-anak korban melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.

Menteri Koperasi dan UKM diminta memberikan fasilitas akses pembiayaan usaha, memberikan pelatihan dan pendampingan pada koperasi serta usaha mikro, kecil, menengah.

Bantuan seperti apa yang dibutuhkan korban?
Murtala yang merupakan Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA, mengatakan beberapa korban menyatakan ingin anak-anak mereka menempuh pendidikan lebih tinggi lewat beasiswa.

Kemudian ada juga korban yang ingin mendapat bantuan usaha.

"Ada korban yang butuh mobil untuk mengangkut batu bata di usahanya. Apakah itu bisa terpenuhi?"

"Ada juga korban dan keluarganya kerja di perikanan, mereka minta pemerintah menyediakan fasilitas kapal motor."

"Lalu di bidang pertanian misalnya perlu traktor yang besar."

Selain di bidang usaha, para korban yang sudah tua membutuhkan kartu jaminan kesehatan yang sifatnya permanen atau tanpa jangka waktu tertentu.

Pasalnya kartu kesehatan yang dimiliki dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki jangka waktu per enam bulan dan sistemnya reimbursement.

Skema seperti itu dianggap menyulitkan para korban yang kondisinya miskin.

Hal lain yang dibutuhkan, kata Murtala, pemerintah diminta membangun museum tragedi Simpang KKA sebagai pengingat dan mengenang para korban meninggal.

Serta membuat kurikulum pendidikan yang menuliskan ulang narasi tragedi Simpang KKA demi "meluruskan sejarah".

Senada dengan Murtala, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pasca Rumoh Geudong Faridah juga menuntut adanya bantuan pendidikan bagi anak-anak korban, jaminan kesehatan seumur hidup, serta biaya jatah hidup.

"Sebanyak 330 korban yang ada di data kami, apa yang diharapkan dari penyelesaian non-yudisial ini bisa beragam, tapi bagaimana nanti tim yang telah dibentuk mengawal ini agar lansung ke tangan penerima," tegas Faridah.

https://www.tribunnews.com/internasi...aceh?page=all.

Upaya pemerintah berupaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Aceh termasuk skeptis beberapa pihak atas upaya penyelesaian pelanggaran HAM



Sesmenko Polhukam: Korban Pelanggaran HAM yang Berat di Aceh Sementara Ada 84 dan Bisa Bertambah
Presiden Jokowi lu ncurkan penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Aceh
For Serambinews.com
Surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo yang dibacakan oleh Murtala salah satu korban tragedi Simpang KKA, Aceh Utara, Rabu (3/5/2023). Korban Pelanggaran HAM yang Berat di Aceh Sementara Ada 84, kemungkinan korban bisa bertambah karena terus dilakukan verifikasi data.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Menko Polhukam RI sekaligus Ketua Pelaksana Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, Letjen TNI Teguh Pudjo Rumekso, mengatakan tim yang dipimpinnya tengah menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023.

Perintah Inpres tersebut, kata dia, adalah untuk melaksanakan rekomendasi yang telah diberikan oleh Tim PP HAM.

Menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, Teguh mengatakan tim yang dipimpinnya telah melakukan rapat beberapa kali dengan Kementerian Lembaga.

Rapat tersebut, kata dia, untuk membahas rencana Kick Off pada akhir Juni di Aceh.

Tim, kata dia, juga sudah meninjau ke Aceh dengan Kementerian dan Lembaga terkait untuk memverifikasi data-data korban secara langsung.

"Data korban di Aceh sementara ini berjumlah 84. Saya katakan sementara karena kemungkinan bisa bertambah. Kemudian kami juga sedang memverifikasi data-data korban di 9 peristiwa yang lain," kata Teguh dalam keterangan tertulis pada Kamis (1/6/2023).

"Data-data ini kami perlukan karena bersamaan nanti Kick Off di Aceh, di tempat lain juga akan dilaksanakan Kick Off secara virtual," sambung dia.

Dia juga mengatakan pemulihan hak-hak korban bisa dalam bentuk pemberian beasiswa, jaminan kesehatan, rehabilitasi rumah, pelatihan-pelatihan keterampilan dan lain-lain, disesuaikan dengan permintaan para korban.

Selain pemulihan hak-hak korban, lanjut dia, tidak kalah pentingnya adalah mencegah jangan sampai pelanggaran HAM berat terjadi lagi pada masa mendatang, sesuai yang diamanahkan Inpres no 2 tahun 2022.

"Saya sudah melapor kepada Panglima TNI dan Kapolri, hasil diskusi yang dilaksanakan oleh TIM PKP HAM, yang merekomendasikan perubahan organisasi struktural bidang Hukum di TNI dan Polri, misalkan Babinkum TNI menjadi Babinkum HAM TNI, Kadivkum di Polri menjadi Kadivkum HAM, dan ini masih akan dikaji," kata Teguh.


Presiden Terbitkan Inpres dan Keppres

Diberitakan Kompas.id sebelumnya, dua bulan setelah Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat, Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat diterbitkan.

Selain Inpres No 2/2023, Presiden Jokowi juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.

Tim pemantau terdiri dari pengarah dan pelaksana.

Dari keppres yang salinannya diterima Kompas, Kamis (16/3/2023) disebutkan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD didapuk sebagai Ketua Tim Pengarah.

Adapun, Ketua Pelaksana adalah Sekretaris Kemenko Polhukam Letnan Jenderal TNI Teguh Pudjo Rumekso.

Wakil Ketua Pelaksana adalah Makarim Wibisono yang merupakan mantan Ketua Tim PPHAM.

Selain itu, juga ada perwakilan dari masyarakat sipil, yaitu mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, mantan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Choirul Anam, dan Amiruddin Al Rahab. Ada pula tokoh agama Zaky Manuputi dan Pastor John Djonga.

Sesuai keppres, tim pelaksana bertugas melakukan pemantauan, evaluasi, dan pengendalian implementasi rekomendasi Tim PPHAM.

Mereka juga memberikan usulan saran dan pertimbangan kepada Ketua Tim Pengarah, serta melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rekomendasi secara berkala atau sewaktu-waktu kepada ketua tim pengarah.

Masa kerja tim pemantau PPHAM itu berlaku sejak keppres ditetapkan pada 15 Maret 2023 dan berakhir pada 31 Desember 2023.

Sementara itu, secara umum, Inpres No 2/2023 berisi perintah presiden kepada 19 kementerian dan lembaga untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

Tim sebelumnya telah bekerja selama dua bulan sejak September-Desember 2022 untuk mengkaji 12 pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM.

Tim kemudian melahirkan laporan dan rekomendasi yang harus dijalankan oleh pemerintah untuk memulihkan hak korban.

Sebanyak 19 kementerian dan lembaga itu di antaranya adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Luar Negeri; Menteri Agama; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Keuangan; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Menteri Kesehatan; Menteri Sosial; Menteri Ketenagakerjaan; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Menteri Pertanian; Menteri Badan Usaha Milik Negara; Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Jaksa Agung, Panglima TNI; dan Kapolri.

Negara Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (11/1/2023).

“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.

Sebelumnya negara belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.

Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat di antaranya yakni:

1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.


Presiden menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.

Sebelumnya pada 29 Desember 2022, Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dipimpin Makarim Wibisono menyarankan Presiden Joko Widodo mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam laporan akhir dan rekomendasi yang telah diserahkannya kepada Menko Polhukam RI Mahfud MD, kata Makarim, ada dua hal penting.

Pertama, soal laporan mengenai hasil kerja Tim PPHAM yang telah dikerjakan sesuai Keppres nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim PPHAM.

Laporan tersebut, pada pokoknya mengungkap dan memberi analisa pada pelanggaran HAM masa lalu.

Kedua, rekomendasi mengenai pemulihan korban.

Ketiga, rekomendasi agar masalah pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di Indonesia.

Lebih jauh, Makarim menjelaskan inti dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan Tim PPHAM dengan korban, keluarga korban, pendamping, dan unsur LSM adalah mereka menginginkan negara mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM berst tersebut.

Karena sampai sekarang, kata dia, tidak ada satupun pengakuan negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM.

Oleh karena itu, kata Makarim, mereka sangat mengharapkan adanya pengakuan dari negara bahwa telah terjadi peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut.

Ia berharap saran tersebut bisa diterima oleh pemerintah dan bisa dijadikan pegangan


https://www.tribunnews.com/nasional/...mbah?page=all.
daftar pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah
[/b]
daratmpvAvatar border
neptuniumAvatar border
nomoreliesAvatar border
nomorelies dan 2 lainnya memberi reputasi
1
1.5K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan