
Seribuan warga miskin antre untuk mendapatkan zakat mal di Jalan Raden Patah, Semarang, Sabtu, 11 Juli 2015.
© Budi Purwanto /Tempo
Survei Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkanbahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2016 di Indonesia lebih sedikit ketimbang September tahun lalu. Pada laporan terbaru, angka orang miskin mencapai 28,01 juta atau 10,86 persen dari total penduduk negeri. Sementara itu, pada September 2015, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan 28,51 juta orang (11,13 persen)
Dilansir
Kompas, penduduk miskin dalam hal persentase paling banyak terdapat di Maluku dan Papua. Mengikuti di bawahnya, Bali dan Nusa Tenggara. Adapun Jawa, daerah ini menjadi pulau dengan penduduk miskin terbanyak secara absolut karena "memang jumlah penduduknya paling banyak atau paling padat,"
ujar Suryamin, Kepala BPS, Senin (18/7).
Suryamin
menyatakan secara umum "di perdesaan terjadi peningkatan kedalaman dan keparahan kemiskinan, sehingga secara rata-rata di desa meningkat," ujarnya dikutip laman Detik. Di kawasan termaksud, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 2,40 menjadi 2,74 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,67 menjadi 0,79. Pada wilayah perkotaan Indeks Kedalaman Kemiskinan justru turun dari 1,29 menjadi 1,19 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,35 menjadi 0,27.
Hal tersebut
menurutnya dimungkinkan karena tiga faktor. Pertama, "garis kemiskinan desa lebih tinggi karena inflasi desa lebih tinggi dari perkotaan."
Selain itu, penduduk perdesaan
lebih banyak mengonsumsi produk dari kota seperti mi instan dan susu. Pembelian barang pun terjadi secara eceran "sehingga menyebabkan harganya lebih mahal" dan memicu inflasi lebih tinggi daripada perkotaan.
Menanggapi penurunan jumlah penduduk miskin seperti yang disampaikan oleh BPS, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution, meyakini salah satu pemicunya adalah "harga pangan yang makin stabil.'' Pasalnya, ujarnya dikutip laman
Okezone, "tingkat kemiskinan banyak dipengaruhi oleh harga pangan.''
BPS sendiri mencatat bahwa peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan memang lebih besar ketimbang peran komoditas nonmakanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangannya terhadap garis kemiskinan pada Maret 2016 mencapai 73,50 persen, tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2015 yaitu sebesar 73,07 persen.
Lebih jauh
BPS lewat laman resminya menyebutkan, jenis komoditas makanan yang memiliki pengaruh terbesar terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan maupun di perdesaan, di antaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, gula pasir, mi instan, bawang merah dan roti. Sedangkan untuk komoditas bukan makanan yang terbesar pengaruhnya adalah biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, dan perlengkapan mandi.
Dilansir kantor berita
Antara, garis kemiskinan di Indonesia yang dirilis BPS naik 2,78 persen dari Rp344.809 per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp354.386 per kapita per bulan pada Maret 2016.
Lembaga tersebut menunjukkan bahwa garis kemiskinan--
yakni tingkat minimum pendapatan yang dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi--di perkotaan secara nasional naik 2,29 persen dari Rp356.378 per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp364.527 per kapita per bulan pada Maret 2016.
Sementara, garis kemiskinan di perdesaan secara nasional naik 3,19 persen dari Rp333.034 per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp343.646 per kapita per bulan pada Maret 2016.
Terdapat beberapa provinsi dengan garis kemiskinan desa yang lebih tinggi ketimbang perkotaan. Penyebabnya, tingkat perkembangan harga-harga komoditas di desa yang lebih tinggi daripada di kota.
Provinsi yang tercatat garis kemiskinan desa lebih tinggi dari kota pada Maret 2016 antara lain Bangka Belitung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Maluku.
.