- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU Part 7


TS
naimatunn5260
VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU Part 7
VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU
Part 7
Sangat enak.
POV. Abi
Aku sudah seperti orang kesurupan. Lupa anak, lupa istri dan juga lupa diri. Hingga akhirnya dosa besar itu pun, kami lakukan berulang-ulang.
Bahkan saat kami sedang sibuk-sibuknya melakukan dosa besar, ponselku terdengar berdering berkali-kali, namun kubiarkan saja, tanpa sedikit pun aku ingin melihatnya. Aku sudah tidak peduli, meskipun mungkin itu adalah istriku yang menelponku. Aku tidak peduli.
Apalagi Reina juga seolah tidak memberiku kesempatan untuk jauh darinya.
Sepertinya, kakinya yang terkena air panas itu tidak lagi dirasakan sakitnya, karena perbuatan dosa ini, telah menempati rasa di atas segalanya.
Reina seperti orang yang dahaga. Begitu pun sama denganku. Bersama Reina, aku merasa begitu bersemangat dan bergelora.
Hingga akhirnya, tanpa kami duga sebelumnya, pintu pun terbuka dengan begitu lebar dari luar.
Seketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.
Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu.
"Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"
Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya.
"Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya.
"Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.
Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku.
"Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.
Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi dadanya yang terdapat banyak sekali noda. Noda yang baru saja kuciptakan saat kami tengah kesurupan.
Dina pun kemudian pergi dari tempatnya. Aku yang segera ingin menyudahi kegiatan ini, justru kembali ditarik oleh Reina, hingga akhirnya kami pun kembali melakukannya. Dia kembali membuatku lupa dengan segalanya.
"Bagaimana jika adikmu bilang pada orang-orang, tentang apa yang baru saja kita lakukan?" tanyaku begitu kami sudah selesai.
"Jangan khawatir. Adikku sudah dewasa. Dia sangat mengerti bagaimana penderitaan kakaknya. Dia tidak akan bilang pada siapa pun. Mungkin dia justru turut bahagia, melihat apa yang baru saja kita lakukan."
"Sudah jam empat sore?!" Aku terkejut, saat tidak sengaja melihat ke arah jam dinding mewah yang tersemat tepat di hadapanku.
"Iya. Kita melakukannya lama sekali, Sayang ...." Reina tersenyum penuh kepuasan.
Akhirnya aku pun pamit pulang. Namun baru saja aku sampai di dekat pintu, Reina sudah kembali memelukku.
"Nanti datang lagi ke mari, ya?" Dia meminta dengan begitu manjanya.
Aku pun menganggukkan kepala, dan langsung keluar dari rumah, menuju ke mobilku. Di tengah perjalanan, aku menyempatkan diriku membeli sebuah boneka untuk Raya.
Sesampainya di rumah, aku lekas mandi dan berganti pakaian. Ada kecurigaan istriku tentang noda di dadaku, namun aku bisa menenangkannya dengan caraku.
Hingga akhirnya saat hari sudah hampir Maghrib, aku pun bisa kembali ke rumahnya Reina lagi, dengan alasan ingin pergi tahlil. Padahal, sebenarnya di rumah ini tidak ada acara seperti itu.
Aku justru menghabiskan malamku bersama Reina dan istrinya. Aku sudah janji dengan istriku akan pulang jam sepuluh malam. Tapi begitu sampai di waktu itu, aku justru merasa berat untuk meninggalkan Reina.
Hingga akhirnya, saat malam sudah hampir sampai di pertengahan, aku dikejutkan dengan anaknya Reina yang tiba-tiba saja demam dengan begitu tinggi.
Kami pun segera membawanya ke rumah sakit. Tidak kusangka, di rumah sakit itu, aku justru bertemu dengan istriku yang ternyata juga membawa anakku.
Aku berusaha bertanya baik-baik kepada Anjani. Namun perempuan itu justru mengabaikan aku. Dia terlihat begitu marah kepadaku. Dia menjawab dengan ketus semua pertanyaanku.
Kulihat Anjani membawa anakku pada salah satu dokter. Aku sebenarnya ingin mendekatinya, namun Dita yang ada di dalam gendonganku, tidak mau berpisah dariku. Saat aku ingin mengajak Dita untuk menemui Raya, Dita juga tidak mau berpisah dari mamanya. Sementara, Reina juga tidak mau, jika kuajak menemui Anjani.
"Aku takut, Mas. Aku takut dikatai macam-macam. Apalagi, istrimu tampaknya juga sangat marah kepadaku. Aku takut dia mencakar wajahku seperti yang ada di tv-tv itu." Reina berbicara dengan raut yang memelas. Hingga membuat aku menjadi tidak tega.
Proses dan prosedur mengurus administrasi untuk anaknya Reina pun aku yang mengurusnya.
Setelah urusan Reina selesai, barulah aku menemui anak istriku. Berusaha meminta maaf kepada Anjani, dan menenangkannya.
Diam-diam, aku juga merasa bersalah. Istri sebaik dan secantik dia, justru telah kukhianati dengan teganya. Namun mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terlanjur.
Kutemani hingga akhirnya istriku itu tertidur sambil duduk di samping ranjang pasien putriku.
Melihat wajahnya yang terlihat begitu damai, rasa bersalah pun kian menghantui. Kulihat alisnya yang terukir rapi secara alami. Hidungnya juga mancung. Bibirnya juga terlihat indah. Sebenarnya dia tidak kalah cantik dari Reina.
Tapi kenapa siang tadi, aku seolah melihat sosok Reina itu terlihat sangat menggoda? Terlihat bahwa kecantikannya sungguh tiada tara? Bahkan saat aku membandingkan dengan Anjani, Reina jauh terlihat lebih segalanya?
Apakah karena siang tadi, aku tengah terlena dengan bujukan setan?
"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.
Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu.
"Mas Abi!" Dia memanggilku.
"Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku.
"Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.
Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.
Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang.
"Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana."
"Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
"Tunggu sebentar. Biar aku pindahkan dulu istriku ke sofa. Kasihan dia!" Aku berbalik arah mendekati Anjani.
Namun gadis itu sudah menarik tanganku, mengajakku ke luar. Hingga akhirnya, aku urung memindahkan istriku. Dia tetap masih tidur sambil duduk di samping anakku yang belum juga sadarkan diri.
"Mas Abi! Jangan mentang-mentang Mas Abi sedang ada anak istrinya lantas akan mengabaikan Mbak Reina begitu saja. Ingat, apa yang tadi siang kalian lakukan. Kulihat Mas Abi begitu menikmati Mbak Reina sampai meng**ang-e**ng. Aku tidak tidak terima, jika Mbak Reina diperlakukan dengan tidak adil. Habis manis sepah dibuang!"
Sambil terus berbicara, Dina menyeret lenganku, membawaku ke ruangannya Dita.
Begitu aku sudah sampai di sana, Reina segera menyambutku.
"Mas, aku capek ...." Dia berbicara dengan begitu manja.
"Kakiku juga masih sakit buat berjalan. Tadi siang kan kita ...."
Aku segera mengambil Dita dari gendongan Reina, sebelum perempuan itu membahas kembali kegiatan panas yang kami lakukan tadi siang.
Setelah Dita ada di dalam gendonganku, Reina pun kemudian tiduran di atas sofa. Sementara, adiknya keluar entah ke mana.
"Mas, rasanya kok masih perih ya, sampai sekarang. Seperti pas malam pertama dulu ...." Dia kembali lagi membahas hal itu.
Hal yang sebenarnya ingin kulupakan, kini justru dibahas ulang.
"Tapi aku seneng banget. Kamu benar-benar jantan, seperti yang selalu aku bayangkan!" Reina berbicara sambil memejamkan matanya.
"Mas, kamu tahu nggak aku tuh--"
"Reina. Tolong diam dulu, ya? Biar anakmu tidur." Sebelum dia menyelesaikan ucapannya, aku sudah memotongnya.
Akhirnya dia pun diam. Anaknya Reina yang ada di dalam gendonganku pun, terlihat menutup matanya dengan semakin rapat.
Setelah aku yakin bahwa anak ini telah tertidur pulas, dengan sangat pelan, aku pun menidurkan dia di atas ranjang.
Aku segera keluar dari ruangan, ingin melihat Anjani. Bagaimanapun juga, sejak tadi aku sebenarnya merasa begitu was-was. Aku takut jika istriku itu terbangun dan mendapati aku ada di sini. Bisa geger, nanti.
Aku segera keluar dengan cepat.
"Mas Abi mau ke mana?" teriak Reina.
"Aku mau melihat istri dan anakku." Aku terus saja melangkahkan kakiku.
Betapa leganya hatiku, saat melihat Anjani masih tidur dengan posisi yang sama. Itu artinya dia tidak terbangun, dan tidak menyadari kepergianku. Mungkin saja dia memang sudah sangat kelelahan, karena mengurus Raya sendirian.
Aku segera duduk di sampingnya. Kembali mencium pucuk kepalanya yang tertutup kerudung berbentuk segitiga.
"Mas, istrimu kan sudah tidur. Temani aku, yuk?"
Tubuhku terjingkat, saat ada tangan halus yang menyentuh pipiku, sambil membisikkan kalimat itu ditelingaku.
Perempuan itu kemudian menggandeng tanganku, mengajakku pergi dari sini. Karena tidak ingin ada keributan, aku pun lekas menuruti ajakan perempuan itu.
Sesampainya di ruangan itu, Reina segera mengajakku untuk duduk di sofa.
Tiba-tiba saja, dia sudah langsung melepas kancing kemejaku.
"Kamu mau apa? Ini rumah sakit!" Aku memelototkan mataku.
"Slow down baby ... Aku cuma mau memijat tubuhmu. Kamu pasti capek, kan?" Dia menunjukkan sebuah minyak urut dengan wangi aroma terapi.
Akhirnya aku pun menuruti perintahnya. Tidur berbaring di sofa. Tubuhku dipijat dan diurut, hingga sampai ke kakiku. Rasanya sangat nyaman sekali.
Setelah selesai, dia kembali memakaikan pakaianku.
"Aku adalah perempuan cantik yang serba bisa. Karirku bagus. Aku bisa melayani semua kebutuhan suamiku dengan baik. Kamu tidak akan rugi, menjalin hubungan spesial denganku." Dia menyandarkan kepalanya di dadaku.
Jika dipikir-pikir memang benar, semua yang dikatakan. Dia memang cantik, seksi dan juga bohay. Ditambah lagi, karirnya memang bagus. Bekerja di tempat yang bergengsi.
Hasil racikan tangannya pun juga sangat enak. Dia pandai memasak. Terbukti, kemarin aku sempat nambah beberapa kali saat makan di rumahnya.
Apalagi jika mengingat servis ranjangnya. Sungguh, aku merasa sangat terpuaskan. Ditambah lagi, baru saja dia juga ternyata memperlihatkan keahliannya saat memijat tubuhku. Pijatannya sangat enak, mengalahkan tukang pijat profesional. Hingga tubuhku yang tadinya terasa sangat pegal-pegal, kini sudah menjadi terasa sangat nyaman.
Dia memang perempuan yang sempurna. Mungkin aku akan sangat beruntung, jika nantinya bisa menjadikan dia sebagai istri yang kedua.
"Tidur, yuk?" ajaknya.
Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian memejamkan mataku. Tidur, sambil memeluk tubuhnya.
Aku terbangun karena dikejutkan oleh suara orang yang memanggilku.
"Pak, Bu. Bangun!" Aku lekas membuka mataku.
"Pak, bukankah Bapak adalah ayah dari pasien yang ada di kamar sebelah? Bapak suaminya Ibu Anjani, kan? Kenapa Bapak justru tidur di sini?"
Lanjutan ada di KBM app
Judul : VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU
Penulis : EnikY
https://read.kbm.id/book/detail/ecaf...e-292d28ea128b
Part 7
Sangat enak.
POV. Abi
Aku sudah seperti orang kesurupan. Lupa anak, lupa istri dan juga lupa diri. Hingga akhirnya dosa besar itu pun, kami lakukan berulang-ulang.
Bahkan saat kami sedang sibuk-sibuknya melakukan dosa besar, ponselku terdengar berdering berkali-kali, namun kubiarkan saja, tanpa sedikit pun aku ingin melihatnya. Aku sudah tidak peduli, meskipun mungkin itu adalah istriku yang menelponku. Aku tidak peduli.
Apalagi Reina juga seolah tidak memberiku kesempatan untuk jauh darinya.
Sepertinya, kakinya yang terkena air panas itu tidak lagi dirasakan sakitnya, karena perbuatan dosa ini, telah menempati rasa di atas segalanya.
Reina seperti orang yang dahaga. Begitu pun sama denganku. Bersama Reina, aku merasa begitu bersemangat dan bergelora.
Hingga akhirnya, tanpa kami duga sebelumnya, pintu pun terbuka dengan begitu lebar dari luar.
Seketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.
Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu.
"Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"
Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya.
"Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya.
"Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.
Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku.
"Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.
Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi dadanya yang terdapat banyak sekali noda. Noda yang baru saja kuciptakan saat kami tengah kesurupan.
Dina pun kemudian pergi dari tempatnya. Aku yang segera ingin menyudahi kegiatan ini, justru kembali ditarik oleh Reina, hingga akhirnya kami pun kembali melakukannya. Dia kembali membuatku lupa dengan segalanya.
"Bagaimana jika adikmu bilang pada orang-orang, tentang apa yang baru saja kita lakukan?" tanyaku begitu kami sudah selesai.
"Jangan khawatir. Adikku sudah dewasa. Dia sangat mengerti bagaimana penderitaan kakaknya. Dia tidak akan bilang pada siapa pun. Mungkin dia justru turut bahagia, melihat apa yang baru saja kita lakukan."
"Sudah jam empat sore?!" Aku terkejut, saat tidak sengaja melihat ke arah jam dinding mewah yang tersemat tepat di hadapanku.
"Iya. Kita melakukannya lama sekali, Sayang ...." Reina tersenyum penuh kepuasan.
Akhirnya aku pun pamit pulang. Namun baru saja aku sampai di dekat pintu, Reina sudah kembali memelukku.
"Nanti datang lagi ke mari, ya?" Dia meminta dengan begitu manjanya.
Aku pun menganggukkan kepala, dan langsung keluar dari rumah, menuju ke mobilku. Di tengah perjalanan, aku menyempatkan diriku membeli sebuah boneka untuk Raya.
Sesampainya di rumah, aku lekas mandi dan berganti pakaian. Ada kecurigaan istriku tentang noda di dadaku, namun aku bisa menenangkannya dengan caraku.
Hingga akhirnya saat hari sudah hampir Maghrib, aku pun bisa kembali ke rumahnya Reina lagi, dengan alasan ingin pergi tahlil. Padahal, sebenarnya di rumah ini tidak ada acara seperti itu.
Aku justru menghabiskan malamku bersama Reina dan istrinya. Aku sudah janji dengan istriku akan pulang jam sepuluh malam. Tapi begitu sampai di waktu itu, aku justru merasa berat untuk meninggalkan Reina.
Hingga akhirnya, saat malam sudah hampir sampai di pertengahan, aku dikejutkan dengan anaknya Reina yang tiba-tiba saja demam dengan begitu tinggi.
Kami pun segera membawanya ke rumah sakit. Tidak kusangka, di rumah sakit itu, aku justru bertemu dengan istriku yang ternyata juga membawa anakku.
Aku berusaha bertanya baik-baik kepada Anjani. Namun perempuan itu justru mengabaikan aku. Dia terlihat begitu marah kepadaku. Dia menjawab dengan ketus semua pertanyaanku.
Kulihat Anjani membawa anakku pada salah satu dokter. Aku sebenarnya ingin mendekatinya, namun Dita yang ada di dalam gendonganku, tidak mau berpisah dariku. Saat aku ingin mengajak Dita untuk menemui Raya, Dita juga tidak mau berpisah dari mamanya. Sementara, Reina juga tidak mau, jika kuajak menemui Anjani.
"Aku takut, Mas. Aku takut dikatai macam-macam. Apalagi, istrimu tampaknya juga sangat marah kepadaku. Aku takut dia mencakar wajahku seperti yang ada di tv-tv itu." Reina berbicara dengan raut yang memelas. Hingga membuat aku menjadi tidak tega.
Proses dan prosedur mengurus administrasi untuk anaknya Reina pun aku yang mengurusnya.
Setelah urusan Reina selesai, barulah aku menemui anak istriku. Berusaha meminta maaf kepada Anjani, dan menenangkannya.
Diam-diam, aku juga merasa bersalah. Istri sebaik dan secantik dia, justru telah kukhianati dengan teganya. Namun mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terlanjur.
Kutemani hingga akhirnya istriku itu tertidur sambil duduk di samping ranjang pasien putriku.
Melihat wajahnya yang terlihat begitu damai, rasa bersalah pun kian menghantui. Kulihat alisnya yang terukir rapi secara alami. Hidungnya juga mancung. Bibirnya juga terlihat indah. Sebenarnya dia tidak kalah cantik dari Reina.
Tapi kenapa siang tadi, aku seolah melihat sosok Reina itu terlihat sangat menggoda? Terlihat bahwa kecantikannya sungguh tiada tara? Bahkan saat aku membandingkan dengan Anjani, Reina jauh terlihat lebih segalanya?
Apakah karena siang tadi, aku tengah terlena dengan bujukan setan?
"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.
Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu.
"Mas Abi!" Dia memanggilku.
"Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku.
"Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.
Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.
Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang.
"Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana."
"Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
"Tunggu sebentar. Biar aku pindahkan dulu istriku ke sofa. Kasihan dia!" Aku berbalik arah mendekati Anjani.
Namun gadis itu sudah menarik tanganku, mengajakku ke luar. Hingga akhirnya, aku urung memindahkan istriku. Dia tetap masih tidur sambil duduk di samping anakku yang belum juga sadarkan diri.
"Mas Abi! Jangan mentang-mentang Mas Abi sedang ada anak istrinya lantas akan mengabaikan Mbak Reina begitu saja. Ingat, apa yang tadi siang kalian lakukan. Kulihat Mas Abi begitu menikmati Mbak Reina sampai meng**ang-e**ng. Aku tidak tidak terima, jika Mbak Reina diperlakukan dengan tidak adil. Habis manis sepah dibuang!"
Sambil terus berbicara, Dina menyeret lenganku, membawaku ke ruangannya Dita.
Begitu aku sudah sampai di sana, Reina segera menyambutku.
"Mas, aku capek ...." Dia berbicara dengan begitu manja.
"Kakiku juga masih sakit buat berjalan. Tadi siang kan kita ...."
Aku segera mengambil Dita dari gendongan Reina, sebelum perempuan itu membahas kembali kegiatan panas yang kami lakukan tadi siang.
Setelah Dita ada di dalam gendonganku, Reina pun kemudian tiduran di atas sofa. Sementara, adiknya keluar entah ke mana.
"Mas, rasanya kok masih perih ya, sampai sekarang. Seperti pas malam pertama dulu ...." Dia kembali lagi membahas hal itu.
Hal yang sebenarnya ingin kulupakan, kini justru dibahas ulang.
"Tapi aku seneng banget. Kamu benar-benar jantan, seperti yang selalu aku bayangkan!" Reina berbicara sambil memejamkan matanya.
"Mas, kamu tahu nggak aku tuh--"
"Reina. Tolong diam dulu, ya? Biar anakmu tidur." Sebelum dia menyelesaikan ucapannya, aku sudah memotongnya.
Akhirnya dia pun diam. Anaknya Reina yang ada di dalam gendonganku pun, terlihat menutup matanya dengan semakin rapat.
Setelah aku yakin bahwa anak ini telah tertidur pulas, dengan sangat pelan, aku pun menidurkan dia di atas ranjang.
Aku segera keluar dari ruangan, ingin melihat Anjani. Bagaimanapun juga, sejak tadi aku sebenarnya merasa begitu was-was. Aku takut jika istriku itu terbangun dan mendapati aku ada di sini. Bisa geger, nanti.
Aku segera keluar dengan cepat.
"Mas Abi mau ke mana?" teriak Reina.
"Aku mau melihat istri dan anakku." Aku terus saja melangkahkan kakiku.
Betapa leganya hatiku, saat melihat Anjani masih tidur dengan posisi yang sama. Itu artinya dia tidak terbangun, dan tidak menyadari kepergianku. Mungkin saja dia memang sudah sangat kelelahan, karena mengurus Raya sendirian.
Aku segera duduk di sampingnya. Kembali mencium pucuk kepalanya yang tertutup kerudung berbentuk segitiga.
"Mas, istrimu kan sudah tidur. Temani aku, yuk?"
Tubuhku terjingkat, saat ada tangan halus yang menyentuh pipiku, sambil membisikkan kalimat itu ditelingaku.
Perempuan itu kemudian menggandeng tanganku, mengajakku pergi dari sini. Karena tidak ingin ada keributan, aku pun lekas menuruti ajakan perempuan itu.
Sesampainya di ruangan itu, Reina segera mengajakku untuk duduk di sofa.
Tiba-tiba saja, dia sudah langsung melepas kancing kemejaku.
"Kamu mau apa? Ini rumah sakit!" Aku memelototkan mataku.
"Slow down baby ... Aku cuma mau memijat tubuhmu. Kamu pasti capek, kan?" Dia menunjukkan sebuah minyak urut dengan wangi aroma terapi.
Akhirnya aku pun menuruti perintahnya. Tidur berbaring di sofa. Tubuhku dipijat dan diurut, hingga sampai ke kakiku. Rasanya sangat nyaman sekali.
Setelah selesai, dia kembali memakaikan pakaianku.
"Aku adalah perempuan cantik yang serba bisa. Karirku bagus. Aku bisa melayani semua kebutuhan suamiku dengan baik. Kamu tidak akan rugi, menjalin hubungan spesial denganku." Dia menyandarkan kepalanya di dadaku.
Jika dipikir-pikir memang benar, semua yang dikatakan. Dia memang cantik, seksi dan juga bohay. Ditambah lagi, karirnya memang bagus. Bekerja di tempat yang bergengsi.
Hasil racikan tangannya pun juga sangat enak. Dia pandai memasak. Terbukti, kemarin aku sempat nambah beberapa kali saat makan di rumahnya.
Apalagi jika mengingat servis ranjangnya. Sungguh, aku merasa sangat terpuaskan. Ditambah lagi, baru saja dia juga ternyata memperlihatkan keahliannya saat memijat tubuhku. Pijatannya sangat enak, mengalahkan tukang pijat profesional. Hingga tubuhku yang tadinya terasa sangat pegal-pegal, kini sudah menjadi terasa sangat nyaman.
Dia memang perempuan yang sempurna. Mungkin aku akan sangat beruntung, jika nantinya bisa menjadikan dia sebagai istri yang kedua.
"Tidur, yuk?" ajaknya.
Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian memejamkan mataku. Tidur, sambil memeluk tubuhnya.
Aku terbangun karena dikejutkan oleh suara orang yang memanggilku.
"Pak, Bu. Bangun!" Aku lekas membuka mataku.
"Pak, bukankah Bapak adalah ayah dari pasien yang ada di kamar sebelah? Bapak suaminya Ibu Anjani, kan? Kenapa Bapak justru tidur di sini?"
Lanjutan ada di KBM app
Judul : VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU
Penulis : EnikY
https://read.kbm.id/book/detail/ecaf...e-292d28ea128b


bukhorigan memberi reputasi
1
712
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan