- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Situasi kebebasan berekspresi di Tanah Papua semakin memburuk


TS
mabdulkarim
Situasi kebebasan berekspresi di Tanah Papua semakin memburuk

News Desk - Kebebasan Berekspresi Di Tanah Papua
May 17, 2023
Kebebasan Berekspresi di Tanah Papua
Aksi menolak pemekaran Provinsi Papua dan pembentukan Daerah Otonom Baru di Kota Jayapura pada tahun 2022, sesaat sebelum dibubarkan polisi. – Jubi/Theo Kelen
Jayapura, Jubi – Aktivis Perempuan dari GARDA Papua Esther Haluk menyatakan situasi kebebasan berekspresi di Tanah Papua semakin memburuk. Menurut Haluk ada ketakutan dari Negara terhadap orang Papua yang hendak mengekspresikan pendapatnya di muka umum.
Haluk menyatakan kebebasan berekspresi di Papua mulai memburuk pada 2019, ketika terjadi protes besar-besaran terkait isu rasisme. Haluk menyatakan orang Papua yang memprotes perlakukan rasisme malah ditangkap dan di penjara.
“Indonesia memanggil kami monyet, tetapi kami ditangkap ketika kami protes. Kami adalah korban,” kata Haluk dalam diskusi daring bertajuk “Kondisi dan Tren Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Hak Digital di West Papua” yang diselenggarakan SAFEnet dan TAPOL, pada Selasa (16/5/2023).
Haluk menyatakan ketika orang Papua menggunakan kebebasan berekspresi untuk berbicara tentang kebenaran, mereka selalu diperhadapkan dengan TNI/Polisi. Haluk menyatakan ia pernah ditangkap karena ikut terlibat dalam aksi damai pada Mei 2022. Akan tetapi Haluk menyatakan ketika berada di kantor polisi ia malah ditanya terkait postingannya di media sosial.
“Jadi saat itu kami di bawah ke kantor polisi bukan karena aksi damai, tetapi [ditanyai soal] postingan di media sosial. Akun FB saya di hack tiga kali karena postingan saya hanya karena mengomentari berita,” ujarnya.
Haluk juga menyatakan kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia tidak sesuai dengan keinginan orang Papua, misalnya terkait pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk provinsi baru. Namun, ketika orang Papua memprotes kebijakan tersebut, mereka ditangkap.
“Kebijakan yang diterapkan di Papua tidak kami terima, karena hal itu tidak mengenai hidup kami. Kami mengalami kerusakan ekologi yang bisa mengancam hidup kami, ada isu perampasan tanah. Hak kami untuk mengekspresi diri untuk memprotes, [namun pemerintah] mengerahkan militer dan secara polisi besar-besaran [menghadapi orang Papua],” katannya.

Diskusi daring bertajuk “Kondisi dan Tren Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Hak Digital di West Papua” yang diselenggarakan SAFEnet dan TAPOL, pada Selasa (16/5/2023). – Tangkapan Layar Zoom
Haluk menyatakan Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya menghargai kebebasan berekspresi orang Papua. Menurut Haluk, perlakukan Pemerintah Indonesia terhadap orang Papua justru menunjukan bahwa orang Papua tidak dianggap sebagai bagian dari Indonesia.
“Kami mau melakukan aksi damai, kenapa [pemerintah] menggunakan polisi dan militer masuk kampus untuk membubarkan mereka. Kami menggunakan hak kami, kenapa mereka menggunakan kekuatan militer dan polisi. Dari pengalaman kami orang Papua, hak kami seperti tidak ada di dalam negara Indonesia,” ujarnya.
Bagian Kampanye Tahan Politik atau TAPOL Ian Moore menyatakan dalam laporan Tapol West Papua 2022 “Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Berkumpul” mencatat ada 21 insiden pembubaran sewenang-wenang yang terjadi pada 2022. Moore menyatakan sebagian besar insiden itu terjadi di Provinsi Papua, terutama di Jayapura. Akan tetapi, juga ada insiden serupa di wilayah lain di West Papua, terutama di Sorong dan di Papua Tengah.
Ian menyatakan berbagai satuan polisi berperan membubarkan ekspresi damai di Papua. Mulai dari kesatuan standar, satuan tugas khusus seperti Nemangkawi, hingga Korps Brigade Mobil dan badan intelijen polisi.
Moore menyatakan kelompok yang terdampak diantaranya Petisi Rakyat Papua atau PRP, Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Aliansi Mahasiswa Papua atau AMP, dan United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP. “Ada protes besar-besaran, dan polisi menghentikan protes itu,” ujarnya dalam diskusi tersebut.
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute Made Supriatma menyatakan Negara terus melakukan represi terhadap orang Papua. Supriatma menyatakan Negara selalu mengirimkan militer untuk berhadapan dengan protes atau demonstrasi yang dilakukan orang Papua.
“Dan respon dari militer sangat keras terhadap protes. Itu adalah bentuk represi dari negara terhadap orang Papua,” ujar Supriatma.
Supriatma menyatakan berbagai protes yang dilakukan orang Papua menunjukkan rasa nasionalisme sedang bangkit terutama di kalangan muda Papua. Ia menyatakan Pemerintah Indonesia seharusnya menanyakan atau berdiskusi apa kemauan orang Papua.
“Papua memiliki gerakan yang sangat kuat. Orang muda Papua ingin menyampaikan suara mereka dan ingin membuat protes walaupun masih dalam represif militer,” ujarnya. (*)
https://jubi.id/tanah-papua/2023/sit...akin-memburuk/
aspirasi mengenai adanya pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi orang Papua
ini belum termasuk ormas-ormas menghalangi aspirasi mahasiswa Papua menyerukan referendum dan penarikan militer


nomorelies memberi reputasi
1
501
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan